1

1.3K 103 1
                                    

Pagi itu mungkin menjadi pagi teraneh yang pernah terjadi seumur hidup Maya. Ia berada dalam ruang interview sebuah perusahaan swasta dan berada di dalamnya tak lebih dari lima menit saja.

“Kamu berasal dari bank, pekerjaanmu sebelumnya …” si interviewer itu bahkan tidak berbasa-basi meminta Maya untuk memperkenalkan diri. Maya, bagaimanapun, bersiap menjawab dengan pantas dan meyakinkan.

“Dan tugas-tugasmu sebelumnya adalah sebagai sekretaris divisi … ya … ya, dengan gaji … sekian?”
kalimat terakhir diucapkannya dengan nada terperanjat, sebelum mulut Maya terbuka untuk menjawab. Tidak ada pilihan.
Maya mengangguk kecil dan berkata pelan,

“Benar, Pak.” Sambil berharap si interviewer mendapat kesan baik dari resume tersebut lantas mempertimbangka posisi yang bagus untuknya di perusahaan itu.

“Berasal dari bank anu, posisi bagus, dan gaji kamu sudah tinggi sekali. Jadi, mau apa kamu mencari pekerjaan di sini?” tajam, dan sedikit sinis. Tak sadar, Maya nyengir.

“Saya yakin bisa menemukan pengalaman dan pelajaran …”

“… Dari perusahan ini. Hah! Tidak bisa. Kamu buta, ya? Bank tempat kamu bekerja sudah memiliki segala yang kamu butuhkan. Reputasi bagus, jenjang karir sudah pasti, dan banyak lagi alasan yang tidak perlu saya sebutkan. Cukup. Kamu tidak diterima. Silakan bekerja kembali di sana. Interview selesai.”

Sebetulnya ceramah terakhir tadi tidak Maya butuhkan. Pengalaman bertahun-tahun, sempat pula menjadi kepala bagian keuangan di sebuah perusahaan kantor akuntan, gaji lebih dari cukup, di tempat manapun ia melamar nyaris selalu diterima. Posisi bagus, reputasi terjaga baik, salary lebih. Maya tidak butuh semua itu.

Tantangan baru. Itu dia. Tantangan baru yang akan terus membuat hari-harinya lebih menarik. Sebenarnya pengalaman barusan juga menarik. Belum pernah ia diperlakukan demikian di ruang interview.

Maya menghela napas kuat-kuat. Bus patas AC jurusan Blok M-Pulo Gadung yang dinaikinya membawa sepi yang kembali merayapi hatinya. Penumpang tidak banyak, sebagian besar terlelap dengan nyenyaknya. Maya duduk sendiri di bangku untuk dua orang.

Di samping kanannya duduk dua orang wanita muda. Yang satu tertidur, yang satu lagi tampak asyik membaca.

Tak sadar ia perhatikan wanita yang kelihatannya baru berumur dua puluh lima tahunan itu. Tampaknya bukan wanita kantoran. Pakaian yang ia kenakan terlihat terlalu santai, walau tetap rapi.

Wanita muda itu membalik halaman majalah yang dibacanya. Alis Maya terangkat. Tangan kanan wanita itu berkilau, jari manisnya.

 Hhh … Maya mendesah panjang.

Ia lantas mengalihkan pandangan ke jendela.

Tbc....

Maya Dan Cicin Di Jarinya (Cerpen) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang