0.2 Prolog

30.8K 1.5K 65
                                    

Our Marriage Life

Menikah.

Dulu gue nggak terlalu mengerti dengan satu kata itu, yang gue ingat saat menerima lamaran dia-pria yang dengan hebatnya bisa membuat hati gue yang awalnya ragu menjadi yakin keluar dari zona nyaman gue, menyerahkan seluruh hidup gue, kalau hidup bersama dengannya nanti tidak akan pernah membuat gue menyesali keputusan yang gue ambil- pikiran gue tentang menikah itu hanya satu: untuk menghindari kita berdua dari zina.

Iya, awalnya gue memang berfikiran sangat kuno meski ada alasan dibalik semua itu, karena gue adalah wanita yang polos tapi nggak polos-polos banget kalau lo kenal dekat.

Maksud gue gini. Gue udah nggak remaja lagi, udah mateng luar dan dalam, meski suami gue baru melepas masa remajanya, tidak memungkiri kalau hubungan kami bisa berubah menjadi batas tidak wajar dimana sebatas pegangan tangan atau kecup bibir udah terdengar basi bagi mereka yang di mabuk asmara. Hell ya, gue akui kita berdua pernah hampir kelepasan, you know lah, jadi gue nggak perlu ngejelasin lengkapnya gimana. Saat itu suami gue masih bisa mengendalikan dirinya, begitu pun gue yang juga tersadar karena mau macem-macemin anak di bawah umur. Terdengar lucu memang karena gue yang terkesan agresif, tapi mau gimana lagi kalau lo punya pacar semanis dia, gue berani jamin nggak ada istilah ingin membatasi diri untuk nggak ngapa-ngapain dia.

Suami gue memang sesempurna itu.

Sehingga gue tanpa pikir panjang bersedia menjadi istri tercinta dia dengan alasan simple, sama seperti dia, gue nggak yakin bisa menahan diri kalau kesempatan itu datang lagi. Gue dan suami gue jadi bisa berbuat apapun tanpa perlu orang tua kami merasa cemas. Mereka nggak akan suudzon saat gue di ajak dia main malam-malam atau ngira kita berdua bakal berbuat macam-macam di dalam kamar, mengingat gimana pergaulan pasangan kekasih zaman sekarang begitu mengkhawatirkan. Sayangnya gue juga termasuk kedalam pasangan kekasih zaman now itu.

Jadi gue dan dia mutusin untuk nikah muda.

Gue bahkan sempat bertanya alasan dia yang ternyata sangat jauh berbeda dari pikiran gue.

"Kamu pikir alasan aku nikah sama kamu kaya gitu?"

Gue mengangkat bahu terkesan nggak peduli padahal dalam hati gue sangat penasaran, "Ya gitu. Mana ada cowok kaya lo, masih muda, ganteng, banyak uang dan masih bugar mau nikah sama wanita tua kaya gue. Bukannya masih banyak cewek yang lebih muda yang pantas untuk dinikahi daripada gue?"

Saat itu, suami gue hanya tertawa pelan mendengar jawaban gue.

"Kok ketawa? Gue rasanya nggak sedang ngelucu deh. Jadi, benerkan alasan lo cuman mau itu sama gue."

Kali ini dia tersenyum lembut, senyum yang mampu membuat lutut gue lemas. Tangannya lalu terangkat untuk mengelus puncak kepala gue dengan sayang.

"Aku terlalu sayang sama kamu, beb. Kamu terlalu berharga untuk aku rusak. Wanita seperti kamu cuman pantas untuk dijaga, bukan untuk dipermainkan apalagi harus merasakan hubungan yang ditarik ulur. Aku juga terlalu mencintai diri aku sendiri, karena aku nggak mau ngelepasin kamu dan membayangkan kamu direbut oleh pria lain. Jadi aku pikir, menikah adalah satu-satunya cara untuk membuktikan kalau aku serius sama kamu."

Bayangin aja, wanita mana yang nggak tehipnotis diberi alasan seperti itu.

Tapi itu dulu.

Setelah kurang lebih setahun hubungan pernikahan gue sama suami gue -Guanlin Abimanyu, gue mulai berpikir ternyata menikah nggak segampang gue pikirin. Dari umur gue dan umur dia yang bisa dibilang berjarak cukup jauh serta emosi dia yang masih dapat dibilang sangat labil. Jangan ngarepin umur dia di atas gua seperti cerita yang sering kalian baca dimana si cewek muda berpasangan dengan pria dewasa yang merupakan sebuah CEO berparas rupawan dan terkesan dingin. Sebenarnya keinginan gue juga sama seperti itu tapi kadang kenyataan memang nggak sebaik dan seindah dunia khayalan, guys. Saatnya kalian untuk bangun.

Marriage FlavorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang