SENIN siang, selepas jam siaran berakhir, kali pertama Laluna melihatnya. Namanya Kemal. Kemal Malik. Berperawakan tinggi, kulit kecokelatan, alis tebal, kumis tipis, dan berewok di sepanjang dagu dan pipi belakang membingkai wajah. Alih-alih menyeramkan, Kemal tampak menawarkan kenyamanan hanya dengan menarik sudut-sudut bibir. Sesuatu yang telah Laluna uji sendiri setelah beberapa kali berada di sekitar laki-laki itu, pun memperhatikan interaksinya bersama rekan kerja mereka. Tak hanya itu, Laluna juga memahami, tidak peduli dalam keadaan terdesak sekalipun, Kemal tak pernah bersikap ofensif. Lelaki satu itu selalu santai, tenang, dan terkendali.
Lihat saja sekarang, di tengah teriknya matahari, sedikit pun Kemal tak merasa terganggu. Laki-laki itu terlihat begitu percaya diri. Dengan tangan kanannya, dia menyugar rambut ikalnya, bersamaan dengan sepasang mata teduhnya menangkap kehadiran Laluna. Kemudian, seperti yang bisa sang perempuan tebak, Kemal tersenyum riang, lantas melambaikan tangan.
"Hai, Lun!" sapanya.
Ada getar samar merayapi dada, pun rona merah muda menjalar hangat di kedua pipi. Namun, Laluna segera menepis. Tidak, jangan! Kemal tidak boleh melihatnya dalam keadaan seperti itu.
"Kak," Laluna balas menyapa. Suaranya parau, membuat sang gadis buru-buru berdeham sebelum melanjutkan, "Mau balik?"
Kemal mengangguk mantap.
Satu detik pertama, Laluna memiringkan kepala. Dia ingin sekali menyuarakan isi kepalanya. Menanyakan apa yang membuat Kemal masih bertahan? Skuter matic-nya tampak menanti bersama puluhan kendaraan roda dua lainnya. Hanya butuh beberapa langkah untuk tiba di sana. Rasa-rasanya tidak ada alasan mendasar mengapa lelaki itu masih berdiri seolah menunggu sesuatu.
"Sudah pukul lima, tapi panasnya masih menyengat aja, ya," komentar Kemal.
Laluna menelan ludah. Apa dia sudah mengatakan, selain cara Kemal tersenyum, gadis itu juga menyukai suara sang lelaki? Terkesan tegas, tetapi tidak menggurui. Bahkan, dalam keadaan tertentu, dia bisa jatuh tertidur hanya dengan mendengar suara Kemal Malik. Tidak, tidak, Kemal tidak pernah meneleponnya—sesuatu yang diam-diam, tentu saja, Laluna harapkan. Kemal berprofesi sebagai penyiar radio di tempatnya bekerja. Jelas tak mengherankan jika laki-laki itu memiliki jenis suara yang disukai banyak orang.
"Enggak balik, Lun?"
"Ini mau balik, Kak."
Sekilas, Kemal tersenyum. "Mau bareng?" tawarnya.
Andai saja tidak memiliki pengendalian diri cukup baik, Laluna yakin bola matanya pasti membeliak detik itu juga. Namun, perlahan sang perempuan melontarkan tawa kecil. "Makasih, Kak. Luna order Grab aja."
Tanpa aba-aba, Kemal tergelak. Lucunya, sedikit pun Laluna tidak memiliki alasan merasa tersinggung. Gadis itu malah terfokus pada betapa empuknya tawa sang penyiar.
"Maaf, maaf." Kemal berusaha bicara di antara derai tawa. "Lo lucu banget tahu, Lun! Kita sudah kerja bareng nyaris dua tahun, tapi lo masih aja sungkan sama gue." Lagi dan lagi, tak menyadari betapa besar efek senyumannya, Kemal mengumbar untuk kali kesekian. "Santai aja kali, Lun." Bahkan, dengan santainya lelaki itu merangkul pundak Laluna.
Tidak tahu harus merespons seperti apa, Laluna hanya memamerkan senyum kaku.
"Belum order, kan? Bareng gue aja, ya? Nggak bayar ini," lanjut Kemal. Satu yang disyukuri, tangannya sudah menjauh. Sedikit banyak Laluna bisa bernapas lega. "Oh, atau lo khawatir Vespa gue mogok di tengah jalan?" Sepasang mata teduhnya mengunci lawan bicara. "Aman, kok, Lun. Percaya, deh, sama gue."
Sejujurnya, bukannya Laluna tak mau. Siapa coba yang tidak ingin dibonceng laki-laki yang dia sukai? Pertanyaannya, sanggupkah Laluna bertahan? Dia ragu bisa bernapas tenang sepanjang perjalanan.
"Udah, ayo, enggak usah banyak mikir." Sekali ini, tanpa menunggu persetujuan, Kemal melangkah menuju Vespa merahnya. Lelaki itu memasang helm, kemudian menyerahkan satu helm lagi pada Laluna yang berdiri skeptis tidak jauh darinya.
Punya siapa ini? Laluna buru-buru menampik. Membiarkan pertanyaan tersebut tertahan di ujung lidah. Dia tak berhak menerima penjelasan, pun Kemal tidak berkewajiban menguraikan apa pun padanya.
Sesudah duduk di belakang sang lelaki, sebelum Kemal melajukan skuternya, Laluna mendengar laki-laki itu berujar, "Tapi gue mau mampir dulu ke LED's. Enggak masalah, kan? Gue butuh kafein, dan cuma kopi LED's yang bisa mengobati rindu gue."
Laluna tidak menjawab. Kemal tidak butuh persetujuannya. Lebih dari itu, sang gadis menyadari satu hal, ada yang patah dalam dirinya. Hatinya. Kemal menyukai seseorang. Sudah menjadi rahasia umum! Lelaki itu jelas-jelas berbohong. Bukan kopi LED's Coffee Shop yang mampu menawarkan kerinduannya.
Namun, seorang gadis.
Entah siapa namanya, Laluna tidak tahu, yang jelas gadis itulah alasan mengapa Kemal Malik tak pernah absen mengunjungi LED's Bookstore & Coffee Shop setiap harinya, seusai jam siarannya berakhir.
[].
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE YOU LATELY (Ledwin Series #3) - [ON HOLD]
ChickLitTidak ada seorang pun yang bisa hidup tanpa cinta. Yang ada hanyalah mereka yang berusaha tampak baik-baik saja, tetapi sesungguhnya terluka didekap kesepian. * Ini adalah sebuah kisah cinta biasa. Tentang seorang gadis yang dicintai banyak orang. I...