7 - Good Vibes

20.3K 4K 84
                                    


Arum menelan ludah dengan sulit. Mendengar pernyataan Yusra barusan membuat dadanya berdebar. Tidak menyangka Yusra menaruh kepercayaan sebesar itu padanya.

"Apakah itu artinya Mas Yus menginginkan aku untuk menjadi partner?" tanya Arum pelan, tidak berani mempercayai kesimpulannya sendiri.

"Emang siapa lagi Rum orang yang lebih cocok dari kamu?" Yusra balik bertanya.

"Tetapi Mas Yusra kan belum tahu track record-ku di tempat kerja yang lama."

"Apa itu penting? Aku menganggapnya itu masa lalu. Pertimbanganku sepenuhnya pada kinerjamu selama di sini. Dan aku yakin dengan kompetensimu."

"Mas Yus tidak tahu kenapa aku keluar dari tempat kerja lama."

Yusra memandang Arum. Arum memang bukan perempuan bertubuh tinggi semampai. Wajahnya bulat dengan pipi agak tembem. Rambutnya yang berponi membuatnya terlihat imut serta jauh lebih muda dari usia sebenarnya. Dengan wajah polosnya yang minim make up, membuatnya tampil segar. Toko ini tidak menuntut Arum untuk tampil professional karena suasana kerjanya yang santai. Hanya karyawan yang bertugas untuk melayani pembeli yang mengenakan seragam. Bahkan Yusra pun lebih sering tampil santai dengan jeans dan tshirt. Sedangkan Arum lebih sering mengenakan pakaian-pakaian casual namun masih sopan untuk bekerja. Seperti hari ini, Arum memakai celana warna gelap dengan baju longgar dengan aksen di pinggang dari batik dobby berwarna pink pucat.

"Kenapa Rum? Apakah kamu keberatan dengan tawaran partner ini?"

"Bukannya itu Mas, aku lebih mengkhawatirkan diriku sendiri. Sanggup tidak memenuhi ekspektasi Mas Yusra."

"Apakah kamu menyukai tempat ini?"

"Suka banget. Makanya kan aku kerasan."

"Selama kamu menyukai tempat ini, memiliki sense of belonging pada tempat ini, kupikir ini awal yang cukup bagus."

Yusra dan Arum berpandangan selama beberapa menit. Hingga akhirnya, meskipun ragu, Arum mengangguk. "Aku mau asalkan aku dibolehkan membuat beberapa perubahan. Bahkan jika perubahan tersebut sedikit berisiko terhadap keuangan."

Yusra tertawa sambil berkata, "Di antara kita berdua, aku lebih percaya dengan pertimbanganmu soal keuangan daripada diriku sendiri, Rum."

Arum mengulurkan tangannya, yang disambut oleh Yusra dengan jabatan erat. "Deal?"

"Deal."

Arum merasakan kehangatan dari telapak tangan Yusra yang menggenggam telapak tangannya. Tangan pria yang telah berhasil menyulap bahan-bahan baku menjadi sajian cantik yang lezat menggelitik lidah. Pria yang telah membangun mimpinya dari tempat berukuran standar tujuh kali dua belas meter ini. Dan menyeretnya serta untuk membangun mimpi bersama di tempat ini.

Keesokan harinya, Arum berangkat siang karena dia dan Yusra berencana untuk berbicara serius tentang bisnis mereka. Hal itu bisa dilakukan setelah toko tutup dan semua karyawan pulang. Perlu waktu hampir tiga jam buat keduanya untuk menyusun rencana-rencana pengembangan bisnis kecil ini. Mereka berdebat, berkompromi, saling membantah, saling menguatkan, berbagi mimpi dan harapan, dan cukup was-was untuk memulai, dengan kekhawatiran kegagalan yang memiliki peluang sebesar keberhasilannya.

Satu hal yang istimewa malam ini adalah mereka ditemani oleh kopi yang berhasil diracik dengan takaran yang pas oleh Arum. Bahkan Yusra memberikan persetujuannya dengan mengangkat kedua jempolnya. Bukanlah rahasia lagi kalau Arum tidak memiliki kepercayaan diri sama sekali bila berhubungan dengan racik meracik makanan serta minuman. Dengan keberadaan mantan chef handal dari hotel bintang lima di kota besar seperti Surabaya, siapa yang tidak minder kan?

"Tapi kopinya beneran enak kan? Mas Yus bukan asal memuji biar aku seneng?" tanya Arum was-was.

"Enak, beneran deh nggak bohong. Malah mauku setiap hari aku dibikinin kopi deh sama kamu. Udah bosen bikin sendiri."

Arum nyengir. "Ish! Gombal banget."

"Eh serius kok. Bener. Aku malah ingat rasa nasi goring bikinan kamu dulu, dan kalau boleh, aku mau nyicipin lagi."

Kali ini Arum benar-benar heran. "Nasi goreng? Yang mana? Kapan?"

"Kamu lupa?" Yusra mengernyitkan alisnya.

Arum menggeleng. "Nggak inget sama sekali."

Yusra tersenyum. "Inget nggak dulu, ketika SMA? Kamu pernah kan bawa bekal di kantin?"

Arum mengingat-ingat kejadian di SMA yang entah berapa tahun lalu. Hingga sebuah peristiwa mampir di benaknya. "Iya, waktu aku bawa bekal nasi goreng yang udah dingin di kotak nasi. Aku bela-belain bawa karena aku masak sendiri."

"Nah, pas kamu buka kotaknya, bel udah bunyi," lanjut Yusra.

Arum tertawa terbahak-bahak mengingat peristiwa itu. "Iya. Apalagi kan aku anak baru, baru kelas satu. Takut banget sama bel. Beda sama Mas Yusra yang udah hampir lulus."

Yusra tertawa. "Tapi kan akhirnya aku yang bantuin kamu habisin bekalmu itu kan? Karena kamu udah buru-buru masuk kelas, sedangkan aku masih santai-santai saja nongkrong di kantin."

Tergambar jelas di memori Arum, ketika dia baru membuka kota bekal, dan bel berbunyi. Arum yang kebingungan dengan kotak nasi didepannya sangat tertolong ketika tiba-tiba Yusra muncul di sebelahnya sambil berkata, "Kamu takut telat masuk kelas kan?"

"Iya, tadi keasyikan di perpus sampai lupa kalau jam istirahat hampir selesai."

"Sini, aku habisin bekalmu," kata Yusra menawarkan diri. "Kamu masuk kelas aja. Ntar kotaknya aku anterin."

"Aduh, makasih banget. Nggak apa-apa kan kalau bekalnya udah dingin? Tadi pagi sih enak banget, karena aku sendiri yang masak nasi gorengnya."

"Iya, nggak apa-apa. Aku juga lagi laper. Nggak nolak makanan gratisan. Udah, sana masuk gih!"

Dan sekarang, mengingat lagi peristiwa itu, membuat Arum terharu. "Mas Yusra masih ingat?" tanyanya dengan dada berdebar, tidak berani berharap.

"Aku bahkan masih ingat rasanya," kata Yusra sambil tersenyum manis.

Kalau Yusra terus menerus bersikap manis seperti ini, bagaimana Arum bisa tahan? Dan keesokan harinya, dengan dada berdebar, Arum meninggalkan sekota nasi goreng yang masih hangat mengepul di meja Yusra. Pagi ini Arum berangkat pada jam normal dan sengaja menolak tebengan Yusra di pagi hari. Antara keinginannya untuk sedikit menjaga jarak dengan Yusra agar dirinya tidak mengulang apa yang terjadi dengan Fares, dan keinginannya membawakan cowok baik hati itu makanan yang dia sukai memang sangat inkonsisten. Tetapi Arum toh melakukannya juga.

Arum baru memulai menyortir lembar-lembar tagihan ketika kepala Yusra muncul di ambang pintu. Pria itu tersenyum manis sambil berkata, "Terima kasih. Nasi gorengnya enak sekali. Apalagi kalau ada kopinya," celetuknya jahil.

Alamak!

X}$,;UT

Patissier & Chocolatier (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang