RAVI Winata berdiri di ambang pintu. Helaan napasnya memberat seiring penggalan masa lalu yang tersimpan rapat memunculkan diri ke permukaan. Ini bukan kali pertama, Ravi tahu benar. Cukup melihat keberadaan lelaki mengenakan sweter hitam itu, bisa dipastikan fragmen-fragmen memori berusaha mencuri ruang terbesar di kepalanya, meminta sang pria kembali mengingat. Perihal seorang wanita, sebuah keputusan, bayi mungil tak berdosa, hingga keikhlasannya melepaskan sosok yang dia cintai. Ibu dari laki-laki yang kini telah berbalik dan membalas tatapannya.
Valdis Aldyth Roderick. Benar, Roderick! Tidak peduli dirinya berstatus suami sah ketika Feirera Juan mengandung Valdis, Ravi tetap saja tak bisa menyematkan nama belakang Winata. Bagaimanapun dia sadar, Valdis bukanlah putranya. Sebesar apa pun dia menyayangi Valdis, pun mencintai Fey, pada kenyataannya Ravi Winata bukanlah pria terpilih.
Ada sosok lain yang tiba-tiba saja muncul di tengah kehidupan bahagianya. Mengacaukan segalanya. Sesuka hati. Meninggalkan Fey menjelang pernikahan, kemudian kembali hadir kala Ravi berusaha merapikan semua yang telah dibuat berantakan. Sayangnya, setelah segenap kehancuran yang dia terima, Ravi masih saja tak sanggup menggerus perasaannya. Lebih-lebih, dia malah jatuh hati pada bayi tak berdosa hasil hubungan gelap Fey dan mantan tunangannya. Van Roderick.
"Papa tahu," ujar Valdis sembari meletakkan cangkir di meja bundar, "teh buatan Papa ada di urutan ketiga yang paling aku rindukan saat Papa menginap di rumah sakit."
Ravi menggeleng samar. Sudah berapa lama dia tenggelam dalam lamunan? Tak ingin dicurigai, pria itu memutuskan bertanya, "Siapa yang pertama?"
"Papa, tentu aja." Valdis memamerkan senyum bangga. Caranya menarik sudut-sudut bibir mengingatkan Ravi pada sang ibu. "Yang kedua adalah rumah ini."
Praktis, Ravi tak mampu menahan euforia meledak di dada. Valdis memang bukan putra kandungnya, tetapi bagaimana lelaki itu menghormatinya, menunjukkan seberapa besar balasan kasih sayang yang dia terima. Ravi masih ingat, ada satu masa di mana Valdis menarik diri. Saat itu usianya menjelang delapan tahun. Kali pertama Fey memberi tahu siapa sebenarnya ayahnya. Pun, mengapa nama belakang mereka berbeda. Terlebih, secara fisik tidak ada kesamaan antara dirinya dan Valdis. Bocah itu marah besar! Mengasingkan diri dari segala hal. Bahkan, Ravi dan Fey sampai membutuhkan bantuan psikolog anak untuk kembali membangun kepercayaan diri seorang Valdis Roderick.
"Tsk, Januar..., Januar."
Gumaman Valdis menarik kesadaran Ravi. Astaga, dia banyak melamun hari ini! "Kenapa?" tanyanya. Tak melepas pandangan dari sang anak yang tengah menatap lurus layar gawai.
"Januar, nih, Pa," lapor Valdis. "Masa iya dia mau bocorin ke Tsania alamat rumah Papa."
"Tsania? Perempuan mana lagi? Bukannya minggu lalu yang kamu kenalin ke Papa namanya ... Emma?"
Valdis mengerucutkan hidung. "Emma?" tanyanya, bingung sendiri. "Kalau Tsania, baru kenalan, sih, Pa, tapi posesifnya luar biasa. Pacar juga bukan."
"Iya, memang bukan, tapi kamu memperlakukan mereka sama rata. Seperti pacar baik hati. Giliran mereka memperhatikan kamu, kamunya gelisah. Val..., Val. Kamu bukan bocah lagi. Papa enggak perlu kasih wejangan apa yang harus dilakukan laki-laki berusia menjelang 31 tahun, kan?"
Gelak Valdis membahana, mengisi atmosfer balkon, berusaha bersaing dengan gerimis sore kali ini. "Aku cuma belum ketemu perempuan yang tepat, Pa."
Ravi melempar tatap ke langit kelabu. "Beberapa hal perlu diciptakan, Val. Bukan hanya dicari," tuturnya. "Rasa nyaman salah satunya."
Valdis tidak menjawab. Benaknya sibuk menanamkan kalimat sang ayah. Dia tidak pernah mengatakan ini, tetapi Valdis tahu benar rasa sayangnya pada Ravi Winata jauh lebih besar daripada untuk ayah kandungnya sendiri. Bukan, bukan berarti dia tidak menyayangi Van Roderick. Hanya saja, Ravi telah menghuni ruang spesial. Nyaris delapan tahun beranggapan bahwa Ravi Winatalah ayahnya, bagaimana bisa Valdis membuang rasa itu begitu saja? Pada kenyataannya itu lebih sulit dibanding menerima keberadaan Van.
"Kamu tahu kenapa Mama memberimu nama 'Valdis Aldyth'?" lanjut Ravi.
Pengalihan percakapan menghasilkan kerutan di dahi Valdis. Namun, tak urung dia menanggapi, "Valdis berarti dia yang paling bersemangat dalam pertempuran. Aldyth—"
"Kekuatan," sambung Ravi. "Sayangnya, kamu malah bersemangat dalam menjatuhkan hati para gadis. Dan, buat Papa itu bukan prestasi membanggakan."
Alih-alih tersinggung, tawa Valdis semakin keras saja. "Aku juga bangga pada Papa," katanya. Jelas-jelas menganggap kalimat sang ayah sebagai pujian. Sesudah derai tawa berkurang, Valdis berujar, "Apa Papa tahu ada satu hal yang paling buat aku iri sama Papa? Sesuatu yang nggak aku dapatkan dari orang lain."
"Apa?"
Lama terdiam, Valdis akhirnya menjawab, "Aku ingin mencintai seseorang ... seperti Papa mencintai Mama," ungkapnya. "Dan aku yakin, suatu saat Tuhan akan mempertemukan aku dengan dia."
[].
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE YOU LATELY (Ledwin Series #3) - [ON HOLD]
ChickLitTidak ada seorang pun yang bisa hidup tanpa cinta. Yang ada hanyalah mereka yang berusaha tampak baik-baik saja, tetapi sesungguhnya terluka didekap kesepian. * Ini adalah sebuah kisah cinta biasa. Tentang seorang gadis yang dicintai banyak orang. I...