10

476 113 10
                                    

Mereka bagaikan dua dunia berbeda. Yang satu terlalu suci dan bersih. Yang satu lagi, penuh perkelahian dan perebutan tahta. Saling melengkapi, namun tidak akan bersatu. Woojin tahu, dibalik Dewa-Dewi yang duduk di singgasananya masing-masing, begitu banyak pertumpahan darah. Sifat itu, jelas menurun pada anak-anak mereka. Jika dicatat, mungkin Woojin akan memiliki paling banyak catatan dalam sebuah pertumpahan darah juga. Pekerjaannya adalah melumpuhkan lawan, dan dia adalah anak Dewa Ares.

Siapa yang bisa mengalahkannya?

Ini pengecualian untuk anak-anak dari tiga Dewa Besar.

Park Woojin jelas berbanding terbalik dengan Ahn Hyungseob yang bahkan rela terluka untuk orang lain, padahal sudah jelas orang itu yang salah. Senyumnya sehangat mentari pagi dan tatapannya mampu menarik orang lain untuk terus tenggelam menatapnya. Dia punya kemampuan untuk membuat orang lain bahagia, tapi kenapa Woojin membuatnya sedih?

Woojin adalah sosok yang terlalu keji untuk melenyapkan sumber kebahagiaan seperti Hyungseob dan Woojin tahu diri.

Mata yang dulu selalu menatapnya penuh harap, kini tinggallah kenangan. Hanya pembayaran yang dapat Woojin lakukan. Menyelamatkan Hyungseob mungkin bisa menjadi salah satunya. Bahkan jika Hyungseob tidak ingin melihatnya lagi setelah ini, dia tidak apa-apa asalkan Woojin bisa membayar sedikit rasa sakit yang dulu dilalui Hyungseob.

Keadaan begitu kacau di rooftop.

Bagaimana bisa warga sekolah tidak sadar kalau rooftoop sekolah sedang digunakan sebagai lahan pertarungan? Bahkan Woojin beberapa kali bergelantungan di sisi luar pagar pembatas dengan kaki menjuntai di udara. Persis seperti adegan bunuh diri.

Nafas Woojin memendek. Dia bukan lagi demigod tak terkalahkan seperti sebelumnya. Bahkan untuk membantu Daehwi yang kembali terkena serangan Hyungseob saja, dia tidak mampu-tunggu, Hyungseob?

Hyungseob yang mana? Apa ada Hyungseob yang lain?

Tidak. Sama sekali tidak ada Hyungseob yang lain.

Dia masih Hyungseob yang sama, yang dulunya selalu memberi harapan dan bersinar secerah mentari. Kini tubuh mungil itu dipenuh kegelapan malam, begitu pekat dan menyedihkan.

Daehwi kembali memuntahkan darah, kali ini jauh lebih banyak dari sebelumnya sedangkan Woojin berusaha untuk terus menahan rasa sakit di punggungnya. Sepertinya ada tulang yang patah. Dia baru saja dihempaskan oleh ribuan galon air dan nyaris mati tertancap besi sepanjang tigapuluh senti yang mencuat dari pagar pembatas kalau gagal menghindar. Setidaknya patah tulang termasuk satu hal paling ringan di kondisi seperti ini.

Kalau Woojin tidak ingin terluka, kenapa tidak menghentikan Hyungseob saja?

Sudah. Woojin sudah berusaha.

Sejak sepuluh menit lalu, Woojin sudah mencoba menghentikan Hyungseob. Namun, mendekati Hyungseob saja tidak bisa, apalagi menghentikannya. Woojin tahu, dia bukan Hyungseob. Dia ada di bawah suatu pengaruh, entah sihir ataupun pengaruh lain. Hyungseob yang asli tidak mungkin tega melukai orang lain.

Bau anyir darah memenuhi penciuman Woojin. Dia dan Daehwi terluka cukup parah sedangkan darah yang tercecer di lantai rooftop dan langit mendung membuat keadaan semakin mengerikan. Warna merah dimana-mana membuat kepala Woojin terasa pening.

Ya Tuhan, bagaimana kalau ada manusia yang menemukan mereka dalam keadaan seperti ini? Bisa tambah runyam masalahnya.

"Ku-uhuk," Woojin terbatuk, nafasnya tercekat dan dadanya terasa begitu nyeri,"kumohon hen-tikan, Sseob," sambil berlutuh di tanah, Woojin mendongak, memperhatikan Hyungseob yang melangkah mendekati Daehwi yang sudah pingsan di sudut lain rooftop,"kau tidak jahat, Sseob. Aku! Aku yang jahat disini. J-jangan lukai yang lain, cukup aku saja."

broken arrow • jinseobTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang