“May, kamu mau beli yang ukuran kecil apa yang sedang? Kayaknya harganya nggak jauh beda, deh … mendingan … May! Maya!”
“Oh … eh … sori … apaan, Sis?” Maya mendapati Siska, sahabatnya, berkacak pinggang dengan wajah cemberut dan memegang dua botol pembersih muka di kedua tangannya.
“Mana? Mana dia?” Siska bertanya dengan nada marah. Kepalanya kini menoleh ke kanan dan kiri, seperti mencari-cari sesuatu.
“Mana apanya, Sis? Udah ah, sini, aku ambil yang sedang aja.” Maya merebut sebuah botol dari tangan kanan Siska dan beranjak pergi. Siska masih celingukan, sesaat setelahnya mengikuti.
“Kamu kenapa sih, May? Makin aneh aja belakangan ini.” Protes Siska, ketika mereka berdua tengah bersantai di sebuah restoran cepat saji, di Pasar Festival.
Salah satu kebiasaan mereka berdua kala penat telah demikian memuncak akibat kesibukan menyelesaikan laporan kas, kertas-kertas kerja lainnya, dan sedikit omelan dari atasan yang menambah semarak hari.Hang out sepulang kerja, apalagi hiburan selain itu?
“Aneh gimana sih, Sis? Aku nggak kenapa-kenapa kok.”
“Nggak kenapa-kenapa gimana? Belakangan ini kamu sering bengong. Kalau kamu lagi bengong muka kamu jadi aneh. Kayak maling lagi lihat jemuran. Ada apa sih, May? Apa yang kamu pikirin?” Siska meninggalkan bruschetta yang sedang dilahapnya. Ia lebih tertarik untuk mengorek sahabatnya ini.
Mendengar nada mendesak dalam suara Siska, Maya sadar ia tak bisa berpura-pura bersikap cuek kemudian mengalihkan pembicaraan. Ia terdiam sejenak, memilin-milin spaghetti di piringnya.
Lalu menatap Siska yang telah meletakkan pisau dan garpunya di meja.
“Nggak ada yang aku pikirin kok … bener, deh.” Sahutnya kalem.
“Ah! Nggak mungkin! Di kantor, kamu sering diam-diamngeliatin Karina. Terus, setiap kali kamu liatin dia, mukamu jadi aneh. Waktu kita jalan-jalan minggu lalu, kamu tiba-tiba bengong waktu kita lewat toko mainan anak-anak. Dan tadi juga, di supermarket. Kamu kenapa sih, May? Apa yang kamu lihat sampai bengong begitu? Kayak lihat hantu aja!”
Maya menunduk. Siska menatapnya dalam-dalam. Ada simpati di matanya. Benaknya telah menduga-duga, dan ia cuma ingin mendapatkan penjelasan langsung dari sahabatnya itu.
“Mereka semua … memakai … cincin.” Sahut Maya. Siska membelalak.
“Cincin? Cincin apa? Aku nggak ngerti.”
“Hhh … iya. Cincin. Mereka semua. Wanita-wanita itu. Karin juga. Apalagi dia baru. Mereka semua pakai cincin di jari manis tangan kanan.” Jelas Maya sedikit enggan. Dan ia kembali menyantap spaghetti-nya yang mulai dingin.
Siska masih terperangah. Dahinya mulai mengerenyit, ia berpikir, mencoba memahami ucapan Maya. Wanita-wanita itu … Karin … tentu saja!
Jadi, selama ini Maya memperhatikan mereka. Hanya mereka yang memakai cincin di jari manis tangan kanan … cincin kawin!
Siska menyeruput lemon tea yang mulai terasa hambar. Ia menarik napas dalam-dalam.
“Jadi … selama ini … Karin … dan yang membuat kamu adi aneh … ck … cincin kawin!”
Siska berkomentar tak jelas.
Seketika ia langsung merasa kasihan pada Maya. Seorang wanita karir yang masih single, dengan segudang kesuksesan, memiliki sifat supel dan menyenangkan, yang akhir-akhir ini berselimut kabut hingga menutupi segala keceriaan yang dulu tampak.
“Ya. Cincin itu. Aku iri.” Tukas Maya. Kali ini dengan nada tak acuh.
“Duh, May …” Siska tak tahu lagi musti berkomentar apa. Ibu muda dengan satu anak ini mendesah. Bagaimana perasaannya dulu ya ketika aku menikah, batinnya. Gurat lelah begitu jelas tampak pada wajah Maya, membuatnya terlihat lebih tua dari usianya. Mereka meneruskan makan dalam diam.
Obsesi Maya terhadap wanita-wanita bercincin itu kian menjadi. Ia bukan hanya bisa terbengong dan menatap lama-lama obyek pandangannya, kini ia mulai membenci mereka. Termasuk Karin. Walau tetap saja kebencian yang dibuat-buat itu hanyalah sebuah puncak keinginan yang belum dapat teraih. Maya tak bisa berbuat apa-apa.
Kabut yang menyelimuti wanita cerdas ini tak hanya makin pekat, melainkan kian berpusar menenggelamkannya pada kesibukan dan lagi-lagi kesibukan.
Produktivitasnya berlipat-lipat, nyaris tak ada waktu barang semenit pun diluangkannya saat rehat di kantor. Ia terus saja bekerja dan bekerja, berhenti hanya untuk makan, ke toilet, dan menunaikan salat.
Tak satu pun percakapan maupun teguran yang ia ladeni. Maya semakin tertutup, ketus pada siapa saja. Terutama Karin.
Pandangannya terpaku, hampir-hampir keningnya menempel pada kaca etalase. Matanya tertuju pada sebuah cincin emas bertabur berlian kecil di sampingnya, melingkar cantik. Sebuah mas kawin yang mahal pastinya.
“Makanya May, kamu tidak pernah mau dengar kata-kataku, sih. Kerja sih kerja, tapi mencari jodoh juga perlu konsentrasi.” Siska menasehatinya suatu kali, kira-kira dua tahun lalu, menjelang pernikahannya.
Maya hanya mencibir menanggapinya waktu itu.
Konsentrasi?
Saat mengoreksi laporan keuangan dari staf keuangan di kantor, itu baru berkonsentrasi namanya. Begitu pikirnya waktu itu.
“Sudah umur segini, mau sendiri sampai kapan?” protes dari ayah dan ibunya pun seperti angin lalu.
Mereka tidak tahu, betapa sudah sejak lama Maya memimpikan bahwa akan ada yang memberikannya sebuah cincin, walaupun sederhana, dan kemudian ia akan membanggakannya dan memandanginya tanpa bosan.
Hanya mimpi.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Maya Dan Cicin Di Jarinya (Cerpen)
ChickLitJangan bicarakan lagi soal menunggu. Maya sudah menunggu terlalu lama dan kepingan hati yang berharap itu sudah seringkali cemas. Wanita yang telah lama beranjak dari usia belia itu sudah melewati kepala tiga dan masih saja sendiri. Belakangan tamp...