Waktu berlalu dengan cepat. Begitu juga dengan suasana di sekitarku. Beberapa hari lalu tempat ini sangat sunyi, kini banyak orang bertadangan. Mereka memakai jaket bulu angsa yang cukup tebal dan saling berbincang tepat di depanku. Dan tak lama juga, di malam hari aku mendapati tempat ini telah berubah total.
Kendaraan-kendaraan besar terparkir, tempat ini telah ditutup. Jalanan di malam hari menjadi lebih terang, mereka menambahkan banyak lampu di sana-sini. Menaruh pembatas di tepi danau.
Aku merasa lega saat melihat bangku dan lampu taman tempatku biasa merenung masih ada di tempatnya. Walau... pohon besar di belakangnya telah ditebang.
Akankah aku tahan dengan perubahan ini? tentu saja, aku tidak tahu.
Aku mendesah, hampir keseluruhan tempat ini telah berubah. Aku sangat merasa lelah. Suhu malam ini terlihat sangat dingin, tapi aku tidak merasakannya. Seakan kulitku telah mati rasa. Bahkan ketika kutanggalkan jaketku, aku masih tidak bisa merasakan suhu dingin yang biasanya.
Aku mendongak ke atas langit. Bulan sabit kecil yang ditemani ratusan bintangnya berjejer. Menemaniku dalam kesunyian di malam ini.
Padahal langit tengah dalam suasana hati yang cerah, sayang sekali Eruki tak bisa melihatnya. Mungkin dia tengah sibuk berberes untuk kepindahannya. Yang pasti, aku tak kunjung melihat batang hidungnya akhir-akhir ini. Tiap memikirkan dirinya, rasa kesepian merayapi diriku. Timbul keinginan untuk bertemu dengannya. Bahkan aku berharap dia datang ke sini sekadar menyapaku.
Tapi untuk apa? lagipula, aku bukanlah siapapun bagi dia. Aku hanya orang asing, orang yang kebetulan menemani saat dia merenung di sini. Aku tidak tahu seperti apa dia melihat diriku. Tapi, aku melihat sosoknya sebagai penyelamatku.
Bagaimana dengan nasibku kedepannya? apa benar aku akan lenyap? saat aku mengatakan hal itu sebelumnya, aku sendiri kurang yakin. Aku memang telah terikat dengan tempat ini. Begitu sangat lama. Seiring waktu, ingatanku menghilang. Aku tidak mengingat tentang diriku sampai Eruki membuatku mengingatnya.
Kini aku mengingat beberapa hal penting. Bagaimana aku bisa terjebak di sini... mengapa... dan asalusul diriku. Aku juga mengingat sesuatu, yang membuatku terjebak di sini.
Aku mati, di saat tempat ini masih sangat indah dan asri. Penglihatanku selama ini palsu. Tempat ini berbeda dari bayanganku. Dan akulah yang membuatnya berubah.
Dulu, mati dengan menggantung diriku di pohon belakang kursi taman ini. Aku juga sempat mengingat sesuatu yang penting; sebelum aku mati, aku sempat merasa ragu. Aku takut akan kematian.
Di tengah malam, seorang gadis yang berdiri di kursi taman dengan tali yang mengikat lehernya jatuh terpleset. Di tengah penentuan kematiannya, gadis itu menyesal. Meronta-ronta mencoba melepaskan tali yang mengikat di lehernya. Mencoba berteriak, tapi hanya sahutan jangkrik yang menjawab. Tak ada yang datang, hingga pagi beranjak.
Mataku memanas. Penyesalan tidaklah berarti sekarang. Aku mendongak, mengusap kasar mataku yang mulai minitikkan air. Aku sangat benci akan rasa kesepian ini. Aku sangat berharap, ada seseorang yang datang menyelamatkanku. Atau aku lebih memilih ingin pergi dan menghilang.
"Aku bahkan belum sempat mengucapkan terima kasihku padanya..."
Mungkin... aku tidak bisa melakukannya. Jadi kuharap, suatu saat aku bisa bertemu dengannya. Walau bukan dalam wujud ini, aku ingin berada di sisinya.
Terima kasih, Eruki. Sampai jumpa.
Mungkin aku sudah gila... dia masih sangat muda. Tapi,
Aku mencintaimu.
Dia menghilang bersama dengan robohnya kursi lapuk itu, dan juga padamnya lampu redup yang ada di sana.
FIN
KAMU SEDANG MEMBACA
That Water i can't Touch
Mystery / ThrillerMalam dimana aku ingin menyelesaikan masalahku dengan jalan yang salah, dia datang dan membuat ku tersadar. Sadar akan keindahan yang dapat kulihat di sekitarku. Termasuk dirinya, yang dapat membuatku tersenyum dan berharap dapat terus bertemu denga...