Hari telah berganti. Di jam yang sama, juga tempat yang sama. Duduk sambil memeluk kedua kakiku di atas kursi taman. Malam ini lebih dingin dari malam sebelumnya. Tetapi masih sama dengan kemarin, langit tertutupi awan gelap. Lampu taman menjadi satu-satunya teman yang menemaniku.
Pandanganku tetap terkunci ke arah danau. Sangat sunyi. Kesunyian yang begitu menenangkan.
Dalam jangka waktu yang tak lama lagi, aku tak akan dapat melihatnya lagi. Beritanya telah tersebar, danau ini akan dikeringkan lebih cepat. Seluruh keindahan yang pernah kulihat, bersama dengan kenangannya akan lenyap. Entah bagaimana nasibku nanti. Danau yang menjadi sandaranku selama ini akan hilang.
Lenyap, kata itu menyarap ke dalam dadaku. Tidak ada lagi, hilang, dan musnah. Aku tak tahu alasan maupun tujuan pengeringan danau ini. Aku sangat sedih, aku tak bisa melakukan apapun. Rasa cintaku begitu besar pada danau ini, tapi tak ada yang bisa kulakukan untuknya. Aku bagaikan seonggok sampah dalam tempat sampah. Aku telah dibuang, kemudian akan dibuang lagi.
Aku mendongak ke langit, berharap ada bintang yang menemani rasa kesepian dalam diriku. Tapi tak ada satupun, seakan bintang-bintang itu telah lenyap.
Tidak ada yang menemaniku sekarang. Rasa dingin mulai merayapi tubuhku. Perlahan pikiranku mengosong, rasa sesak yang tiba-tiba terasa menyakitkan dalam dadaku. Leherku terasa seperti tercekik, sangat sulit walau aku telah berusaha untuk bernapas. Seluruh tubuhku kaku, membatu. Bahkan aku tak bisa mengedipkan kedua mataku yang terasa perih. Aku ingin berteriak, meminta tolong, atau menangis sekencangnya. Apapun itu, aku tidak ingin merasakan kehampaan yang mulai menggerogotiku.
Tak ada yang kumengerti. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi padaku. Pandanganku begitu kabur. Aku tidak dapat melihat apapun. Telingaku berdengung kencang.
Tapi aku mendengar suara yang familiar. Aku mengenali suara itu.
"Hei..."
Suara anak laki-laki itu terdengar jelas di telingku.
"Hei!"
Aku terhentak bangun dan tubuhku menimpa tanah. Aku terengah sambil berusaha bangun.
"Kau ini kenapa?"
Aku mendongak, anak laki-laki itu menatapku sambil mengulurkan tangannya. Tanganku menyambutnya, dia menarikku bangun. Tatapan sebal dari matanya terlihat jelas.
"Kau tidur di sini lagi." Dia mengusap tangannya dan duduk ke kursi. "Apakah tempat ini senyaman itu? kau tidak punya tempat tidur di rumah, ya."
Aku mencibir. Beberapa kali ku tepuk celanaku yang kotor dan mengambil tempat di sebelahnya. "Kalau iya, apa masalahmu?"
Dia mendengus. "Kau tidak bisa mendengarkan nasehat orang lain."
"Untuk apa aku mendengarkan nasehat dari anak kecil sepertimu? kau sendiri juga berkeliaran di tengah malam, tahu."
Dia tak membalas ejekanku. Mungkin dia merasa kesal. Dilihat dari postur tubuhnya, mungkin dia berumur empat belas atau lima belas tahun. Aku sangat penasaran tentang dirinya. Melihat tepat ke matanya, tercampur aduk berbagai perasaan. Punggung kecilnya menanggung begitu banyak masalah.
Dia adalah seorang remaja dengan sejuta masalah dalam hidupnya. Sama sepertiku.
"Hei," panggilku padanya. Dia menoleh padaku. "Kita belum berkenalan."
Dia mengalihkan pandangannya, mungkin karena tahu aku memperhatikan, "Oh... ya. Namaku Eru. Eruki."
"Bagaimana dengamu?" tanyanya pelan.
"Nama ya... kau tidak pernah diajarkan untuk tidak memberitahu namamu pada orang asing?" candaku.
Dia mendesis marah, "Kau kira aku anak kecil?" Aku terbahak.
Rasanya seperti sudah lama aku tak mengucapkan namaku sendiri. Aku bahkan tak yakin ada yang memanggil diriku dengan namaku dalam waktu dekat ini. Bahkan orangtuaku...
"Aku tidak membutuhkan anak menjijikkan sepertimu!"
Anak menjijikkan? itu bukanlah panggilan yang buruk. Aku juga lupa kapan terakhir mereka menyebut namaku.
"Olivia? aku kurang yakin."
"Kau tidak yakin dengan namamu sendiri?" desaknya. Dia kelihatan curiga.
"Aku tidak mengarangnya, kok."
Dia menjawabnya dengan bergumam dan mengangguk beberapa kali. Dia kembali mendongak menatap langit. Matanya menari, seakan mencari -apapun itu- tapi tak kunjung menemukannya. Aku pun tak tahu mengapa aku terus-terusan memperhatikannya. Terus menatap matanya, mencari sesuatu.
Aku mencari kilau yang ada dalam matanya. Yang aku lihat pada malam itu.
Kilau itu tidak ada di matanya sekarang. Apakah karena bulan tidak terlihat?
Aku ingin melihatnya lagi. Satu keinginanku bertambah. Ada dua hal yang ingin aku lakukan. Pertama, berterima kasih padanya. Kedua, aku ingin melihat mata yang pernah kulihat sebelumnya. Di dalam hatiku, aku merasa harus segera melakukannya.
Aku tahu aku akan bersama dengannya setiap saat. Kebersamaan ini hanya berlaku sesaat, cepat-atau lambat bisa saja lenyap. Jadi, aku ingin menikmatinya. Walau hanya untuk sesaat.
TBC...
Author note:
Yeah! mendekati akhir.
Thanks to Rikurashi. Siapapun itu, dia sudah bantuin milihin nama yang cocok buat MC cowoknya. Bye~

KAMU SEDANG MEMBACA
That Water i can't Touch
Misteri / ThrillerMalam dimana aku ingin menyelesaikan masalahku dengan jalan yang salah, dia datang dan membuat ku tersadar. Sadar akan keindahan yang dapat kulihat di sekitarku. Termasuk dirinya, yang dapat membuatku tersenyum dan berharap dapat terus bertemu denga...