the loss

48 2 0
                                    

Pengamatannya telah selesai. Dia tidak akan mengambil foto-foto yang berkaitan dengan Bahtera. Dindingnya akan kosong dari kertas foto. Konklusi pun telah ditariknya, dituliskan dalam buku hitam tua, pemberian kakeknya sebelum berpulang ke Pencipta. Disimpannya di sebuah peti kecil dengan ukiran sulur di tiap sisinya, masih merupakan pemberian sang kakek.

Hanya sampai di situ pengamatannya.

Dia bisa berbicara dengan siapapun sekarang, bebas dan lega. Termasuk Reksa, teman sekelas yang sempat mendekatinya. Semenjak tragedi itu, keduanya enggan berbicara. Dan kini, dia mencoba menyapa Reksa, di sudut kantin yang lengang sepulang sekolah.

Dengan majalah sekolah di tangan, dia mendekati Reksa. "Hai," katanya, lantas duduk di depan Reksa.

Lelaki itu mendongak, seketika terkejut mengetahui keberadaan Aksa. "Hei," jawabnya gugup.

"Aku melihat hasil jepretanmu di majalah. Keren." Dia membuka majalahnya, berhenti di satu halaman penuh foto detail ruangan-ruangan sekolah yang baru dibangun.

"Terima kasih." Reksa menaikkan kacamata ke pangkal hidungnya, menatap Aksa penuh pertanyaan. "Mengapa kamu belum pulang? Bagaimana jika ibumu marah?"

"Tidak masalah," Aksa menjawab enteng, lantas menunjukkan punggung tangannya yang masih merah akibat sabetan rotan kemarin, "Ibu memang sudah marah."

Reksa langsung panik. Menangkup perlahan tangan Aksa, memerhatikannya dengan saksama. Banyak garis merah di punggung tangan itu, sama sekali kontras dengan warna kulitnya. Reksa menggeleng prihatin, berpaling memandang Aksa yang tampak santai-santai saja.

"Sakit?"

Aksa menggeleng sambil tertawa. "Kemarin sakit. Sekarang juga masih sakit, tapi sedikit."

"Untuk apa kamu menggeleng kalau masih sakit?"

"Iseng saja," balasnya menyengir.

***

Ponselnya berkali-kali bergetar, tapi dia mengabaikan. Prasangkanya, itu pasti dari Ibu.

Seusai bertemu Reksa, dia mampir ke Putra Selatan. Warnet itu sedang ramai kini. Anak-anak, dari berseragam putih merah hingga putih abu memenuhi bilik-bilik. Berteriak seru ketika permainan mereka berakhir apik. Saling memaki saat pemain andalan mereka malah kalah.

Aksa di samping Latan tertawa bahagia melihatnya. Ponsel di dekat mesin cetak itu tidak dihiraukan meski terus bergetar. Dia memang tidak merasa terganggu, tapi Latan sebaliknya. Lelaki itu mengambil ponselnya, mengaktifkan mode hening, lantas kembali menonton video di komputer.

"Terima kasih," ucap Aksa, sambil sekilas menoleh ke arah Latan.

"Sama-sama."

Mereka kemudian fokus pada pekerjaan masing-masing.

Untuk satu hari saja dia ingin bebas. Dia tidak mau dikekang oleh peraturan tepat waktu milik Ibu. Tidak ingin mempercayai anggapan Ibu bahwa Putra Selatan adalah sarang penyamun. Hari ini saja dia menjadi pembangkang. Kalau hari ini kurang puas, mungkin besok-besok dia akan mengulangi sifat membangkangnya lagi.

Lagi pun, dia menemukan kelegaan di bangunan sesak ini. Ditambah beban pikirannya mengenai Bahtera sudah hilang. Dan, keberadaan Latan di sampingnya, membuat Aksa tidak takut bila para lelaki yang berkunjung di warnet itu menggodanya.

Dengan rambut gondrong, kumis dan janggut tebal yang jarang dicukur, serta garis wajah garang, membuat Latan sangat disegani. Meski kerugiannya, dia harus dianggap sebagai om Aksa di saat umur mereka hanya terpaut beberapa bulan.

"Latan, aku senang di sini." Aksa bicara demikian, terpaku pada salah satu anak SD yang menempeleng teman di sampingnya sembari mengomel.

Tanpa memandang lawan bicaranya, Latan menjawab, "Kalau begitu, jadi asisten penjaga warnet saja."

Dengan senyum-senyum, Aksa meninju lengan Latan, lalu membalas, "Boleh, tapi gajiku harus lebih tinggi dari penjaga warnet sebenarnya."

"Bisa-bisa aku yang merugi."

***

Dia melewati harinya dengan sangat menyenangkan. Ketika pulang, dia disambut notes di celah bawah pintu, mengatakan bahwa Ibu pulang besok karena ada suatu urusan yang harus diselesaikan. Selain itu, kunci bisa diambil di bawah pot besar di halaman rumah. Secara berat hati, menu makan malam nanti adalah mi instan dan telur.

Di kamar, dia bisa membaringkan diri senyaman mungkin. Napas panjangnya keluar dengan lapang. Inilah yang dinamakan perasaan merdeka. Satu sisi dinding kamarnya masih terisi oleh foto-foto. Aksa tidak akan melepasnya sekarang. Masih ada hari esok, kini dia mau menikmati waktu kesendiriannya.

Ponsel pun dia keluarkan. Pesan berantai membanjiri layar depan ponsel. Dia pikir itu hanya pesan penipuan hadiah atau pemberitahuan dari operator. Namun, setelah dibuka salah satunya, Aksa langsung terduduk di ranjang.

Telah berpulang kepada Sang Pencipta, Bentala Candradimuka.

22 Agustus 2002-18 Januari 2018

Jantungnya berdebar tidak karuan. Setelah kesenangan yang dia lalui hari ini, dia harus menerima kenyataan pahit bahwa satu dari target pengamatannya harus pergi selama-lamanya.

Di antara banyak pesan itu, Aksa memilih satu pengirim, lantas meneleponnya.

"Halo, Aksa," suara di seberang terdengar risau.

"Reksa, Tala ... meninggal?" Napasnya tertahan untuk sesaat.

"Maaf, Aksa. Tala gantung diri di kamar mandi rumahnya. Baru ditemukan satu jam setelah pulang sekolah. Sekarang aku ada di rumahnya. Kamu mau ke sini? Kalau iya, aku jemput sekarang."

Aksa meninggalkan sambungan telepon itu dalam keadaan menyala, sementara dirinya berlutut lesu di kaki ranjang.

"Aksa, kamu masih di sana?"

Dia menatap foto Bentala di dindingnya. Kalimat itu masih di sana. Dia senang bahwa Bentala masih menjalankan kehidupan.

Kini, Bentala tidak lagi demikian.

***

BAHTERATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang