-Satu-

292K 5.2K 213
                                    


Dering ponsel Lexa di atas meja pantry membuat gadis itu gelagapan sendiri. Ia lekas bangun dan melesat menuju ponselnya. Lexa menggeleng beberapa kali, mencoba mengusir kenangan yang baru saja berputar di dalam kepalanya. Lexa menekan icon berwarna hijau saat melihat siapa yang menelepon sore-sore begini. Melissa Bernandra.

"Ya, Mel, ada apa?" tanya Lexa tanpa basa-basi. Suara di seberang terdengar berisik. "Lo lagi di mana sih, kok rame banget?"

"Halo, Lexa, udah kesambung ya? Gue lagi di stasiun kereta. Beli tiket. Lusa ulang tahun mama, jadi gue mau pulang. Lo mau ikut pulang sekalian nggak?"

Lexa terdiam. Menimbang apakah ia harus ikut Melissa atau tidak. Ia sudah lama tidak 'pulang'. Namun teringat ia sudah tidak punya siapa-siapa lagi yang akan menyambutnya jika ia ikut Melissa 'pulang', Lexa menggeleng, seakan Melissa bisa melihat jawabannya.

"Halo. Lo masih di sana kan, Lexa?" Suara Melissa kembali terdengar.

"Gue nggak ikut, Mel. Kan gue udah ambil cuti gue minggu lalu buat nemenin lo pas lo sakit. Salam aja deh buat mama lo. Nitip kado buat mama ya nanti."

"Beneran nggak mau ikut? Lo nggak pengen—"

"Gue nggak ikut. Udah ya? Gue harus prepare buat baking kue." sela Lexa berbohong. Tanpa menunggu balasan dari Melissa, Lexa segera memutuskan panggilan mereka.

"Gue pasti pulang, Mel. Tapi nanti, di saat yang tepat." gumam Lexa. Tubuhnya kembali merosot, terduduk di lantai. Sepasang matanya menatap buku sketsa miliknya dengan pasrah.

Lexa hendak mengambil buku sketsanya ketika ponselnya kembali berdering. Iriana yang menelepon kali ini. Dia kakak sepupu Lexa yang bekerja di sebuah rumah sakit di Singapura.

"Halo, Kak Ana, ada apa?" tanya Lexa setelah mengangkat panggilan.

"Lexa, lusa papa kamu harus dioperasi lagi. Kamu bisa ke sini?"

Ya Tuhan, Papa. Air mata Lexa luruh begitu saja mendengar berita tentang papanya. Pria malang 44 tahun itu kini sedang terbaring koma di sebuah rumah sakit di Singapura, tempat Iriana bekerja.

"Lexa nggak bisa, Kak. Lexa masih ada tugas kampus yang udah mepet deadline. Tabungan Lexa juga ud—"

"Lexa, kamu nggak usah mikirin soal uang. Aku bisa kirimin tiketnya untuk kamu."

"Dengan Kak Ana yang sudah mau menjaga papa selama dirawat di sana aja, Lexa udah merasa ngerepotin Kak Ana banget."

"Lexa, aku nggak pernah merasa repot. Papa kamu udah baik banget sama Kak Ana dulu. Jadi Kak Ana juga ingin yang terbaik untuk papa kamu dan kamu, Lexa."

Lexa menghela napas. Ia menoleh pada stand calendar di meja dekat oven. Gajian masih lama!

"Kak Ana kasih tahu ya, berapa jumlah yang harus Lexa bayar untuk operasi papa kali ini. Tolong, Kak, kakak jujur aja soal biayanya. Jangan seperti sebelumnya waktu Kak Ana cuma bilang seperempatnya." tutur Lexa, dibalas helaan napas panjang di seberang.

"Kakak hanya ingin membalas segala perbuatan baik papa kamu, Lexa. Kamu juga masih kuliah. Meskipun Kak Ana hanyalah orang asing, tapi papa dan mama kamu dulu udah nganggap Kak Ana seperti keluarga. So...."

"Makasih, Kak. Lexa tunggu kabar selanjutnya."

Panggilaan itu terputus. Lexa menghela napas lebih panjang. Memejamkan mata untuk beberapa detik, ia membiarkan desakan air di balik pelupuk matanya itu mengalir. Lexa menangis, tangis rindu pada satu-satunya sosok yang masih ia miliki. Sosok yang kini ia sebut rumah. Ya, sekarang, hanya papanya yang Lexa punya. Gadis itu terisak, memeluk dirinya sendiri, menguatkan diri.

The Boss Kissed MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang