Bagian 14: Prioritas #1

2K 236 16
                                    

Singto bersandar pada sofa, bergulat dengan segala macam hal dalam kepalanya. Phuket, meeting dengan dewan, yang mana harus didahulukan? "June, apa dewan sudah menjadwalkan meetingnya?"

June mengeluarkan gadget dari dalam tasnya dan sibuk menggeser dengan jarinya. "Jadwalnya hari kamis, dan berdasarkan fansite Krist, konsernya di hari yang sama, jam 5 sore."

"Kau benar-benar fansnya, kan?" Singto tersenyum miring, matanya mengarah langsung. "Jam berapa meetingnya?"

June menggigit bibirnya dan mengecek lagi gadgetnya. "Aku bukan fans. Aku melakukan ini untukmu, plus aku punya sepupu yang sudah tidak sabar hadir kamis nanti. Anyway, oh, shit, meetingnya jam 4." Dia melingkari tanggal di gadgetnya.

Singto mengacak rambutnya, sambil merengut dan memaki. "Goddamn it, aku benci dewan. Tidak bisa kah aku membuat desain saja tanpa harus memikirkan dewan dan semacamnya." geramnya, lalu berdiri. "Sekarang apa yang harus kita lakukan? Aku masih harus menyelesaikan desainku beberapa hari ini, belum lagi urusanku dengan majalah, yang sudah tertunda selama berminggu-minggu, oh god, dewan sialan, mereka merusak semua jadwalku. Kau tahu, kutebak sehari setelah konsernya, dia akan berangkat ke kota selanjutnya, kita harus menyelesaikan ini secepat mungkin—"

"Mungkin kita harus merombak lagi jadwalmu, hanya itu pilihannya. Atau kita pergi saja sekarang."

"Aku sudah mencoba menjadwalkan ulang, dan..." suaranya memelan.

"Benar," June mendengus. "Bagaimanapun, kita harus membuat jalan untuk kabur."

"Bukannya kau asisten merangkap penasehatku?" tanyanya, menoleh, dengan tangan terlipat di dada. Dia mulai mondar-mandir di studionya. "Aku suka caramu berpikir, dan kupikir memang kita harus kabur, tapi kau tahu bagaimana akhirnya jika kita kabur dari dewan," katanya sangsi, bersandar pada pinggiran meja.

"Kau sudah coba menelpon Krist?" June bertanya ragu. Singto berkedip sambil menatapnya, menyambar ponsel dari kantong celananya. Dia mulai menggeser kontak dalam ponselnya.

"Terus terang, aku jadi lupa punya ponsel."

"Bisa aku lihat dari caramu menerobos The Palace tadi pagi."

Singto hanya melempar tatapan datar. Dia menarik nafas cukup lama. "Dia harusnya sudah di Phuket sekarang ini. Semoga saja ponselnya aktif..." Dia menekan 'call,' di layar dan ponsel Krist mulai berdering di seberang. "Nyambung, nyambung!" gerak bibirnya tanpa suara, separuh panik, bergerak ke dinding dan bersandar.

.

Krist melompat ke kasur empuk hotel, mengubur wajahnya ke bantal. Roam mengintip dari balik pintu, sambil mengetuk.

"Istirahat saja dulu, kemudian Bean dan aku akan mengajakmu berkeliling! Phuket, tempat yang selalu ingin kau kunjungi, ya kan, Krist?" serunya heboh. Krist hanya bergumam tidak jelas di bantal, dan Roam mendengus. "Okay, tidur saja sana, dan kita akan makan malam di bawah. Aku akan menemani Bean dan kawan-kawan, dan jika kau butuh sesuatu, panggil saja ya," katanya dengan nada yang lebih pelan.

Krist mengangguk pelan.

"Jangan menyiksa dirimu sendiri, Krist."

"Aku tidak menyiksa diri," Krist merespon, mengangkat wajahnya dari bantal. "Aku cuma capek. Mungkin lebih baik aku latihan untuk laguku, dan sedikit berkeliling kota."

"Mau aku temani?" Roam bertanya.

"Roam, aku artismu, bukan bayi yang kau jaga," Krist mendengus.

Roam memutar bola mata dan duduk di sofa kecil dekat situ. "Aku juga merangkap jadi babysitter-mu. Aku sudah menjagamu selama 3 tahun, brengsek, pastikan saja kau tidak melakukan hal-hal buruk dan tidak sehat. Bagaimana jika ada paparazzi yang bisa saja mencelakaimu? Apa yang akan kau lakukan seorang diri? Apa kau mau aku yang membereskan masalahmu tiap kali kau berteriak pada mereka?"

If I Close My Eyes (SOTUS Fanfiction - Bahasa Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang