the revelry

24 2 0
                                    

Demi mendapat izin dari Ibu untuk mengajak Aksa ke rumah teman, Latan datang ke rumahnya berbekal sepeda tua dan keberanian tingkat dewa. Ibu jelas tidak setuju. Melihat wajah Latan saja muak, apalagi melihat Aksa bersamanya. Namun, dengan bujuk rayu yang menyangkutpautkan segala sesuatu, Latan mendapatkan hati Ibu.

Dan kini, Latan berhasil membawa Aksa, di boncengan, sementara dia mengayuh sepeda. Di jalanan malam yang sunyi, hanya mereka berdua serta beberapa motor berlalu dengan lamban.

"Kamu mau bawa aku ke mana?" tanya Aksa, melepaskan pegangannya dari ujung kaus Latan.

"Seperti yang aku katakan ke Ibu, rumah teman." Latan terus mengayuh.

Aksa mendengkus jengkel. "Teman siapa? Temanmu atau temanku?"

"Teman kita."

"Memangnya teman kita sama?"

Tidak ada yang menjawab pertanyaan itu. Latan menghentikan sepeda di halaman sebuah rumah, memerintahkan Aksa untuk turun, sedangkan dia menstandarkan sepeda.

Rumah itu sangat terang, terlihat jelas dari jendela-jendela yang berjajar di tiap dindingnya. Latan kemudian menuntunnya menuju pintu yang tertutup. Baru akan mengetuk, pintu terbuka lebar, menampilkan seorang pria dan wanita. Pakaian mereka elegan, seperti kaum konglomerat yang hendak mengikuti makan malam bersama kolega.

Mereka tersenyum melihat Aksa dan Latan. "Oh, kalian pasti teman Wawa," ucap si wanita, membenarkan posisi tas berkilau di lengan.

Aksa teringat sesuatu pasal nama panggilan itu.

Si pria kemudian berteriak ke dalam rumah, "Wawa! Temanmu sudah datang!"

Terdengar kegaduhan di dalam. Beberapa orang menuruni tangga disertai umpatan. Aksa tahu pemilik rumah ini, juga sosok Wawa yang dibicarakan oleh pasangan suami istri di hadapannya.

"Teman siapa, Pa?" Suara itu, diiringi seseorang yang menyela di antara si pria dan wanita. Dia terdiam seusai tahu siapa tamunya, kemudian berseru, "Hei, Latan! Aksa! Aku sudah menunggu kalian! Mari masuk!"

Dia Wara. Kini sedang tersenyum lebar, mempersilakan Aksa dan Latan masuk. Aksa mendapati Bahtera memerhatikannya. Duduk di sofa sembari mengisap rokok yang tinggal setengah.

"Katamu kemarin, kamu tidak ikut," kata Bahtera, lalu mengeluarkan asap dari mulutnya.

Pintu kemudian tertutup, Aksa kontan menoleh.

***

Ayah ibu Wara memang pergi bertemu kolega. Setelah mobil mereka meninggalkan rumah, anak-anak yang bertahan di ruangan kosong rumah ini lekas keluar. Makanan ringan memenuhi meja ruang tamu. Kacang, keripik, dan lainnya. Musik kencang menggema, beragam genre, diputar secara acak.

Masing-masing anak membawa gelas, berisi air berwarna kekuningan. Baunya mengganggu indra penciuman Aksa. Dia tidak tahu siapa mereka. Yang dia tahu di rumah ini hanya Latan, komplotan Bahtera, serta satu pemuda yang baru datang.

"Hei, Reksa!" Wara berseru.

Reksa melepas jaket usai berbasa-basi dengan Wara, mengeluarkan kamera dari tas, mengalungkannya di leher.

Aksa mengembus napas. Sebesar apa pun rumah ini, Aksa sama sekali tidak mampu menghirup oksigen secara normal. Bau rokok, bir, dan apa pun yang menyengat, membuatnya ingin langsung pulang.

Dia duduk di sofa, memerhatikan sekitar. Tidak ada yang menarik baginya. Latan yang tadi mengajaknya, ikut bergabung dengan Wara dan kawan-kawan, beradu bir. Yang paling tahan meminum banyak bir, dialah pemenangnya. Seharusnya dia menurut pada Ibu, tidak baik lama-lama bersama Latan.

Dia menoleh pada sosok yang sibuk memotret di sudut ruangan. Tampak dari muka, Reksa sangat tidak menikmati pekerjaannya sekarang. Aksa bangkit, hendak menghampiri Reksa, bertanya mengenai kehadirannya di pesta aneh ini. Baru saja berdiri, dia didorong hingga terduduk lagi.

"Hai, Aksa, apa kabar?"

Seketika napasnya tercekat. Bahtera dengan mata sayu dan segelas bir, duduk di sampingnya sambil menyeringai.

"Tera!" Dia berteriak, seketika menjauh.

Tangan lelaki itu menangkap tubuh Aksa, menenggelamkan kepala pada lekukan lehernya.

"Tera!" Dia menyingkirkan kepala itu. Tetap tidak bisa. "Tera, hentikan! Tolong!"

Tiada yang mendengar teriakan itu. Mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Aksa masih berusaha menjauhkan lehernya dari Bahtera, sembari memandangi Reksa yang memotret dua perempuan di sudut sana. Dia harap Reksa menyadari arah matanya.

Detik-detik selanjutnya, ketika bibir Bahtera hendak menyambar bibirnya, Reksa pun menoleh. Lensa itu diarahkan padanya. Cahaya putih muncul begitu saja, tepat saat Bahtera menciumnya. Dia merasa hampa saat itu juga. Tidak lagi berusaha untuk menyingkirkan tubuh Bahtera dari jangkauannya.

Satu tinju di wajah membuat Bahtera jatuh ke lantai. Aksa melihat Latan, rahangnya menajam penuh kemarahan. Latan menarik Aksa berdiri, menyembunyikannya di balik punggung, menatap nyalang Bahtera serta kawan-kawan yang mengerumuninya.

"Aku pikir tujuanmu mengajakku ke rumahmu adalah benar untuk berteman." Tatapannya semakin garang kepada Wara. "Kamu menyarankan aku membawa teman, karena kamu tahu temanku hanya Aksa. Kamu membuat Bahtera mabuk hanya untuk menyakiti Aksa, demi kesenangan Yunda, orang yang akan menjadi kakak Aksa.

"Asal kamu tahu, Yunda," dia memandang Yunda sengit, "perempuan di balik punggungku, sampai mati sekalipun, tidak ingin menjadi bagian dari keluarga payahmu. Ibunya hanya buta oleh ketampanan ayah payahmu. Dan aku juga buta karena iming-iming pertemanan kalian!"

Usai kalimat panjang tersebut, Latan menggiring Aksa keluar dari rumah itu. Kembali pulang bersama sepeda tuanya.

***

BAHTERATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang