[2] TAMU

3K 400 89
                                    


Pernahkah kau merasa kehilangan bahkan sebelum kehilangan itu sendiri terjadi?


...

...

...



NAMANYA Rengga. Farengga Halim. Aku nggak tahu bagaimana sejarah pertemanan Papa dan Om Halim—dan jujur saja, nggak juga berniat mencari tahu. Yang perlu aku tahu hanyalah mereka berteman. Titik. Satu yang pasti, setiap kali anak semata wayang Om Halim berkunjung ke Jakarta, Papa dan Mama akan selalu memastikan laki-laki itu menginap di rumah kami. Entah apa alasannya, aku nggak pernah bertanya. Bagiku yang terpenting tugasku selesai. Menjemput sang tamu agung. Seperti yang Papa janjikan, aku bebas melakukan apa saja setelah memastikan Rengga tiba tanpa kurang satu hal pun.

"Kamu...." Rengga menggagalkan langkahku. Laki-laki itu berdeham, lalu melanjutkan, "Gimana kalau aku aja?" Telapak tangannya mengarah padaku selagi tatapannya tertuju ke kunci mobil yang sejak tadi kumainkan dengan tangan kananku.

Sejenak, aku terdiam. Hanya balas memandang laki-laki mengenai hoodie putih itu. Ada seulas senyum ragu menghiasi wajahnya. Sesuatu yang membuatku semakin yakin menjawab, "Enggak usah, gue aja." Aku ingin tiba secepat mungkin di rumah. Menyerahkan Paco padanya bukanlah keputusan tepat. Omong-omong, Paco adalah sebuah VW Kodok biru muda yang kubeli dengan hasil keringatku sendiri sekitar satu bulanan yang lalu. Kapan-kapan aku ceritakan mengapa aku memberinya nama yang memiliki arti rajawali perkasa itu. "By the way, thanks," kataku sembari memasuki pintu pengemudi.

Rengga baru membalas setelah dia duduk di sebelahku. "Untuk?"

"Tawaran lo."

Selanjutnya, nggak ada jawaban. Perjalanan kami hanya diisi dengan kesunyian. Aku menggigit resah bibir bawah. Diam-diam, kulirik sang tamu agung. Kupikir dia tertidur, nggak tahunya asyik mengamati jalanan. Jujur saja, aku bukanlah tipe yang menyukai sepi. Terlebih untuk perjalanan lebih dari satu jam ini. Belum lagi macetnya. Ya, Tuhan, betapa membosankannya kalau kami hanya saling diam begini.

"Ga," aku memanggil, "rencana berapa lama di Jakarta?"

"Empat hari," katanya.

Sesaat, aku menunggu. Mungkin saja ada penjelasan lebih lanjut. Namun, sekian puluh detik berlalu, nggak juga terdengar suara laki-laki itu. Membuatku menelengkan kepala ke arahnya. Seriously, begitu saja? Dia manusia atau bukan, sih? Atau dia memang secinta itu dengan kesenyapan?

"Ga."

"Hm?"

"Gue nungguin lanjutannya, lho."

"Hah?" Punggung Rengga menegak. Tatapan laki-laki itu sepenuhnya tertuju padaku. Sekilas aku mendapati garis-garis kernyitan melintang di dahi. Dengan polosnya dia bertanya, "Yang mana?" Belum sempat aku menjawab, Rengga berujar lagi, "Oh, soal berapa lama aku di sini," gumamnya. "Empat hari."

Praktis, aku tergelak hebat. Maafkan aku. "Sudah?"

"Ya...," tanggapnya, ragu-ragu.

Nggak bisa menahan diri, aku terbahak lagi. "Sori, sori," kataku setelah mampu menghentikan tawa. "Gue bosan. Lo cerita apa kek' gitu."

"Apa?"

Aku mengedikkan bahu. Sungguh, baru kali ini aku berhadapan dengan laki-laki sependiam Farengga Halim. Seingatku di pertemuan pertama kami dia nggak begini-begini amat. Oh, atau aku salah, ya? Tempo hari sepertinya kami jarang berdua saja. Selalu ada orang lain. Entah Mas Alpha atau Mama. Membuat suasana lebih mencair.

LOVE YOU LATELY (Ledwin Series #3) - [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang