2 - Choose to Keep Going

26.3K 4.1K 104
                                    

Menjadi pengangguran dan menghitung-hitung saldo rekeningnya yang terus berkurang. Itulah kegiatan Arum selama dua minggu terakhir ini. Kedua orangtuanya, syukurlah, sangat memahami situasinya. Bahkan ibunya juga. Semula Arum paling takut mengecewakan mereka yang sudah terlanjur bangga atas statusnya sebagai pegawai pada sebuah kantor akuntan publik yang mentereng. Ternyata kekhawatirannya tidak beralasan. Justru ibunyalah yang menjadi tumpuan Arum selama dia memantapkan diri untuk keluar dari pekerjaan, dan melepaskan diri dari ikatan hubungan dengan Fares. Sehingga Arum bisa melangkah ringan untuk kembali pulang, melepas kamar kos di daerah yang lumayan elit itu, dan menempati kamar lamanya di rumah orangtuanya.

"Ngapain kamu gengsi. Namanya juga anak. Kalau kamu nggak kerja, ya di sini aja, di rumah. Papa masih sanggup kasih makan kamu," komentar ayahnya.

Jadi di sinilah Arum sekarang. Luntang-luntung sambil mencari-cari jenis aktifitas atau kemungkinan pekerjaan yang bisa dia lakukan. Karena si sontoloyo Fares itu benar-benar membuktikan ancamannya. Surat rekomendasinya tidak disertakan, sehingga Arum tidak memiliki dokumen pengalaman kerja yang diperlukan bila dia ingin melamar pekerjaan pada bidang yang sama. Untung saja surat pengunduran diri dan pemutusan hubungan kerja sudah selesai diproses di bagian personalia. Sehingga Arum mendapatkan hak-haknya di Jamsostek sewaktu-waktu dibutuhkan.

Dalam kondisi seperti ini, sering Arum merasa dia jadi seperti pensiunan beneran seperti ayah ibunya.

"Kamu tahu kan, Yusra?" tanya Mama siang itu, ketika Arum sedang asyik di depan laptopnya.

"Mas Yusra? Anak blok sebelah?" Arum balik bertanya. "Tahu lah Ma. Meskipun nggak kenal dekat, tetapi beberapa kali ketemu. Mas Yusra kerja di Surabaya, pernah sekali ketemu di bandara pas Arum mau ke Jakarta. Kenapa? Chef kan dia?"

"Dulu. Tetapi sejak akhir tahun lalu sudah keluar dari tempat kerjanya," jawab ibunya kalem.

"Artinya Mas Yusra udah pulang ke sini?" Arum tiba-tiba tertarik. Mengetahui ada orang lain yang nganggur seperti dia, rasanya menentramkan. Ha!

"Iya. Sekarang buka usaha sendiri di ruko yang ada di Dieng."

Wah, ini baru berita. Arum ingat sekali bagaimana Yusra ini. Si cowok anak mama yang tidak pernah bertingkah. Selalu sopan dan tidak banyak tingkah. Selalu bersikap pantas. Memang bukan tukang bicara atau teman yang ramah, tetapi selalu menyapa dengan senyumnya yang manis. Iya, Yusra memang manis. Arum ingat masa satu tahun dia satu sekolah dengan Yusra di SMA. Yusra sudah kelas tiga ketika Arum baru kelas satu. Tetapi meskipun begitu, Yusra selalu menyapanya dengan ramah. Bukan hanya kepada Arum, tetapi kepada semua anak komplek ini yang kebetulan satu sekolah. Bahkan Yusra tidak segan-segan memberi mereka tumpangan dengan mobil katana warna biru yang selalu dia pakai itu. Kenangan ini membuat Arum merasa old banget. Itu sepuluh tahun yang lalu coba.

"Jadi Mas Yusra buka usaha kuliner, Ma?" tanya Arum.

"Iya. Punya semacam gerai khusus untuk kue-kue begitu," ibunya menambahkan. "Mama sih baru sekali ke sana. Sudah lumayan lah meskipun baru buka beberapa bulan. Ramai dan modern. Pengunjungnya kebanyakan cewek-cewek. Maklum, chef pemiliknya kan ganteng," ibunya cekikikan.

Mama? Cekikikan? Duh ... kok rasanya hanya Arum yang menderita ya. Bahkan ibunya saja tahu kalau Yusra chef ganteng. Eits, sebentar. Yusra ganteng? Mungkin juga sih dia masuk kategori ganteng. Tinggi, jangkung, dengan rambut yang agak kepanjangan, dan wajahnya yang lumayan juga. Mengingat pertemuan terakhir mereka, Arum setuju saja sih kalau Yusra masuk kategori chef ganteng. Karena image tukang masak kan rata-rata bapak-bapak berperut buncit dengan topinya yang lucu itu. Ah, itu bayangan Arum aja kali! Yang memang buta dunia beginian.

"Wow! Keren dong Ma. Bisnis kuliner itu nggak ada matinya. Kapan nih Ma, kita main ke sana?" Arum antusias sekali.

"Bukan Mama yang perlu ke sana. Kamu tuh yang harusnya ke sana," kata ibunya.

"Eh? Kenapa?" Arum bingung sendiri.

"Mama ketemu ibunya Yusra di acara komplek tempo hari. Jadilah kami ngobrol-ngobrol soal kamu, Rum ..." ibunya memulai monolognya. Monolog yang artinya berbicara dengan nada datar tapi tidak mau disela.

"Ma ..." Arum pantang menyerah.

"Mama bilang kali aja ada info lowongan kerjaan buat kamu yang lagi ..."

"Mama..." Arum tangguh lho, mencoba menghentikan omongan ibunya.

"Ya nggak usah yang terlalu gimana lah. Abaikan aja kenyataan kamu lulusan ekonomi Unair untuk sementara. Toh kamu sekedar butuh kegiatan untuk mengisi waktu luang...."

"Mama .." Arum mulai menaikkan nada suaranya.

"Mama Yusra bilang, akan disampaikan ke Yusra, kali aja dia butuh karyawan dan kamu cocok," ibunya mengakhiri pemberitahuannya.

Arum menghela napas panjang. Dalam bayangannya dia menduga seluruh isi komplek perumahan ini sudah tahu kalau dia seorang pengangguran, jomblo, dan sedang mencari pekerjaan, apapun itu, untuk mengisi waktu.

"Duh Mama .... Nasib Arum kan bukan konsumsi publik," keluh Arum putus asa.

"Eh, jangan salah! Justru karena obrolan Mama inilah tadi pagi Mama Yusra bilang di grup warga kalau Yusra beneran butuh karyawan. Kalau kamu mau, segera aja temui Yusra di tokonya."

Arum hanya bisa geleng-geleng kepala tidak mengerti, kenapa ibunya terlihat girang sekali.

"Arum harus kerja apa di gerai kuliner, Ma?" tanya Arum mengeluh. "Arum ini akunting. Apa iya gerai roti dan kue butuh akunting? Mereka biasanya akan lebih praktis mempekerjakan lulusan SMK karena pembukuannya sederhana."

"Yang penting kamu punya kegiatan dulu, Rum. Mama nggak tega lihat kamu luntang-luntung nggak jelas gini. Mama lihat juga kayaknya kamu bingung."

"Iya, Ma. Tapi apa cocok kerja sama Mas Yusra?"

"Dicoba dulu aja. Kamu nggak usah ragu-ragu, Yusra anaknya baik. Mama jamin itu. Meskipun mungkin gajinya kecil, tapi yakin deh, kamu bakal lebih bahagia di sana. Daripada kerja sama atasanmu yang brengsek itu, si Fares!"

"Ma!"

"Arum, Mama nggak bakalan tega melihat anak Mama lebih banyak nangis daripada senyum, menjalani hubungan tidak jelas seperti itu. Sudah cukup kamu menyia-nyiakan waktu buat Fares."

"Tapi Ma, ini tentang pekerjaan, bukan tentang asmara."

"Dan kamu paling nggak bisa melakukannya dengan benar. Kerja ya kerja, asmara ya asmara. Jangan dicampur. Kacau kan?"

Iya deh Ma! Ngomong sama perempuan yang telah membesarkannya memang tidak akan pernah menang.

"Jadi, tadi Mama sudah telepon ke Yusra, bikin janji. Nanti kamu bisa temui Yusra jam empat sore."

Ha?

Patissier & Chocolatier (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang