chap 2 Mina.

239 21 1
                                    

Aku menatap sebuah menara bercuat tinggi, di pintu masuk Desa Roro Tani. Menara itu terlihat hingga pintu masuk desa Roro tani, beberapa orang tengah berlalu lalang menjalani aktifitas mereka seperti pergi ke sawah, ke kebun, mengembala hewan ternak, dan berdagang.
Aku alihkan pandanganku kesebuah gapura bertuliskan Desa Roro Tani.

"Non, cantik ini mau ke mana?" sapa salah satu penduduk sembari menurunkan bakul yang tengah ia pikul.

"Saya mau ke rumah Bude Astuti Pak," seruku ramah.

"Wahhh, Mbak Astuti toh," ucapnya yang nampaknya mengenal Bude.

"Bapak mengenal Bude saya?" tanyaku padanya.

"Iya, saya mengenalnya, mari saya antar kerumah Mba Astuti." Jawabnya sembari mengelap keringat dan kembali memikul bakulnya.

Aku menganggukan kepalaku sembari tersenyum. Beruntung sekali aku langsung bertemu dengan orang yang mengenal Bude Astuti. Bapak ini bahkan menawarkan diri untuk mengantarku menuju rumah Bude.

Aku mengikuti langkahnya dengan sesekali aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Mataku disuguhi pemandangan desa yang sangat ramah. Penduduk-penduduk yang ramah dan udara yang segar jauh dari hiruk pikuk perkotaan.

Langkah kakiku terhenti di sebuah bangunan tua bak menara, yang kulihat di depan desa. Kini aku dapat melihatnya dengan jelas tepat dihadapanku. Bangunan menara itu terlihat sangat tidak terurus, yang anehnya mengapa di desa seperti ini ada bangunan menara yang bahkan tidak dipedulikan oleh warga sekitarnya. Mereka seakan menganggap menara itu seperti tidak ada. Aku mengalihkan pandanganku kesekitar warga yang tengah berlalu lalang mereka seakan acuh pada tempat itu.

" Non, mari rumah Mbak astuti sudah dekat." Sembari menarik lenganku agar segera beranjak pergi dari tempat ini.

"Pak, itu bangunan apa? Kok seperti menara?" tanyaku, namun Bapak itu hanya diam tak menjawab satu pertanyaanku pun.

"Pak?" tanyaku lagi, kali ini bapak itu menghentikan langkahnya dan menatap tajam ke arahku.

"Abaykan saja, jangan pernah membahas tentang apapun," ucapnya yang membuatku bingung.
Aku hanya diam dan kembali mengikutinya menlangkah ke arah sebuah rumah yang lumayan megah tak jauh dari tempat bangunan itu.

"Ini rumah, Mba Astuti saya pamit dulu," ucapnya tergesa-gesa lalu pergi.

Tak lama kemudian keluarlah seorang wanita separuh baya dengan kebaya kas jawa yang terlihat sangat anggun dia kenakan. Sanggul yang sederhana dan dandanannya yang sangat ayu selalu menjadi ciri kas Bude Astuti.

"Sri? Nduk Sri?" Melangkah mendekatiku, matanya menatapku tak percaya. Aku hanya mengangguk tersenyum melihatnya

"Ponakan Bude Srikadi," ucapnya yang langsung memeluku.

Sudah satu tahun aku dan Bude Astuti tidak bertemu. Kami memang sangat akrab, Bude Astuti sangat menyanyangiku. Dia memiliki lima orang anak dan semuanya laki-laki padahal kata Mama Bude sangat ingin memiliki anak perempuan mungkin karena itu dia sangat menyanyangiku dan menganggapku seperti anaknya.

Bude Astuti tinggal sendiri dirumah megah ini. Ketiga anaknya sudah berkeluarga dan duanya lagi tengah melanjutkan kuliah di luar kota. Bude Astuti menurut yang ibu ceritakan memang orang yang terpandang dan dihormati di desa Roro tani. Mungkin karena itu banyak orang yang langsung mengenalinya saat ada yang bertanya rumahnya atau tentang dia.

Aku dibawa masuk kerumahnya yang lumayan megah berarsitektuk kas jawa. Rumah yang sangat nyaman dan sangat kental adat jawa.

"Ini kamarmu, ganti bajumu lalu kita makan," ucapnya yang dibalas anggukanku.

Aku menelusuri kamar yang lumayan besar untuk dihuni satu orang, itu menurutku. Beberapa gambar wayang terukir indah di setiap dindingnya. Aku mendekati sebuah jendela dan membukanya, angin sejuk seketika menerpaku. Aku memejamkan mataku dan menghirup udara sedalam-dalamnya.

"Tenang," gumamku.

Aku membuka mataku dan ku lirik bangunan tua yang terlihat jelas di samping rumah Bude Astuti.
Di bangunan tua itu mencuat sebuah menara yang memiliki jendela sangat besar. Sepasang mata tajam seakan tengah mengawasiku dibalik jendela itu. Mata yang memancarkan kebencian yang menyimpan sejuta kesedihan dan kesakitan. Sepasang mata itu seperti tak henti-hentinya menatap kearahku.

Seketika seluruh tubuhku gemetar saat sepasang mata itu menunjukan bayangan yang sangat jelas aku lihat walau di kejauhan. Sebuah lukisan terjatuh membuatku menoleh kearah lukisan yang terjatuh di lantai itu.

Aku melangkah mendekati lukisan itu, lukisan dua orang wanita. Wanita berambut bondol tengah mengepang rambut wanita yang berambut sangat panjang. Wanita berambut panjang yang tengah dikepang terlihat sangat sedih dan wanita yang berambut bondol yang mengepang terlihat sangat gembira. Dua wanita dengan ekspresi yang bertolak belakang itu membuatku bingung.

Wanita berambut bondol wajahnya terlihat sangat pucat namun sangat gembira. Seperti tengah bermain dengan bonekahnya. Namun, wanita yang berambut pajang itu seakan tersiksa dengan perilaku wanita berambut bondol itu. Entah apa maksud dari lukisan itu tapi mata itu, mata yang sama dengan sepasang mata yang menatapku lekat di bangunan tua itu.

"Sri?" Suara Bude Astuti membuatku terbangun dari lamunanku, dan segera melangkah menuju pintu.

"Iya Bude," sautku sembari membukakan pintu.

"Loh, kamu belum ganti baju?" tanyanya yang aku balas dengan senyuman.

"Maaf, Bude. Keasukan liatin pemandangan di luar jendela tadi, pemandanganya indah dan udaranya juga sejuk," ucapku.

"Yasudah, ayo makan dulu," serunya yang segera melangkah menuju ruang makan.

Aku segera menyusul Bude menuju ruang makan. Di sana aku melihat meja makan yang sangat megah dengan berbagai lauk pauk yang sangat lezat.

"Mari duduk nak," ucap Bude Astuti.

"Rumah sebesar ini kenapa Bude tinggal sendiri?" tanyaku membuka obrolan.

"Semenjak meninggalnya Pakde lima bulan yang lalu dan perginya ke lima anak Bude memang tinggal Bude yang berada di sini. Tapi Bude tidak tinggal sendirian di rumah besar ini ada tiga pembantu dan dua tukang kebun yang membantu Bude di merawat rumah besar ini," tutur Bude Astuti sembari menyantap makanannya.

"Lalu bangunan tua it-"

"Ohokk!!"

Belum sempat aku melanjutkan pertanyaanku Bude Astuti malah tersedak. Segera aku mengambil air yang tidak jauh dari meja dan memberikanya kepada Bude.

"Bude tidak apa-apa?" tanyaku sembari menatap cemas kearah bude Astuti. Jika terjadi apa -apa pada bude Astuti dan dia mengadu kepada mama pasti mama akan langsung menghajarku.

"Tidak apa-apa kok Bude hanya tersedak," jawabnya yang masih terlihat mengatur nafasnya.

"Sebaiknya kamu istirahat dulu, sebentar lagi hari akan gelap, dan satu lagi, jangan keluar saat malam hari sebelum ayam berkoko saat pagi hari. Ingat itu." Melangkah pergi meninggalkanku yang masih terdiam di meja makan.

Kenapa aku tidak boleh keluar rumah saat malam hari, dan kenapa sebelum ayam berkokok saat pagi hari aku belum boleh keluar. Sebenarnya ada apa dengan desa ini, kenapa aku merasakan ada sesuatu yang aneh di desa ini.

Rapunzel MinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang