3

734 82 0
                                    

“Bagaimana kalau ada yang mau melamar kamu, tapi kamu harus mau menerima dirinya apa adanya?”

“Ya jelas mau, dong. Kalau memang cocok, dan memang akhirnya aku harus menerimanya apa adanya kan? Seperti halnya dia yang juga harus mau menerima aku apa adanya.”

“Maksudku, kamu harus menerima segala kondisi yang ada pada dirinya. Aku tidak membicarakan masalah cacat tubuh dan yang sejenisnya. Apakah kamu mau menerima konsekuensi dari kondisinya tersebut?”

“Hm … memangnya kondisi seperti apa, sih? Kok aku jadi ngeri.”

“Dia sudah beristri dan beranak lima orang.”

Percakapan terhenti. Maya merenung dalam. Gurat keraguan jelas terpampang di wajahnya. Usia yang melekat pada dirinya sudah bukan lagi waktunya pilah-pilih.

Tapi siapapun pasti ingin mendapatkan yang terbaik bagi dirinya. Sekaligus sebuah kesempatan yang mampir saat ini tak mungkin ia tolak dengan serta merta.

Jadi apa yang musti ia lakukan? Syariat untuk berpoligami mungkin salah satunya akan memberikan kemaslahatan bagi wanita seperti dirinya.

Kering yang selama ini ia rasakan di benak, ah, rupanya malam-malamnya akhir-akhir ini terlalu sepi dari mengadu pada-Nya. Maya bertekad memulai kembali.

Maya Dan Cicin Di Jarinya (Cerpen) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang