the guys

275 3 0
                                    

Gadis itu memfokuskan kamera ponsel pada seorang lelaki yang duduk di bawah pohon. Dia sedang menikmati sebatang rokok, duduk jongkok sambil bersiut kepada siswi-siswi yang melintas di depannya. Meski tidak dihiraukan, lelaki itu tetap tersenyum genit, lantas mengeluarkan kepulan asap dari mulutnya.

Sama dengan lelaki itu, gadis tersebut tersenyum saat tahu hasil foto di ponselnya cukup bagus dan fokus. Memasukkan ponsel ke kantong rok, dia pun mengayuh sepeda menuju sebuah tempat.

Sebuah tempat bernama Putra Selatan. Bangunan semipermanen, bercat kuning terang, yang berjarak sekitar 200 meter dari sekolahnya. Tempat itu merupakan warung internet, dijaga oleh seorang lelaki muda bernama Latan, kawan SMP-nya dulu.

"Hei, Aksa!" seru si penjaga ketika gadis itu mendorong masuk pintu kaca.

"Hei, Latan," balasnya, lalu melihat keadaan di dalam warnet, "sepi?"

Lelaki yang dipanggil Latan menyengir. "Tadi ramai. Kamu datang malah sepi."

Tanpa membalas candaannya, Aksa menggeser kursi plastik yang lain untuk duduk di sebelah Latan. Dia mengambil ponsel, menunjukkan foto terbaru di menu galeri, lantas mengembus napas penuh kelegaan.

"Ini target terakhirku. Silakan kamu cetak." Aksa menyerahkan ponselnya.

"Namanya?"

"Bahtera Candradimuka."

***

Bahtera Candradimuka. Lelaki penuh permasalahan. Catatan hitamnya di sekolah tidak terhingga. Latar belakang keluarganya, yang mengutamakan kesantunan, penghormatan untuk orang tua, dan menghargai semua manusia secara adil, berbanding terbalik dengan kelakuannya.

Sekotak rokok, dengan merek paling mahal di antara rokok lain di pasaran, menjadi teman setia di kantong celana atau kemeja seragamnya. Bersama Wara--lelaki berambut keriting yang selalu merasa dirinya paling tampan, Nara--lelaki yang tidak banyak tingkah, tapi sekali bicara, kalimatnya sadis luar biasa, dan Yunda--satu-satunya perempuan di kelompok itu yang kelakuannya sebelas dua belas dengan jalang.

Mereka berempat melewati koridor dengan langkah pongah. Bahtera berada di tengah, sesekali bersiut ketika melihat kawanan senior cantik yang menggugah mata. Rok yang diketatkan, rambut dimerah-merahkan, serta dada yang sengaja dibusungkan. Semua itu menggoda sukma Bahtera dan Wara. Yang tetap kalem di belakang adalah Nara dan Yunda.

Pertama, karena Nara memang tidak banyak bicara dan bertingkah.

Kedua, karena Yunda jengkel ketika Bahtera menggoda perempuan selain dirinya.

Mereka kemudian duduk di kursi koridor, belum memulai pembicaraan. Bahtera dan Wara keasyikan saat seorang senior terpancing oleh godaan mereka. Bahkan, senior itu ikut duduk di antara mereka, tepat diimpit oleh Bahtera dan Wara.

"Kamu cantik," kata Bahtera, menyeringai.

"Putih, tinggi, mulus, dan seksi." Wara membayangkan sesuatu yang sangat vulgar di dalam kepalanya.

"Seperti tiang listrik yang baru dipasang." Nara tiba-tiba menyahut. "Seperti itulah dirimu."

Sudah diingatkan, sekali Nara bicara, malah mengacaukan seluruh suasana.

Senior itu mendelik, lantas pergi dengan wajah merah.

"Nara, apa kamu tidak bisa diam?" protes Bahtera.

"Iya, kamu mengusik ketenteraman kami!" imbuh Wara.

Nara pun diam. Setidaknya, hasratnya untuk mencela sudah terlaksana. Menuruti perintah Bahtera bukan hal yang susah.

"Sekarang saja kamu diam. Tadi?"

Bahtera menyandarkan punggung, kepalanya menyentuh dinding, sembari tangannya bersilang.

"Begitu saja kamu sudah marah, Tera," cuap Yunda, mengikuti gaya duduk Bahtera saat ini.

"Dia mengganggu sarapanku."

"Bagaimana kalau sarapan dengan menu yang lain?"

Mata Yunda mengarah pada dua remaja yang akan melintasi keempatnya. Laki-laki dan perempuan. Tengah tertawa untuk suatu hal yang lucu dalam perbincangan mereka. Mata Yunda memberi kode agar Bahtera segera bertindak sebelum terlambat. Dengan demikian, dia pun berdiri, mengimpit si perempuan ke dinding, lantas memberi satu kecupan liar di bibir.

Tidak ada balasan dari si perempuan. Dia masih terkejut. Begitu pula dengan si laki-laki. Anak-anak yang melintasi koridor itu pun berhenti sejenak demi melihat pemandangan, entah menjijikkan atau justru mengasyikkan ini. Usai "sarapan", Bahtera lantas pergi bersama tiga temannya yang tersenyum puas.

"Hari yang indah untukmu, Tera," ucap Nara.

***

Aksa mengingat kejadian berbulan-bulan lalu, dan kini dia merasa ngilu. Masih terasa bagaimana Bahtera langsung menyerangnya dengan ciuman. Di depan Reksa, teman dekatnya di kelas, serta di hadapan anak-anak lain. Itu memalukan, memberi memori traumatis di kepalanya.

"Jadi, kamu sudah mengumpulkan berapa foto?"

Pertanyaan Latan membuat fokusnya teralihkan.

"Aku tidak tahu. Terlalu banyak foto di kamarku, tapi tidak banyak waktu untuk aku menghitungnya."

Dia menarik selembar foto ukuran 2R yang baru keluar dari mesin cetak. Objek utama dalam foto itu membuatnya merasakan beragam emosi secara bersamaan. Dia ingin marah, sekaligus menangis. Dia ingin menyakiti seseorang, tapi dia masih belum menemukan target yang tepat.

Tangan Aksa sudah terkepal sempurna. Nyaris merusak foto yang baru dicetak. Namun, Latan lekas menyadarkannya dengan sekali tepuk ringan di pipi.

"Sepertinya kamu sangat membenci orang di foto itu." Awalnya Latan hanya menduga.

Dan pada akhirnya dugaan itu benar.

Aksa hendak menceritakan kronologinya kepada Latan. Tiba-tiba pintu kaca didorong dari luar, masuklah seorang pemuda berseragam seperti dirinya. Aksa melongo seketika, sementara pemuda itu semakin masuk ke dalam warnet, mengambil bilik paling ujung.

"Bentala," gumamnya.

***

Hai! Aku cuma mau bilang bahwa ini cerita terbaruku!

Sekian,
Frisca

BAHTERATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang