Bagian 10: Non-Romantis

2.1K 249 30
                                    

"Roam?"

"Wait, what, June?"

Masih memapah Pink, dia hampir saja menjatuhkab tubuh gadis itu ketika melihat June saat elevator berhenti di lantai Villard Ballroom berada. Mata June langsung terarah padanya begitu Ia memasuki elevator, dan berdiri di samping Roam dan Pink yang separuh sadar. Tampaknya lantai tempat pesta tadi sudah tidak seramai beberapa jam yang lalu, para tamu sebagian besar sudah pulang.

"What? Ngapain dia disini?" Pink mengagetkan mereka, kelopak matanya hanya membuka sebagian.

"Shhh, diam," Roam berkata pelan. June hanya tersenyum tipis.

"Teler ya dia?"

"Seperti yang terlihat," dia berkata sedikit bersalah, dan Pink yang bergumam tidal jelas. "Apa yang terjadi setelah kami pergi?"

"Singto, seperti biasa, mengabaikan ponselnya, dan orang tuanya sibuk mencarinya kemana-mana. Aku yang harus berbicara ke media dan membujuk mereka agar tidak mempublikasikan foto apapun."

"Singto dan kakakku pacaran," Pink berkata tiba-tiba. Roam memandangnya, mulut menganga.

"Aku sudah tahu," June memotong.

"You're a bitc—" Pink memulai.

Untungnya, Roam buru-buru memotong. "—sampai ketemu lagi?" Katanya begitu denting tanda elevatornya terbuka di lantai dasar.  June hanya menatapnya datar.

"Yeah, semoga. " katanya, lalu menatap Pink, dan berjalan keluar dengan anggun.
.
.
.

Singto menedang meja kecilnya, dan membanting diri ke atas sofa, air mata tak bisa ia bendung. Dia memandang iPhone-nya yang tergeletak begitu saja di lantai, layarnya berkedip– pesan baru.

Dia meraih benda itu dengan tangannya dan membuka kunci layer iPhone-nya.

Hey. –K
K.
Krist.

Dia takt ahu apa yang mendorongnya melakukan itu. Dia hanya meraih ponselnya begitu saja , mengeluarkan kartu nama milik Singto, dan mengetikkan pesan singkat itu. Seperti kerasukan ruh.

Krist melemparkan Blackberry-nya ke samping dan melanjutkan kegiatannya mengompres wajahnya dengan es batu.

Sekarang ada tiga masalah besar yang terjadi di hidupnya. Pertama, adiknya yang belum cukup umur lepas dari pengawasannya dan teler. Kedua, rencana yang ia susun untuk mendapatkan cintanya kembali berantakan begitu saja. Ketiga, dia dengan tanpa sadarnya mengirimkan pesan singkat pada pemuda yang ia cintai itu.

Blackberry miliknya berkedip. Sambil mengeluh, dia meraih ponselnya itu, dan seketika jantungnya tertahan berdetak sejenak. 1 New Message.

Hey juga. Savore Ristaurante. 6PM. Kita perlu bicara. – S
S.
Singto.

"Okay, kau bisa buka mata sekarang," Roam begitu mereka tiba di mobil. Matanya membuka lebar dan ia pun bergegas masuk ke dalam mobil dengan antusias.

"So, kita mau kemana sih?" tanyanya, sambal memegang kepalanya yang pusing. Roam duduk di sebelahnya, dan menutup pintu sebelum mulai membunyikan mesin mobil. Roam senang kaca mobil sebagian besar tertutup riben berwarna hitam, sehingga orang lain tidak perlu melihat gadis ini mempermalukan dirinya sendiri.

"Kita mau ke bandara mengantarmu balik, ingat?"

"Kau tidak ngapa-ngapain aku kan?" katanya menggumam tak jelas, sambal menyandarkan kepalanya ke kaca di sampingnya. Roam berkedip dan berbisik sesuatu tentang tidak mau lagi berurusan dengan gadis yang mabuk.

"Tentu saja tidak," katanya kaku. "Bukan kebiasaanku mengambil kesempatan pada orang teler."

"Aku tidak teler," katanya membantah, menggelengkan kepalanya. "Kau tahukan aku sayang padamu."

"Baguslah," responnya singkat, menepuk bahu gadis itu berpura bangga. Barang-barang milik si gadis sudah sepenuhnya terangkut ke dalam bagasi mobil.

"Perjalanan dimulai!" teriaknya antusias, dan mulai menggeleda dashboard mobil "Roam, kau tidak punya champagne. Harusnya kau selalu membawanya disini," katanya manyun dan mulai bertingkah separuh waras lagi. Lagipula pengendara mobil mana yang membawa minuman beralkohol di dashboard mobilnya?

