7

4K 207 4
                                    


Pagi ini aku berlari kecil menuju halte busway terdekat dari apartementku sambil sesekali menoleh ke belakang melihat apakah busway yang akan aku tumpangi sudah datang atau belum. Tepat untuk ketiga kalinya aku menoleh kebelakang untuk melihat, saat itu juga aku merasa menabrak sesuatu dan sialnya aku menabrang tempat sampah plastik yang berdiri dengan kaki besinya. Anehnya tanganku bergerak refleks seperti memeluk anak setinggi pinggulku. Aku mundur dan mengambil jalan di sisi lainnya. Mempercepat langkahku menuju halte yang tinggal beberapa langkah lagi. Masih pagi gue udah gak fokus. Setibanya di halte aku harus tetap berdiri, keinginan untuk duduk ku pendam saat melihat bangku halte sudah penuh sesak oleh orang-orang yang pergi beraktivitas pagi ini. Mataku melihat jam tangan yang melilit di tangan kiriku. 6.34.

"Seinget gue lo udah punya tempat sampah di apartement lo deh. Ngapain lo peluk-peluk tempat sampah tadi? Kekurangan tempat sampah lo?" Bisik sebuah suara di telingaku. Tak perlu menoleh untuk mengetahui siapa pemilik suara serak itu. Aku hanya diam mendengar ucapan Dhani-si suara serak- tadi, aku terlalu lelah untuk menanggapinya. Semalam aku baru bisa tidur 3 jam karena harus mengerjakan tugas blog dan paper yang dikumpulkan hari ini.

"Kalau nyari yang dipeluk tuh yang bisa meluk balik ya. Jangan benda mati atau hati yang mati. Itu gak baik." Lanjutnya lagi.

"Cowok kok baperan." Ujarku sambil meliriknya sekilas.

"Biarin. Kan gue cowok limited edition. Cuma ada satu disetiap benua."

"Stupid." Ucapku sambil geleng-gelang kepala. Gue kasihan ya sama cewek lu nanti, Dhan.

"BTW, tumben lo berangkat pagi. Ada apaan nih?" Tanyanya sambil 'menyenggol' bahuku menggunakan bahunya.

"Bukan urusan elo." Balasku singkat.

"Seperti yang di harapkan dari cewek jutek." Komentarnya sambil memasukkan tangannya di saku celana denimnya dan menatap ke kiri dan kanan mencari busway mungkin. Aku hanya melipat tangan di depan dada sambil menolehkan kepala menatapnya. Untuk sekitar semenit aku terus menatapnya tanpa suara. Kulihat telinganya mulai agak memerah. Gotcha. Hahaha.

"Kenapa lo liatin gue? Gue tahu gue ganteng tapi sorry nih lo bukan tipe gue." Ujarnya sambil memegang tengkuk lehernya dengan tangan kanannya.

"Ya ya ya... Gue juga gak berharap kok masuk tipe lo, pet." Balasku sambil menatap lurus keseberang jalan. Menurutku lebih menarik menatap dua orang anak sekolah dasar yang berangkat sekolah sambil bergandengan tangan pagi itu, dibandingkan menanggapi ocehan Dhani yang tidak ada habisnya.

"Yuk." Ajak Dhani sambil mendorongku masuk ke dalam busway yang baru berhenti sedetik lalu di depan kami. Aku hanya mengikuti dorongannya pada kedua bahuku membuatku naik ke bus yang aku tunggu sedari tadi. Tanganku menempelkan sisi belakang ponselku yang sedari tadi aku pegang pada mesin scan di dekat pintu bus untuk membayar busway.

"Bayarin gue juga ya." Bisik Dhani sambil berlalu melewatiku mencari kursi kosong. What the? Tanganku langsung terulur kembali ke arah mesin scan tersebut untuk kali kedua. Rasanya saat ini aku ingin berteriak dan menjitak kepala kerasnya itu tapi aku sadar saat ini banyak orang yang sedang mengantri di belakangku untuk masuk ke bus.

Aku berjalan masuk mencari kursi yang masih kosong. Dan sialnya lagi saat ini semua kursi penuh dan Dhani duduk manis sambil tersenyum dan melambai kepadaku. Aku berjalan ke arah kursinya dan langsung menginjak salah satu kaki milik pria bernama lengkap Ardhani Agung Baraputra itu yang berhasil menghasilkan seruan dari mulutnya dan membuatnya menjadi pusat perhatian.

Hasilnya jangan ditanya warna kulit di sekitar pipi dan telinganya memerah, walau tidak terlihat jelas karena warna kulitnya yang sawo matang tapi bercak merah jambu itu tetap terlihat. Aku hanya mengedikkan bahu acuh sebelum kembali berlalu mencari tempat yang menurutku 'agak sepi' dan ada tempat untukku berpegangan.

"Ya, elah ngambek. Kayak cewek aja." Ejek Dhani saat sudah berdiri di sampingku.

"Bodo." Balasku. Gue kan emang cewek. Ah, kalau di bales lagi nanti jadi panjang urusannya. Huh!

"Ngapain lo di sini? Kemana kursi lo?" Lanjutku

"Tuh liat sendiri deh." Ucapnya aku pun berusaha memanjangkan leher melihat ke arah kursi yang tadi ditempati Dhani. Di sana duduk seorang ibu-ibu hamil dengan pakaian biru langit sedang tersenyum sambil mengelus perutnya yang membesar.

"Gue gentle kan?" ucapnya sambil mengangkat dagunya agak tinggi.

"..."

Akhirnya selama perjalanan hingga di kampusku dipenuhi dengan obrolan tak bermutu dari Dhani dan tanggapan singkat dan 'jutek' dariku. Setelah melewati sekitar 6 pemberhentian akhirnya aku tiba di kampusku. Seoul National University. Aku segera turun saat pintu keluar terbuka. "Belajar yang rajin, ya." ucap Dhani sambil ikut turun bersamaku.

"Ngapain lo juga turun?" Tanyaku. Tapi hanya di balas kedikan bahu olehnya. Lalu ia berlalu sambil melambai padaku dan akhirnya hilang di keramaian orang.

***

"Tahu gini gue gak masuk. Udah buru-buru ke kampus, eh malah dosennya gak masuk. Ini malah tugasnya nambah. Nasib mahasiswa gini banget deh." Umpatku sambil berlalu keluar gerbang kampus dengan tangan membawa tiga buku yang aku pinjam dari perpustakaan kampus.

Tak terasa sekarang aku sudah masuk bulan keempatku kuliah. Empat bulan lalu aku masih seperti 'anak desa masuk kota' ketika tiba di Seoul dan selama empat bulan ini juga banyak kejadian yang terjadi di hidupku selama di Seoul. Mulai dari aku yang dicopet Dhani, pertemuanku dengan kak Tere dan Dhani, bertemu orang-orang cafe, tapi yang paling mengubah hidupku adalah aku bekerja sebagai BABYSITTER.

Aku duduk di halte busway sambil memainkan ponselku yang ber-casing abu-abu. Mau kemana ya? balik ke apartemen? Males jauh. Ke cafe? Hmm, shiftku masih 4 jam lagi tapi ini pilihan terbaik daripada aku harus balik ke apart atau pergi mengurus setan kecil itu. Batinku sambil berdiri saat melihat busway yang menuju ke daerah cafe tempatku bekerja mendekat.

***

Aku baru mendudukkan tubuhku ke kursi penumpang sekitar 10 menit saat tiba-tiba sebuah panggilan masuk ke ponselku. Kulihat nama Kim TaeJun tertera di sana. Ayah dari seorang setan kecil yang sudah ku asuh selama empat harian ini. Ku geser layar untuk menjawab panggilannya. "Yeoboseyo-halo-?" kataku saat sudah menempelkan ponsel ke telinga kananku.

"Lili? Kau sekarang senggang tidak?" tanyanya dari seberang telepon.

"Iya, Tuan kim." Jawabku.

"Sekarang kamu bisa tolong jemput Nana? Dia sekarang sedang menunggu saya, tapi saat ini saya sedang ada ada urusan mendadak yang sangat penting. Dan bisakah kau menjaganya? Nanti saya akan kabari jika urusan saya sudah selesai." Kata tuan Kim yang terdengar seperti tergesa-gesa.

"Ah, iya tuan. Baik saya mengerti." Ujarku.

"Terima kasih Lili." Ucapnya sebelum mematikan sambungan telepon. Ku sandarkan punggung saat melihat sambungan telepon tersebut terputus. Selamat datang ke neraka Lili. Apa lagi yang akan setan kecil itu lakukan hari ini untukku?

***

selamat tahun baru 2018.... Telat banget ya aku? wkwkwk. maaf ya teman-teman. 

Hwaaaaa sorry banget nih temen-temen kalau aku lama banget baru bisa update. padahal waktu sebenernya ada tapi mood buat nulis dan idenya kadang yang gak ada, tapi sekalinya mood buat nulis ada waktunya yang gak ada. wkwkwk. manusia mah gitu. Makasih yang masih mau sabar banget buat nunggu update cerita ini.. kalian salah satu orang yang paaaliiing saaabaaar yang aku kenal.. hehehe... TERIMA KASIH udah sabar nunggu update-an cerita ini. yang klu update kadang udah kyk ngambil rapor yg tiap 6 bulan,, hehehe...

Tolong Vote and Comment-nya ya. makasih

*maaf jika chapter ini agak kurang feel atau alurnya terlalu lambat ya. #bow

My Baby SitterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang