Foto yang diambil Reksa telah menyebar ke mana-mana. Buletin harian sekolah, media sosial, dan di siaran radio saat istirahat berlangsung. Dia merasa malu ketika orang-orang menatapnya nanar, lantas mengecapnya sebagai jalang. Mereka bahkan tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi kemarin.
Reksa berulang kali datang padanya, meminta maaf atas peristiwa kemarin. Dia terpaksa melakukan itu, semata-mata demi upah untuk membayar uang sekolah. Aksa tidak pernah mau menyalahkannya. Mengingat apa yang diucapkan Reksa adalah sebuah kebenaran.
Aksa hanya menyuruh Reksa pergi, memberi sedikit ruang agar dia bisa menyendiri dan merenungkan segala hal.
Saat pulang, dia mendapat kecaman dari anak-anak sekolahnya. Ada yang berkata bahwa kecaman itu bukan soal Bahtera, melainkan harga diri perempuan. Jika benar Bahtera mabuk saat peristiwa itu terjadi, dia seharusnya menyerang, bukan pasrah dengan keadaan.
Orang yang berkata begitu tidak pernah tahu bahwa Aksa telah berusaha. Dia ingin melemparkan orang itu ke masa kemarin, tidak sebagai orang yang hanya melihat, tetapi orang yang menjadi korban. Supaya orang itu tahu rasanya tidak memiliki daya ketika berada di bawah tekanan.
Dia berjalan menyusuri koridor, merapatkan jaket di siang yang panas. Pandangannya lurus, berusaha tidak menghiraukan tiap cibiran dari orang di sekitar. Baru saja dia akan berbelok ke koridor lain, seseorang menangkap keberadaannya.
Orang itu jauh di seberangnya, berdiri tegak sambil menghela napas. Seragamnya kusut, begitu pun rambutnya. Terdapat lebam di area pipi, bekas tinjuan semalam.
Aksa berbalik cepat, berlari menghindarinya.
"Hei, tunggu!" Orang itu berteriak.
Aksa tidak menghiraukan. Tetap berlari. Napasnya terengah-engah. Hingga tiba di ujung, Aksa menemukan jalan buntu. Hanya ada satu ruangan yang bisa dimasuki, tepat di sisi kirinya. Kamar mandi rusak. Dia di dalam satu bilik. Menutup pintu rapat-rapat, duduk di toilet, mengatur kembali napasnya.
"Hei! Keluar dari sana!" Pintunya diketuk keras-keras.
Dia merapatkan jaket, semakin meringkuk di atas toilet.
"Baik," orang itu berhenti menggedor, "aku mohon keluar dari sana. Aku janji tidak akan melakukan apa pun. Aku hanya ingin kita bicara. Tolong, sekali ini saja. Aku tahu kamu takut tentang foto itu. Aku akan membuat klarifikasi, di depan semua orang, termasuk ibumu."
Dia tidak membalas.
"Jika kita tidak bisa bicara di tempat yang pantas, baiklah, kita akan bicara di sini." Orang itu menghela napas panjang, mempersiapkan kalimatnya. "Aku, Bahtera Candradimuka, mengaku bersalah. Kemarin aku menci--"
"Jangan menyebut kata itu!" potong Aksa.
Muka Bahtera menjadi bingung. "Lalu aku harus menyebut apa?"
Dia tidak membalas lagi.
Bahtera menarik napas, mengeluarkannya dengan kesal. "Baiklah. Aku melakukan itu di bawah pengaruh alkohol. Aku menang dalam permainan bir itu, tapi secara otomatis, aku juga kehilangan kesadaran. Aku tidak ingat mengapa aku menghampirimu dan melakukan itu padamu."
Aksa mulai melunak. Dia kembali duduk dengan benar di toilet, mengendurkan genggamannya pada jaket.
"Bagaimana dengan saat itu? Apa kamu juga mabuk?" Aksa memberanikan diri untuk bangkit. Mengeratkan kaitan tasnya.
"Saat itu? Kapan?"
Aksa membuka pintunya. Berdiri kokoh di hadapan Bahtera.
"Jauh sebelum saudaramu meninggal."
***
Ibu telah mengetahui foto itu. Ibu murka, bahkan nyaris memukul muka Aksa menggunakan rotan. Aksa menahannya, lalu mengatakan bahwa dia bisa menjelaskan apa pun mengenai foto itu. Atau lebih tepatnya, apa pun jauh sebelum foto itu tersebar luas.
Dia mengambil peti kuno di bawah ranjang, menyerahkannya kepada Ibu. Di dalam sana, buku tua pemberian kakek terjaga dengan baik, juga sekumpulan foto dan buku merah hadiah dari Bentala. Sudah saatnya Aksa membeberkan semua hal.
Termasuk asal-usul keluarga Yunda.
"Dia, laki-laki yang waktu itu mengantarku pulang sekaligus menciumku, adalah teman Yunda, anak dari pacar Ibu. Kebodohannya, kepala batunya, sering disalahgunakan. Dia sering menjadi ATM, fasilitator, atau mungkin lebih halusnya lagi, menjadi donatur bagi tiga kawannya. Kemarin, dia melakukan itu padaku karena teman-temannya sengaja membuat dia mabuk, atas perintah Yunda.
"Perempuan itu membenciku. Dia juga membenci Ibu. Dia hanya ingin ayahnya cepat-cepat melunasi utang yang semakin bertambah. Kalau Ibu tidak percaya terhadap omonganku, Ibu bisa membaca sendiri catatanku. Buku pemberian Kakek adalah saksi bisu semua pengamatanku."
Aksa membuka buku tua, berhenti di satu halaman, kemudian memberikannya pada Ibu. Mata wanita itu menyisir tiap kalimat dalam halaman yang ditunjukkan Aksa, mencernanya dengan saksama. Usai begitu, Ibu menatap Aksa sangat intens.
"Ayah Yunda punya utang ratusan juta yang menunggak bertahun-tahun. Tiap minggu dikejar oleh orang bank. Sementara anaknya keluar masuk klub malam, berpakaian minim, minum alkohol, dan sering berkumpul bersama pria-pria dewasa."
Ibu menutup buku, matanya menyalang. Menarik tangan Aksa, menggenggamnya erat. Kuku jarinya bahkan membuat perih di punggung tangan Aksa.
"Jujur pada Ibu, apa kamu menyelinap keluar rumah di malam hari demi mendapat fakta-fakta ini?"
Cepat-cepat Aksa menggeleng, menahan perih di punggung tangannya. "Latan membantuku," katanya. "Dia ke klub, memotret Yunda, memberiku informasi. Dia banyak membantuku dalam pengamatan ini, bahkan mencetak foto targetku secara gratis."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
BAHTERA
Short Story[ SHORT STORY ] "Kadang aku ingin memiliki teman, seperti anak-anak lain. Kadang, entah mengapa, aku ingin sendirian dan perlahan menghilang dari bumi ini." Setidaknya, sebelum menghilang selamanya dari bumi ini, dia pernah punya seseorang yang sudi...