"Sayang sekali tidak," jawab Roam. Ia tidak ingin terlalu meladeni orang separuh sadar.

"Kalau air mineral ada."

Hening.

"Aku bosan, Roam. Suuupeeer bosan."

"Kalau begitu tidur saja, Pink."

"Tidak mau, aku tidak mengantuk," katanya. "Bagaimana kalau aku cium kau saja?"

"Wha—"

Dan dengan begitu singkat, Pink menarik kerah baju dan menempelkan bibirnya pada pemuda itu. Untung saja mereka lagi berhenti karena macet, dan dengan terkejut pun Roam sebenarnya membalas ciuman itu.

Roam separuh panik. Setelah mereka memisah, Pink tersenyum padanya, dan dengan cepat tertidur di bangkunya. Dengan nafas yang memburu, dia menjambak pelan rambutnya sendiri sambal menatap gadis penuh kejutan di sampingnya.

Oh my god, Pink.
.
.
.

Krist menegakkan posisi duduknya di sofa, kepalanya berdenyut dan matanya terasa perih. Dia menatap sekeliling dan menyadari bahwa dia masih berada di sofa di ruang tamu apartemen hotel, dan televisi masih dalam keadaan menyala dengan suara maksimal. Dia mencari ponselnya, dan menatap layar disana.

"Oh dear god," Krist mengeluh. Dia berdiri, dan seketika kepalanya sangat pusing. Dengan kesal, dia berjalan menuju kamar mandi, dengan ponsel masih di tangan. Beberapa kali bergetar.

10 new messages.

Membuang nafas panjang, dia membuka dan membacanya satu per satu, dan berhenti tepat di depan pintu kamar.
.
Kawan, aku takt ahu bagaimana bilang padamu, tapi adikmu baru saja menciumku.
Roam. Dikirim beberapa jam yang lalu.
.
Ok, sekarang dia sudah tertidur pulas. Nanti kita bicara lagi.
Roam. Dikirim beberapa jam yang lalu.
.
Bro kepalaku sakit sekali, apa yang sebenarnya terjadi semalam? Roam menatapku aneh.
Kalau yang itu dari Pink, dikirim baru saja, dan beberapa pesan lain darinya yang mengikuti.
I'm so sorry, bro, I'm so, so, so, so, so sorry
Tolong jangan adukan ke ayah dan bunda
Aku janji tidak minum lagi, hangover betul-betul bisa membunuhku.
Hajar Singto untukku, dia payah.
Aku benar-benar butuh aspirin sekarang, kepalaku mau meledak
Telepon aku nanti—aku janji akan mengganti pulsanya
Please please please hubungi aku begitu kau membaca ini, I'm so, so sorry Bro: I love you
.

Krist hanya membalas dengan singkat: Kau tidak perlu khawatir, Pink. Akan kuhubungi kau nanti. Kepalaku juga sakit. Jangan khawatirkan apa-apa. Love you, too.

Dia membuang ponselnya begitu saja ke ranjang dan bergegas ke kamar mandi untuk bersiap memulai harinya.

Krist memandang pantulan bayangan pemuda di cermin dengan kasihan, lalu menyalakan keran. Dia membasahi wajahnya dengan air dan seketika merasa lebih segar dan menyadari kalau wajahnya tidak lebam sama sekali, hanya beberapa goresan yang tersisa di pipinya. Tapi tetap saja, punggung dan lengannya terasa sakit dan kaku, yang mengingatkannya akan pertarungan yang terjadi semalam. Dia buru-buru menelanjangi dirinya dan masuk ke bawah guyuran shower, membiarkan air hangat menyapu kulitnya.

"Temui dia di restaurant nanti, atau mungkin tidak usah saja?" gumamnya tidak pada siapa-siapa, sambal memijat lembut rambutnya dengan shampoo, mencoba menghilangkan minyak dan kotoran yang melekat di rambutnya. "Putuskan, putuskan. Pilihan ini mempengaruhi hidupmu kedepan, Krist Perawat."

Dia menyelesaikan mandinya dan segera berpakaian, tidak repot-repot memakai produk untuk menata rambutnya. Jika nanti dia memutuskan ke tempat publik, ada baiknya dia tidak terlalu menarik perhatian. Dia kembali ke ruang tamu dan mengambil posisi di sofa, lalu menyalakan televisi. Tentu saja, seperti dugaannya, tayangan infotainment, dan berita yang sedang ditayangkan adalah, tebak –
"Pesta yang kacau! Krist Perawat, Singto Prachaya, dan Mike Nitipaisankul – cinta segitiga yang mencetak sejarah: Krist dan Mike bertempur untuk Singto. Selebihnya akan langsung dilaporkan oleh teman kami—"

Jengkel, Krist memadamkan televise dan mengecek jam tangannya.
Dia masih punya sekitar empat setengah jam sebelum waktu yang Singto tentukan untuk pertemuan mereka.

.

Ada empat hal yang membuat Singto marah saat ini.

Pertama, tunangannya baru saja memutuskannya.

Kedua, matanya terus berdenyut sakit. Ia duga sekarang sudah benar-benar menghitam.

Ketiga, tunangannya benar-benar memutuskannya.

Keempat, dia harus menemui Krist dengan wajah tidak karuan.

Ketika dia terbangun pagi ini kasurnya, sendiri, kejadian malam sebelumnya langsung menyeruak ke ingatannya, membuat kepalanya langsung berdenyut sakit. Dia mengenakan handuknya dan slipper lalu ke dapur.

Dia harus mengakui, dia merindukan melihat Mike berkeliaran di apartemen ini, di pagi hari, sambal membuat kopi untuk mereka dan bersenandung lagu yang ia tidak kenal dan mengucapkan salam khasnya: "Good morning, sunshine. "

Singto menggelengkan kepala, mengucek matanya, dan membuat kopi untuknya sendiri. Dia menatap jam yang ada di dapur, dan mulutnya menganga.

Sudah jam 3 siang. Dia hanya punya sekitar 3 jam untuk memperbaiki penampilannya yang berantakan, bahkan ketika dia merasa bersalah sudah membuat semua orang terluka, dia harus tetap tampil tampan.

.

"Aku butuh aspirin," Pink mengeluh pada ponselnya. Krist, sudah siap tampil dengan kaos putih dan celana hitam yang sederhana, meletakkan ponselnya di atas meja, menyalakan mode speakernya

"Aku juga," katanya, menyentuh pangkal hidungnya. "Pink, sudah kukatakan padamu jangan dekat-dekat meja bar."

"I'm sorry, " gumamnya pelan. " I'm really sorry, Bro."

"Pink, janji padaku kau tidak akan minum-minum lagi."

"Oh, Aku janji, " jawabnya cepat. " Oh my God, aku ada kelas sebentar lagi dan kepalaku terasa akan membunuhku, oh my God."

"Salahmu sendiri," Krist mengejek. "Dengar, jangan hubungi aku malam ini. Aku mau... Aku mau ketemu Singto untuk makan malam."

"What?"

"Yes, Pink, Aku akan menemui… Singto," katanya memastikan, "Cuma makan malam."

"Dia masih bertunangan dengan Mike, kan?" Pink bertanya tidak percaya.

Krist memasang raut wajah bingung. "Kita hanya bertemu sebagai teman lama, okay? Tidak ada… hal-hal romantic sama sekali. Lagipula aku hanya akan meminta maaf atas kekacauan semalam."

"Right, right, jangan sampai aku mendengar berita kalian kepergok di hotel."

"Lucu," Krist katanya meremehkan. "Pink, really? Jam berapa Roam pergi?"

"Tepat setelah dia menurunkanku dari mobil. Aku menghubunginya, dan dia membalas. Katanya ia baik-baik saja, tapi aku rasa ia bertingkah aneh."

"Sepertinya aku tahu kenapa," respon Krist pelan.

"Apa? Aku tidak dengar. "

"Nothing, kiddo, aku harus pergi. Ini sudah 4.30, aku takut macet di jalan."

"Fine. Jika aku mendengar berita yang aneh-aneh tentangmu, kau akan dapat akibatnya."

"Pink!"

"Kidding—ow, my head, shit," gerutunya. "Love you, Bro. I'm sorry again. "

"Love you too, Pink. Dan jangan khawatir tentangku." Dan dengan begitu dia memutuskan sambungan telepon dan memasukkan ponselnya ke saku. Dia meraih cardigannya, dan buru-buru keluar dari hotel.

.

Singto duduk di dalam mobilnya dengan gugup, tangannya mencengkram kemudi dengan erat. Dia sudah parkir sejak tadi di Savore Ristaurante, jantungnya berdegup cepat. Sudah 5.30, dan dia masih saja mempertanyakan kewarasannya dan alasannya mengajak Krist bertemu malam ini. Meskipun dengan susah payah untuk tiba disini, menghindari kerumunan pers yang mengincarnya seperti buruan, dan dia sangat berharap Mike juga berhasil menghindar sepertinya, dan Krist juga tentu saja.

Dia membenturkan jidatnya ke kemudi, sambal mengambil tasnya, lalu bergegas keluar dari kendaraannya menuju ke pintu masuk restoran.

Dia beruntung tak seorangpun disini. Mungkin karena ini senin malam. Begitu masuk, ia melambai pada manager yang ia kenal dengan baik lalu duduk di meja yang sedikit terpojok. Seorang pelayan menghampirinya, tapi Singto memberi isyarat untuk tidak ingin memesan sekarang dengan menunjuk kursi kosong di hadapannya.

Aku sudah benar-benar gila. Aku baru saja putus dengan Mike, dan…

"P’Singto," menyapanya dari ketiadaan. Singto mengangkat dagu dan mendapati Krist berdiri disana, menggigit bibir bawahnya, kebiasaan yang tidak hilang sejak dulu jika ia sedang gugup.

"Hi, Silahkan duduk," Singto memberi tanda untuknya segera duduk. Krist menurut, tangannya kaku terpangku di atas pahanya.

Pelayan tadi segera menghampirinya dan memberikan menu dengan sopan.
"Selamat malam tuan-tuan, saya Cherry, yang akan jadi pelayanmu malam ini. Silahkan panggil aku jika kalian sudah akan memesan."

Keduanya mengangguk sopan hingga pelayan itu pergi.

Hening.

"Kau harusnya… coba fettuccine-nya, seingatku kau menyukainya dulu," Singto merekomendasikan, sambal membolak-balikkan menunya. "Kedengarannya enak."
Krist menatapnya dan tersenyum kikuk. "Keren. Kau masih suka spaghetti?"
"Krist, kau tahu sejak kita pacaran aku selalu suka Italian food."

Pemuda yang lebih pendek tertawa garing. "Kalau begitu aku fettuccine saja."
"Dan aku spaghetti."

Mereka tertawa lepas. Pelayan datang dan mencatat pesanan mereka.

"Dia memesan fettuccine, aku spaghetti," Singto berkata kaku, si pelayan mengangguk, pena-nya sibuk bergerak di atas kertas.

"Minumannya tuan-tuan?"

"Iced tea untukku," Krist menjawab, lalu menatap pemuda di hadapannya. Singto mengangkat bahu.

"Cola saja, please," ucapnya disertai senyum. Pelayan menyudahi catatannya dan memasukkannya ke saku seragam miliknya.

"Akan tiba beberapa menit, tuan-tuan," jawabnya sopan, sebelum beranjak dari sana.

Mata Krist terarah pada jemari Singto. Tak ada lagi benda berkilau yang sebelumnya terlingkar disana.

"P’Singto—" Krist berucap.

"—Krist," Singto terdiam begitu mereka bersuara hampir bersamaan.

"I'm so sorry about last night. I really, truly am," Krist menghela nafas, memandang Singto dengan tatapan bersalah. "Aku tidak bermaksud mengacaukan semuanya, apalagi pertunanganmu dengan—"

"…pertunangan yang tidak akan pernah jadi pernikahan," Singto memotong dengan nada pahit, tersenyum paksa kearah pemuda itu. Krist balas menatap, mulut menganga dan mata membulat.

"Aku—oh my god, P’Singto," dia tergagap, jauh di lubuk hati dan pikirannya ia sedang melakukan selebrasi. "I'm sorry."

"Aku cuma bisa bilang ‘tidak apa-apa,' karena aku juga bersalah disini," Singto berkata, menyandarkan punggungnya pada kursi. "Anyway, kita bicarakan itu nanti saja. Ayo… ayo bertukar kabar dulu."

"Sejujurnya, ini benar-benar canggung," Krist berkata, tertawa. Singto menatap Krist, tersenyum tipis.

"Sangat," responnya. "So… tiga tahun."

"Tiga tahun," Krist mengkonfirmasi.

Hening, Lagi.

"Kita makin mahir membuat suasana hening, ya?" Singto menggaruk pangkal hidungnya. Lalu keduanya tertawa.
Krist menambahkan. "Tapi jujur, P,Singto… ceritakan padaku tentang 3 tahun ini. Kau juga masih berhutang penjelasan padaku tentang 3 tahun yang lalu," katanya dengan serius. Singto menarik nafas panjang.

"Of course, akan aku katakan semuanya."

.

TBC...

.

.

N. B.  this chapter is pretty boring, right?  Nanti aku usahain update rajin,  tpi gak janji sih... Tergantung mood dan idenya. Hha

Please vote dan komen lagi yah,, love you ❤❤

If I Close My Eyes (SOTUS Fanfiction - Bahasa Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang