3 tahun sebelumnya...
Pintu depan membuka dan menutup berdebam; suara ketukan alas sepatu terdengar hingga ke ruang belajar Krist.
Dia menoleh, mengalihkan perhatian dari meja dan bukunya memandang Singto, yang baru saja melangkah masuk ke ruangan. "Hai, tampan," katanya santai, berdiri menyambut kekasihnya. Dia siap mengecup pemuda itu ketika Singto memalingkan wajahnya. Tampak khawatir, Krist menatap Singto berjalan menjauh ke kursi di sudut ruangan dan duduk, membiarkan backpacknya terjatuh begitu saja ke lantai.
"What's wrong?" tanyanya pada Singto selagi melihat pemuda itu tertunduk.
"Krist..." ucapnya ragu, "Aku... dapat kontrak dari Vogue."
Krist menghampiri dan duduk disampingnya, lalu merengkuh pemuda itu dalam satu pelukan erat. "I'm so proud of you, P'! Lalu kenapa tidak senang?"
"Aku akan ke Bangkok minggu depan."
Pemuda yang lebih muda itu merespon dengan senyum masih di wajahnya. "Oh! Baguslah, seperti yang selalu kau harapkan!"
Singto menatapnya penuh keraguan.
"Makanya—makanya aku kesini mengabarkannya padamu... Kupikir kita harus berhenti disini."
Kata-kata itu menimpanya seperti beton. Krist berdiri seketika dan berteriak, "Apa?" Ia harap pendengarannya menipunya kali ini.
"Krist, Kau sadar tidak kita sudah jarang menghabiskan waktu bersama sebanyak biasanya. Aku sibuk dengan mimpiku sendiri, dan hubungan ini, terasa dipaksakan. Aku tidak punya cukup waktu... untuk diriku sendiri."
"Kita sudah sepakat mengutamakan hubungan ini, kan?" kata Krist putus asa, terjatuh berlutut di depan pemuda itu, meraih jemari Singto dalam genggamannya. "P'Singto, kau baik-baik saja kan?" tanyanya lagi, takut, "P' kau tidak mengidap penyakit parah atau semacamnya kan?"
Singto membebaskan jemarinya dan menyembunyikannya dalam saku celana. "Aku sehat, Krist. Aku hanya tidak mau... tidak mau melanjutkan hubungan ini."
"Apa?"
"Kau—Kau satu-satunya laki-laki yang pernah berpacaran denganku, Krist. Tapi bukan yang terakhir. Jalanku masih panjang. Aku akan ke Bangkok, Krist, dan jika hubungan seperti ini saja tidak berhasil, bagaimana kita akan menjalani pacaran jarak jauh."
"A...Aku..." gagap Krist.
"I...I'm sorry," bisik Singto, berdiri dan keluar menuju kamar yang sudah mereka tinggali bersama, mengambil barang-barangnya. Krist mengejarnya.
"Kau tidak bisa melakukan ini padaku, P'Sing," teriak Krist. "I love you. Please, jangan pergi."
Dia mendengar koper yang terbanting ke lantai, dan Singto muncul dari balik pintu, nafas memburu dan wajah merah. "Aku selalu mengikutimu. Kau tahu aku juga punya mimpi, but, no, kau egois membawaku tinggal di kota ini, sedangkan jelas mimpiku di Bangkok. Kau tidak pernah mendengarku—"
"Aku pikir kita sudah sepakat?" potong Krist. "P'Sing, apa maksudmu, P'?"
"Itu bukan sepenuhnya keinginanku, aku melakukannya untukmu! Aku punya pilihanku sendiri!"
"Apa kau serius, P'?" bentak Krist. "Kau bercanda, kan? Aku tidak pernah memaksamu!"
"Kau tidak memaksaku? Kau selalu menjadikan hubungan kita sebagai tameng!"
"TAMENG?!" ucap Krist, ia benar-benar tidak percaya, hatinya terasa tercabik. "Aku selalu memberimu pilihan, dan kau yang memilih ikut denganku. Harusnya kau bilang padaku ingin ke Bangkok? Aku akan tetap mendukungmu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
If I Close My Eyes (SOTUS Fanfiction - Bahasa Indonesia)
Fiksi PenggemarKrist & Singto mengakhiri hubungan mereka. Krist seorang penyanyi, sedangkan Singto sukses dengan karirnya sebagai model, sekaligus desainer untuk merek fashionnya sendiri. Bertahun-bertahun berpisah, hingga suatu hari Krist dikejutkan dengan kabar...