Dia kelihatan berbeda malam ini.
Dia tersenyum tipis padaku.
Dan kini, aku bisa melihat kilauan yang pernah kulihat sebelumnya. Hanya dengan menatapnya sebentar, aku tak bisa mengalihkan pandanganku.
Tatapan yang dapat kubaca. Aku tidak tahu apa dia senang ataupun sebaliknya.
***
Hari ini pun berbeda dengan hari sebelumnya. Bulan menampakkan dirinya dengan jelas. Berbentuk sabit, ditemani oleh ratusan bintang. Terlihat indah sangat indah bagiku.
Aku merasa nyaman dengan keheningan. Tapi, saat ini suara jangkrik seakan mengejekku. Bergema ke dalam gendang telingaku. Setelah beberapa selang waktu, aku menemukan diriku yang tengah muak dengan suasana yang tengah hening ini.
Eruki seperti biasa duduk di sampingku. Dia menengadah ke atas. Matanya menyelami angkasa. Berkilau indah karena pantulan dari cahaya bulan. Sama seperti tadi, senyum tipis itu menempel di bibirnya.
Tiba-tiba dia menghela napas, "Hei," panggilnya. "Di matamu, seperti apa pemandangan di depan kita?"
Pertanyaannya membuatku bingung. Aku mengalihkan pandanganku ke danau. Kali ini cahaya dari bulan menyelimutinya, terlihat begitu berkilau. Bayangan dari pinggir danau -apapun itu- terlihat jelas. Bulan yang berbentuk sabit itu memantul di permukaan.
Jawabanku sangat jelas, "Sangat indah."
"Kau sudah gila, " gumamnya kecil yang dapat terdengar olehku. "Segeralah periksakan dirimu ke dokter mata, mungkin matamu sudah rusak."
Aku kesal akan leluconnya. Sangat buruk.
"Tapi, dibalik keindahan ini pasti ada sesuatu yang buruk," ucapku.
"Matamu memang benar-benar sudah rusak," cibirnya.
"Lelucon yang tidak lucu, hentikan saja."
Dia tertawa kecil, "Aku tidak bercanda. Aku hanya heran dengan apa yang kau lihat."
Aku tidak membalas perkataannya. Aku tidak mengerti bualannya kali ini. Aku juga tidak dalam mood untuk membalasnya.
"Hari ini kau kelihatan senang, ya."
Eruki menoleh, "Apakah terlihat jelas?" aku mengangguk. Dia kembali tersenyum kecil dan bersender dengan kedua tangannya.
"Olivia, kau mau saling bertukar rahasia?"
Aku mengangkat kedua bahuku dan mendengus. "Aku ini lebih tua darimu, ingatlah."
"Aku tidak perduli."
Aku mendengus kesal. Apapun yang aku katakan padanya, tidak akan memberinya pengaruh. Dasar anak kurang ajar.
"Baiklah, kau duluan."
Setelah hening sesaat, Eruki mulai berbicara. "Aku akan pindah."
Dengan kalimat itu, aku langsung memahaminya. "Kau senang hanya karena akan pindah? kekanankan sekali."
Dia tidak membalasku dan hanya tersenyum kecil. Mungkin perkataanku benar. Dia masih seorang anak yang akan sangat senang hanya dengan hal-hal kecil.
"Aku juga senang karena akan melepaskan ikatanku dengan tempat ini. Hanya bersama dengan ibuku."
Aku menyipit sambil meliriknya, "Anak manja," ledekku.
Dia mendecih kesal. "Giliranmu."
Aku terdiam dan sedikit merenung.
"Apa yang harus aku tukar? kurasa aku punya banyak rahasia."
"Jangan menceritakan hal-hal tidak berguna, tidak akan aku terima."
Kurasakan angin membelai lembut anak rambutku. Telingaku berdengung karena hening. Aku menunduk dan meremas tanganku. Karena dia telah memberi tahu diriku rahasianya yang paling besar, aku juga akan memberitahu dirinya yang setimpal.
"Aku sudah mati."
Hanya inilah yang setimpal untuknya. Rahasia terbesarku, yang tidak diketahui siapapun, dan tidak pernah aku beritahu pada siapapun.
Dia telah memberitahu rahasia yang sama denganku, dia sangat senang. Yang bahkan belum dia beritahu pada ibunya, atau diketahui oleh orang lain. Kurasa... akulah orang pertama yang mengetahui perasaannya.
Dia hanya diam, tak berkata apapun. Alisku berkerut dengan reaksinya yang terlalu biasa itu. Apakah dia menganggapku sedang bercanda?
"Aku sudah tahu," perkataannya memecahkan lamunanku. Aku menoleh bingung padanya.
Dia menatapku. "Aku sudah sadar sejak lama. Saat aku pertama kali datang ke sini."
Tubuhku bergetar, mataku mulai memanas. Aku ingat, dia adalah anak kecil yang selalu datang dan mengajakku berbicara dulu.
Di saat matanya penuh dengan kilau kebahagiaan. Reuni apa ini? bahkan aku tidak pernah ingat tentang dirinya. Aku bahkan tidak menyadari tidak banyak yang berubah dari wajahnya. Bagaimana aku bisa lupa?
"Hei," panggilnya. Kata-kata selanjutnya yang dia lontarkan membuat jantungku berdetak sangat kencang.
"Bila danau ini lenyap, apa yang akan terjadi padamu?"
Aku tak bisa menjawabnya. Walaupun begitu, jawabannya sangat jelas.
Aku akan lenyap.
KAMU SEDANG MEMBACA
That Water i can't Touch
Misteri / ThrillerMalam dimana aku ingin menyelesaikan masalahku dengan jalan yang salah, dia datang dan membuat ku tersadar. Sadar akan keindahan yang dapat kulihat di sekitarku. Termasuk dirinya, yang dapat membuatku tersenyum dan berharap dapat terus bertemu denga...