Bagaimana caranya memperbaiki apa-apa yang telah rusak?
...
...
...
SEJAK kecil aku mudah sekali terbuai dalam rangkaian kata.
Kisah sang putri dan pangeran. Dongeng-dongeng pengantar tidur. Majalah anak-anak. Puluhan komik Doraemon, Crayon Shinchan, dan judul-judul lainnya. Semua disusun rapi dalam satu lemari tinggi, bersisian dengan meja belajar milikku. Seiring pertambahan usia, Papa memperlebar ruang bacaku. Antologi cerpen, novel, sajak. Berbagai genre. Hingga, suatu ketika, akhirnya aku diperkenankan memilih satu ragam sastra prosa yang paling cocok denganku. Romance, tentu saja. Sesuatu yang melekat erat selama beberapa waktu terakhir dengan seorang A. Ledwin. Yep, itu nama penaku. Sama halnya dengan Papa yang lebih memilih menggunakan Atlen Pradana alih-alih Attar Ledwin.
A. Ledwin terdengar seperti nama laki-laki? Iya, aku nggak bakal menyangkal. Namun, aku menyukai sensasi satu itu. Terutama di awal kemunculanku. Setelah dengan sengaja nggak menyertakan foto di bagian profil penulis, lalu para pembaca mencari akun media sosialku, mereka pasti terkejut mendapati A. Ledwin seorang perempuan. Meski gayaku tergolong tomboi. Rambut sebatas bahu, lengkap dengan pakaian kebangsaan nggak jauh-jauh dari t-shirt, celana jeans, dan sneakers. Sayangnya, semua itu nggak—tunggu, kenapa aku jadi fokus bercerita tentang penampilanku? Bukankah seharusnya aku mengisi lembar kerja di hadapanku? Nyaris dua puluh menit terakhir masih saja kosong melompong.
Aku mengusap wajah. Bukan hanya letih yang menyergap erat, tetapi juga kesal sekaligus kekalahan. Aku nggak pernah begini sebelumnya. Terjebak dalam keadaan nggak produktif. Ada kali lima bulanan aku nggak bisa menulis apa pun. Awalnya sekadar waktuku tersita aktivitas lain. Belakangan, setelah semua itu selesai, aku malah begitu kaku setiap ingin memulai. Nggak cuma itu, aku merasa kehabisan ide. Nggak tahu apa lagi yang bisa kubagi pada pembaca.
Suatu waktu aku pernah menanyakan hal satu itu, Papa bilang, aku hanya memerlukan ruang untuk diriku sendiri. Mencari tahu apa yang sungguh-sungguh aku inginkan. Pun, dibarengi dengan membaca buku-buku yang sekiranya bisa membangkitkan kembali semangat menulis. Atau sebaliknya, pergi ke tempat di mana cuma ada aku dan diriku. Jauh dari rangkaian kata. Namun, nggak juga membuahkan hasil. Masih saja stagnan. Siapa coba yang nggak kesal kalau sudah begini? Masa iya karier menulisku tamat begitu saja? Kan nggak lucu!
"Mbak...." Pintu ruang kerjaku didorong dari luar. Kepala salah seorang pegawai menyembul di baliknya. Omong-omong, papaku pria paling hebat yang pernah kukenal selama 25 tahun hidupku. Beliau bukan hanya seorang penulis ternama, tetapi juga pemilik toko buku dan kedai kopi. LED's Bookstore & Coffee Shop. Diambil dari nama belakang keluarga kami: Ledwin. "Mbak Avissa tanya, kenapa ponsel Mbak nggak bisa dihubungi?"
"Hah?" Aku jelas nggak berlebihan. Seingatku, sampai siang tadi, Avissa Sofjan masih sahabatku. Gimana ceritanya sekarang dia malah menghubungi Kayya? Nggak melepas pandangan dari sosok mengenakan apron berlogo LED's Coffee Shop—yang masih saja berdiri takzim nggak jauh dari pintu, aku merogoh laci meja kerja. "Ck, pantesan.... Mati, nih, Kay," beri tahuku. "By the way, kok Avissa bisa hubungin lo?"
Kayya mengedikkan bahu. "Dia kirim pesan di Instagram, Mbak." Perempuan itu mendekat, lantas berakhir di kursi di depanku. "Jadi, gue balas apa, ya?"
"Enggak usah," sahutku sembari mengaktifkan gawai. "Biar gue aja yang langsung kabarin dia. Gimana di depan? Sudah selesai beres-beres?" Sekilas, aku melirik jam digital di sudut meja kerja. Pukul 22.01.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE YOU LATELY (Ledwin Series #3) - [ON HOLD]
ChickLitTidak ada seorang pun yang bisa hidup tanpa cinta. Yang ada hanyalah mereka yang berusaha tampak baik-baik saja, tetapi sesungguhnya terluka didekap kesepian. * Ini adalah sebuah kisah cinta biasa. Tentang seorang gadis yang dicintai banyak orang. I...