Aku selalu merasa dunia ini tak adil padaku. Membuatku jatuh terpuruk dalam lautan dengan kegelapan tak berujung. Di mana tempat diriku tak dapat menangis, bergerak, ataupun bernapas. Aku hanyalah seorang yang tak memiliki apapun, siapapun, atau keinginan untuk hidup.
Dengan kata lain, aku ingin mati.
Walau begitu, rasa takut akan kematian masih menyerap dalam diriku. Berperang dengan keraguan akan masa depan yang kuimpikan. Aku sering bermimpi akan kehidupan yang normal. Seperti bangun di pagi hari yang penuh ketenangan atau malam di mana aku menikmati mimpi indahku.
Semua hanya khayalan. Selalu saja berandai walau aku tahu tak dapat terwujud. Hari ini puncaknya, yang mungkin terakhir kalinya aku bisa berkhayal. Inilah klimaks dari kisah hidupku yang sangat singkat. Aku tidak ingin terus melarikan diri. Dengan caraku sendiri, aku akan mencari kebebasanku sendiri.
Aku tidak memiliki kesempatan. Pemikiran itu membuatku tersenyum kecut.
Aku harus apa lagi? aku lelah terus-terusan memendam tangisku sendirian.
Dengan bunuh diri? hanya itu yang kudapatkan dari pikiranku yang telah buntu. Aku sudah bilang, aku telah terpuruk dalam kegelapan. Aku tersesat dan kesulitan mencari jalan untuk melarikan diri.
Di sinilah aku sekarang, duduk terpaku menatap cahaya bulan yang terpantulkan di permukaan danau.
Ini adalah tempat terakhirku bernapas, pikirku.
Keraguan muncul dalam hatiku. Tapi perasaan itu termakan oleh rasa penasaranku yang meluap-luap. Aku merasa kembali menjadi seorang anak kecil yang manja. Selalu menginginkan perhatian orang tuanya. Begitu sangat kekanakan.
Aku ingin mereka menangis untukku dan menyesal.
Aku juga ingin percaya bahwa kehidupan ini tidak akan berakhir sia-sia. Bila diriku mati saat ini, akan lahir kembali diriku. Diriku yang akan hidup bahagia, tanpa noda yang akan menutupi warna-warni kehidupanku.
Untuk yang terakhir kalinya aku menatap bulan sabit di sini. Dengan duduk di kursi taman yang ditemani oleh remang cahaya lampu taman. Cahaya yang bahkan tidak dapat meraba wajahku yang kedinginan. Setelah ini, aku akan maju dan menghilang. Aku tidak akan melihat pemandangan ini lagi.
Tapi aku melihatnya, anak lelaki dengan syal bergelayut di pundaknya. matanya berkilau di bawah cahaya bulan. Dia berdiri jauh dariku, uap keluar dari mulutnya. Aku merasa dia mentapku, membuatku menelan salivaku susah payah.
Di matanya, aku merasakan penderitaan yang panjang. Aku tidak mengerti walau dapat merasakannya. Aku tak dapat membaca dirinya, yang kulihat hanyalah seseorang yang ... sekarat. Dia menatap tepat ke mataku, tapi disaat yang sama aku merasa dia tak menatapku. Tak mentap siapa pun, atau apa pun.
Aku menunduk dan tersenyum. Aku masih belum ingin mati.
Menikmati hidup dengan penuh rasa sakit mungkin lebih baik. Itu akan memberiku pengalaman. Bila alasan itu belum cukup untukku, aku akan terus menerawang dan mencarinya.
Terima kasih, dalam hatiku. Berkat dirinya, aku dapat menemukan alasan untuk diriku. Alasan yang tidak membuatku terlihat seperti pengecut. Terima kasih telah datang malam itu.
Akan ku katakan dengan benar saat ku bertemu dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
That Water i can't Touch
Mistério / SuspenseMalam dimana aku ingin menyelesaikan masalahku dengan jalan yang salah, dia datang dan membuat ku tersadar. Sadar akan keindahan yang dapat kulihat di sekitarku. Termasuk dirinya, yang dapat membuatku tersenyum dan berharap dapat terus bertemu denga...