Prolog

547K 9.3K 291
                                    




Suasana dapur sebuah bakery itu sunyi sore ini. Seorang gadis dengan aparon berlogo tawon dengan huruf B terlihat tengah duduk di lantai, berkutat dengan buku sketsa dan beberapa kertas lecek di sekitarnya. Sesekali gadis itu terlihat menerawang, menghela napas panjang, lalu kembali menyentuh penggaris dan pensil.

"Ini bener-bener nggak mudah." keluh gadis itu. Ia meletakkan kembali pensil dan penggaris ke lantai. Menyeret buku sketsa dan kertas lecek ke samping, ia meluruskan kakinya yang terasa pegal. Kembali menghela napas, gadis itu menyandarkan kepalanya pada dinding dapur BeeBakery, tempatnya bekerja.

"Lexa Gestama," ucap gadis itu menyebutkan namanya sendiri, "lo bener-bener tamat!"

Lexa—nama panggilan gadis itu, melirik kembali buku sketsanya. Ia berdecak kesal ketika teringat tugas yang seharusnya sudah rampung itu hilang entah kemana. Padahal, tugas itu harus dikumpulkan dua hari lagi. Rasanya Lexa ingin menangis saja saat ini. Terlebih ketika ingatannya seolah membeku pada satu nama di masa lalunya. Pada 'dia yang membuat Lexa menjadi mahasiswa desain arsitektur, Lucas Bernandra.

Lexa memejamkan mata, menghalau rasa nyeri di hatinya saat teringat nama Lucas, saat teringat sore itu di lapangan basket ketika Lexa masih SMA. Pertemuan pertamanya dengan Lucas.

Lucas menghentikan dribble bolanya ketika pelatih basket meniup peluit. Guru olahraga itu mengatakan pertandingan berakhir, padahal Lucas yakin baru lima menit babak kedua dimulai.

"Istri saya melahirkan." kata Pak David. "Jadi, maaf Lucas, ekskul sore ini cukup sampai di sini."

"Yah, Pak!" Lucas hendak protes, terlebih karena ia gagal mencetak poin dari posisinya yang sudah bagus. Namun, sang guru sudah berlari meninggalkan lapangan.

"Sabar, Bro." Juna, teman baiknya yang juga tergabung dalam ekskul basket, menepuk bahu Lucas. Meski begitu, ia mengikuti jejak Pak David meninggalkan lapangan.

Sialan.

Awalnya, Lucas hendak mengikuti Juna untuk pulang saja. Namun, niatannya itu gagal karena gadis berjaket abu-abu yang tadi berlari menghampiri Pak David untuk memberitahukan kabar itu, menarik perhatiannya.

"Heh, cewek yang pakai jaket abu-abu!" seru Lucas keras.

Si gadis yang ia maksud berhenti. Tak ketinggalan, gadis itu menatap ke sekeliling, mencari sumber suara. Lucas mendekat pada gadis si pemberi kabar sialan itu.

"Lo yang manggil gue?" tanya gadis itu, menatap Lucas dengan tatapan menyelidik.

"Ya. Di siang menjelang sore yang panas ini, kan cuma lo yang pakai jaket."

Gadis itu melirik penampilannya, lalu kembali menatap Lucas. "Kenapa?"

"Lo mau jadi pacar gue, atau mau gue lempar kepala lo itu pakai bola ini?" kata Lucas santai, tanpa ekspresi mengintimidasi meski kalimat yang barusan ia lontarkan lebih terdengar seperti ancaman. Keanehan maksud kalimat itu terlontar melengkapi pandangan aneh gadis berjaket abu-abu itu. Tatapannya sampai-sampai menjalar kepada Lucas, dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Gadis itu menarik napas, Oke, cowok ini ganteng, wangi, udah pasti bukan tukang sampah. Dan lihat itu kulit mulus dia, udah pasti juga dia bukan kuli bangungan.

Saat ia baru akan menjawab, tangan panjang cowok di depannya dengan asal menaikturunkan risleting jaketnya. Cowok itu lalu menggumamkan namanya.

"Lexa E. Gestama." gumam Lucas. "Oke, Lexa, gue ulangi lagi." Kali ini Lucas mendekatkan wajahnya pada wajah Lexa, membawa bibirnya tepat pada telinga Lexa—si gadis berjaket abu-abu.

"Lo mau jadi pacar gue, atau mau gue lempar kepala lo pakai bola basket ini?"

"Lo mau gue jadi apa?" ulang Lexa, merasa ada yang salah dengan pendengarannya.

Lucas baru hendak kembali membisikkan ancaman itu ketika jersey olahraganya ditarik kasar oleh seseorang. Ketika berbalik, Melissa, si ketua OSIS SMA Diamante sudah berdiri berkacak pinggang menatapnya tajam.

"Lo mau apain cewek ini?" desis Melissa.

Lexa beringsut mundur satu langkah. Ia sudah menyukai keberadaannya yang tidak terlalu terkenal di SMA ini. Jadi, jika sampai wajahnya menjadi terkenal karena cowok gila di depannya ini membuatnya berurusan dengan Melissa, Lexa akan minta pindah sekolah saja.

"Gue ulangin dari awal, oke? Lo dengerin gue." Lucas, seakan tidak peduli dengan desisan tegas itu, kembali mendekat pada Lexa. "Lo mau jadi pacar gue, atau mau gue lempar kepala lo pakai bola basket ini?" tanya Lucas, masih menatap Lexa dengan santai.

"Mending lo terima aja." sahut Melissa. "Siapa nama lo?" Melissa menggeser tubuh Lucas, berdiri di depan Lexa.

"Lexa. Nama dia Lexa." Lucas yang menjawab.

"Gini, Lexa, menurut gue, lo baiknya terima aja dia jadi cowok lo. Soalnya, selama gue kenal vampir gila ini, dia nggak main-main sama ucapannya. Which is, dia akan beneran lempar kepala lo pakai bola itu kalau lo nggak milih jadi pacar dia." tutur Melissa, menatap Lexa dengan tatapan prihatin. Tapi, tatapan itu hilang ketika Melissa kembali menoleh pada Lucas.

"Tapi kalau gue— ehm, saya cuma dijadiin taruhan sama dia gimana, Kak?" tanya Lexa.

"Nggak akan. Gue tahu banget cowok vampir ini dari bayi. Dia nggak pernah suka main taruhan, meski ya, teman-teman dia wajahnya kriminal semua. Tapi kalau memang dia cuma jadiin lo taruhan, gue janji, gue akan ada di barisan paling depan buat bantuin lo nyunat dia." kata Melissa, tak lupa mengulas senyum hangat pada Lexa sebelum berlalu meninggalkan kapten basket SMA Nusantara dan si anak tidak populer itu.

"What the f—" Lucas ingin sekali mengumpat.

"Gue ada di pihak lo, Lexa!" kata Melissa mengangkat ibu jarinya ke udara.

"Jangan dengerin dia," kata Lucas. "Jadi..."

"Oke, gue mau jadi pacar lo." sahut Lexa.

"Bagus." Lucas tersenyum, secepat kilat mendaratkan bibirnya pada bibir Lexa. Tanpa ia duga, gadis berjaket abu-abu itu membalas ciumannya—tapi hanya untuk dua detik, karena pada detik ketiga, Lucas merasa telinganya ditarik dengan kasar.

"Lo mau bikin nama baik gue tercoreng sama sikap mesum lo barusan?!" omel Melissa. "Demi PR yang gue tinggalin di perpus, ini sekolahan, Lucas. Lihat itu, banyak adik kelas!"

Lucas menepis tangan Melissa dari telinganya. "Dan gue adik lo, bukan kambing."

"Maafin adik gue, Lexa. Otaknya memang kadang suka melorot ke dengkul." kata Melissa, mengulurkan tisu pada Lexa.

"Dia adiknya Kak Melissa?"

"Berat memang harus menanggung titel jadi kakaknya." gumam Melissa, mengulas senyum tidak enak. Sementara Lexa? Gadis itu mengulas senyum dua kali lebih tidak enak.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Boss Kissed MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang