the healer

38 5 0
                                    

Bahtera menolak dibelikan cokelat. Justru mengajak Aksa ke suatu tempat yang menjadi kesukaan Bentala ketika bosan di rumah. Tempat itu berada sekitar 200 meter di belakang sekolah. Juga, dia menolak membawa motor ke tempat tersebut, memilih mengayuh sepeda dan membonceng Aksa.

Sepeda merah muda itu berhenti di tempat tujuan. Aksa terpaku sejenak saat turun. Dia tidak menyangka bahwa Bahtera mengetahui tempat bernama Putra Selatan. Di dalam jurnalnya, hanya Bentala yang tahu Putra Selatan. Tertera pula bahwa tempat ini menjadi favorit Bentala untuk bermain game online walau selengkap apa pun perangkat komputer di rumahnya.

Dan kini, saudaranya memasuki bangunan ini, sekadar duduk di dalam bilik yang biasa digunakan Bentala.

"Kamu mau minum?" tanya Aksa ketika mereka duduk bersebelahan.

Bahtera menggeleng.

"Baiklah. Aku akan mengambil minum, untukku."

Aksa pergi, menghampiri Latan yang tercenung sejak mereka tiba.

"Kalian berpacaran?" sambar Latan berbisik.

Mata Aksa melotot, duduk di samping Latan, lalu membalas, "Tidak. Dia stres ditinggal Tala, tiba-tiba saja dia mengajakku ke sini."

Latan mengangguk paham. Dia memang sudah tahu kabar kematian Bentala dari anak-anak sekolah yang mampir ke warnet. Beberapa menyesalkan kejadian itu. Beberapa pula bersyukur karena satu manusia aneh telah berkurang.

Putra Selatan masuk ke pihak yang menyesalkan tindakan Bentala. Tidak akan ada lagi pengunjung loyal seperti Bentala, yang meluangkan waktu nyaris setiap hari ke warnet. Walau pada kenyataannya, Bentala bisa saja membangun warnet yang lebih mewah dan elegan menggunakan uang sakunya.

Hal lain yang Latan sayangkan adalah dia diusir oleh penjaga rumah Bentala, tepat di hari pemakaman. Hendak menyampaikan bela sungkawa pada keluarga yang ditinggalkan, tapi dia dipulangkan karena dianggap sebagai penjahat.

"Aku rasa dia tidak stres karena ditinggal adiknya," celoteh Latan, mengenang kejadian beberapa hari kemarin.

"Lalu?"

"Dia stres karena aku tidak diizinkan masuk ke rumahnya, tidak bertemu denganku saat adiknya dimakamkan." Dia lantas tersenyum geli atas kalimatnya sendiri.

"Sok tahu!" Aksa memukul pipinya yang sudah bersih dari bulu-bulu halus.

Akibat pengusiran itu, Latan berjanji akan mencukur habis setiap bulu yang tumbuh di area wajahnya agar tidak dianggap sebagai penjahat lagi.

***

Pada beberapa jam selanjutnya, Aksa mendapat kejutan lain. Dia dibonceng Bahtera hingga tiba di halaman rumah. Lagi, Bahtera akan mengatakan pada Ibu bahwa Aksa pulang terlambat karena menemani dirinya di Putra Selatan. Bukan berdasar kemauan Aksa sendiri. Namun, kala mereka berdua turun dan Bahtera bersiap masuk, Aksa menahan tubuhnya.

"Aku bisa mengatakan pada Ibu sendiri. Sebaiknya kamu pulang. Bawa saja sepedaku jika kamu tidak mau kembali ke sekolah."

Dia menurunkan tangan Aksa dari lengan. "Ibumu tidak akan percaya dengan omonganmu. Lagi pula, aku tidak ingin pulang ataupun kembali ke sekolah."

Dia berjalan, mengabaikan setiap bisikan penuh penekanan dari Aksa. Langkahnya sangat mantap menuju pintu yang tertutup. Kemudian berhenti ketika pintu mendadak terbuka. Ibu berada di mulut pintu, mukanya terlihat marah, tapi tangannya kosong, tidak berada di balik punggung untuk menyembunyikan rotan.

Matanya menyalang kala melihat sosok Bahtera yang tersenyum lebar. Aksa hanya bisa menunduk di samping lelaki itu. Dalam hati, dia tengah menghitung mundur detik-detik kemarahan Ibu akan meledak. Namun, sampai hitungan nol, dia tidak mendengar suara kemarahan atau sabetan rotan. Justru, yang dia dapatkan adalah rangkulan dari Bahtera.

Dia mendongak cepat. Menatap Bahtera bertanya-tanya. Yang dilakukan Bahtera malah tersenyum ramah.

"Aku mengajaknya berkunjung ke rumahku. Mengerjakan tugas bersama, sekalian dia mengajarkanku materi yang tidak kumengerti. Apa pernyataanku tidak cukup membuatmu lega, Nyonya?"

Itu adalah kebohongan. Serasional apa pun kebohongan itu, Aksa tetap tidak suka bila Ibu menerima kebohongan dari mulut orang lain.

"Baiklah." Ibu bersilang tangan.

Dan bodohnya, Ibu percaya.

Satu sudut bibir Ibu naik, memandang remeh Bahtera yang tetap tersenyum. "Lain kali, jika ingin belajar, lebih baik di rumah ini saja. Mengerti?"

Bahtera memberi hormat. "Siap, Nyonya!" tegasnya. "Kalau begitu, izinkan aku pergi."

Ibu mengangguk.

Bahtera berlarian keluar dari halaman rumah Aksa. Tanpa membawa sepeda, berbelok ke jalan yang tidak menuntunnya pada rumahnya. Dia menuju jalan lain, dan Aksa tidak akan pernah peduli lagi pada Bahtera. Tugasnya menghilangkan stres Bahtera telah tuntas hari ini. Besok, dia akan menganggap bahwa hari ini tidak pernah terjadi.

"Jadi," Aksa berbicara dengan ragu-ragu, "apa aku boleh masuk?"

Ibu menyingkir dari mulut pintu, kemudian mengikuti tiap langkah Aksa dengan cermat. Mereka pun berhenti di ruang keluarga. Suasana berubah menegang.

Seorang pria duduk tegak di sofa, didampingi seorang gadis. Dua orang tersebut sangat dikenalnya dengan baik walau tidak pernah saling berbicara. Pria itu lekas berdiri saat mengetahui kedatangan Aksa, diikuti oleh si gadis secara terpaksa.

"Kamu pasti anak gadisnya Ibu Sira," pria tersebut mengulurkan tangan, seulas senyum pun diberikan, "aku Sena, rekan kerja ibumu."

Aksa menerima tangannya. Dingin. Sinar matanya juga memperlihatkan keramahan, tapi segera sirna ketika berpaling pada gadis di sampingnya.

"Oh, dan ini anakku, Yunda."

***

BAHTERATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang