the affirmation

30 3 0
                                    

Koridor yang dilewatinya bersama Reksa semakin sesak. Sebagian anak berkerumun, membentuk perbincangan yang menyenangkan. Dia terus berjalan, memerhatikan setiap aktivitas yang mereka lakukan. Reksa juga berjalan di sampingnya, sambil tetap melemparkan tanya yang sama, yakni hadiah pemberian Bentala.

Aksa tidak ingin berterus terang. Dia mengatakan bahwa itu hanya buku, tidak mau orang lain mengetahui hal sebenarnya di balik buku tersebut. Terutama hasil tangan Bentala yang dihadiahkan kepadanya. Itu sangat manis, membuatnya kini tersenyum.

Senyum itu pudar ketika beberapa meter lagi dari langkahnya, Bahtera dan tiga kawan, duduk sambil tertawa. Lelaki itu cepat sekali berbaikan, bahkan sekarang sedang menempeleng kepala Wara diiringi tawa lebarnya. Mereka berempat kembali menjadi sebuah kelompok yang solid untuk mengganggu ketenteraman orang lain.

"Aksa," Reksa tiba-tiba menahan tangannya, "kamu yakin mau melewati mereka?" Reksa menyadari keberadaan empat remaja itu, mengenang peristiwa beberapa bulan silam.

Aksa bergeming sejenak. "Tidak masalah."

Sejak hari dia meredakan kepiluan Bahtera, dia berjanji akan menjadi orang yang tidak pernah mengenal lelaki itu. Bagaimanapun caranya. Seperti saat ini. Dia meraih tangan Reksa sembari menyunggingkan senyum optimis, berjalan kukuh melintasi empat remaja pengganggu itu.

Selangkah lagi Aksa dan Reksa tepat melintasi mereka. Tidak ada yang aneh. Di langkah berikutnya, Aksa merasa sangat terusik.

"Lihat, adik baru Yunda telah lahir ke dunia ini." Wara menceletuk.

Aksa tetap berjalan, berusaha mengabaikan.

"Adik? Ayahmu sudah mengawini jalang yang mana?" Tidak perlu diragukan, itu suara Nara.

Tangan Aksa terkepal. Genggaman tangannya pada Reksa pun menguat. Sebenci apa pun terhadap peraturan Ibu, dia tidak ingin mendengar seorang pun mengecap Ibu sebagai jalang.

Wara meninju paha Nara main-main. "Dia bukan jalang. Dia itu wanita baik-baik yang sudah punya anak, tapi ditinggal suaminya nikah lagi dengan wanita cantik. Kasihan anaknya, menjadi yatim."

Dia dan Reksa tetap berjalan, tetapi ada segumpal kemarahan yang dia upayakan terpendam, agar tidak menimbulkan peristiwa mengerikan.

"Aksa."

Dia menoleh pada Reksa setelah jauh dari jangkauan Bahtera dan tiga teman badungnya.

"Iya?"

"Tanganku merah."

Berkat kalimat itu, Aksa segera melepaskan tangan Reksa dari genggaman.

***

Kini dia pulang terlambat, lagi-lagi secara sengaja. Ibu menyuruh Aksa pulang bersama Yunda dan ayahnya, naik mobil sedan tua yang seharusnya diloakkan. Lebih baik baginya jika berjalan lima kilometer dari sekolah ke rumah, daripada harus satu kendaraan dengan perempuan yang kelakuannya jelas-jelas menyerupai jalang.

Dia mendekam di kamar mandi untuk waktu yang lama. Terakhir dilihat melalui ponselnya, sudah lebih dari dua puluh menit Aksa duduk di toilet, tanpa melakukan apa pun selain memandang dinding keramik di sekitar.

Kemudian dia mengembus napas. Bangkit. Sudah waktunya Aksa untuk keluar dari tempat sempit itu. Dia memutar knop pintu, sembari berharap bahwa Yunda dan ayahnya tidak perlu repot menunggu di depan gerbang sekolah. Selangkah dia keluar dari kamar mandi, semua tampak bagus. Sepi. Hanya pekerja sekolah yang sedang berkeliling untuk mengepel.

Napasnya berembus dengan lapang.

Koridor terasa sangat lengang. Dia melirik dari balkon, menuju pagar depan sekolah yang sepi. Tidak ada mobil sedan, motor, atau angkutan umum yang mengetem.

Lagi, napasnya berembus dengan lapang.

Di satu koridor, dia berhenti, memandang Bahtera yang duduk sendirian di kursi ujung koridor. Raut wajahnya terlihat hampa. Entah apa yang membuatnya demikian, tapi Aksa telah berjanji agar tidak peduli. Kelegaannya harus tetap dilanjutkan. Dia melangkah melewati Bahtera, sesekali bersiul riang.

"Ayah Yunda sudah meninggalkanmu lima menit yang lalu, saat kamu masih mendekam di toilet itu." Tiba-tiba Bahtera berceloteh.

Dia berhenti, menoleh dengan bahagia, tidak acuh terhadap cara Bahtera mengetahui kegiatannya. "Terima kasih."

"Tapi apa kamu tahu mengapa aku tetap di sini setelah kamu bermenit-menit di toilet?"

"Tidak tahu dan tidak ingin tahu."

Baru saja Aksa berjalan lagi, Bahtera berkata, "Tapi aku ingin kamu tahu."

"Terserah," balas Aksa, berkedik.

"Aku hanya ingin kamu duduk di sini, seperti waktu itu. Lalu mendengarkan aku berbicara kepadamu, tidak seperti waktu itu di mana kita hanya diam."

Setelah menunduk sejak tadi, Bahtera mendongak, memberi tatapan memohon kepada Aksa.

Aksa mendengkus, lalu beranjak duduk di sampingnya. "Urusan kita sudah selesai. Tepat di waktu itu. Dan sekarang aku tidak ingin mengulang waktu itu atau pun mengubah peristiwa waktu itu menjadi lebih baik."

Bahtera berkedik. "Terserah," balasnya. "Aku hanya ingin mengucapkan selamat atas ayah barumu."

Kemarahan meliputi dirinya kini. Ayah Yunda bukanlah ayahnya, tidak akan pernah menjadi ayahnya, sampai dia mati sekali pun. Dia berdiri, menampar keras Bahtera. Napasnya menderu tidak sabaran. Tangan pun kemudian terkepal kuat, siap meninju siapa saja yang mengatakan bahwa ayah Yunda akan menjadi ayah barunya.

"Asal kamu tahu, Bahtera Candradimuka, dia bukan ayahku! Dia tidak akan pernah menjadi ayahku! Aku tidak menerima pria yang menikahi Ibu hanya untuk melunasi utangnya!"

Dia lantas pergi.

"Untuk merayakan kehadiran ayah barumu, Wara mengadakan pesta di rumahnya. Besok, jam tujuh."

Aksa langsung melepas satu sepatunya, lekas melemparkannya ke muka Bahtera.

***

BAHTERATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang