Seminggu setelah percakapan tersebut, Maya menyempatkan diri menemui Siska di sela kesibukan kantor. Wajahnya kini tak sekelam biasanya. Malah ia tampak agak lebih ceria. Siska sedikit heran, walau juga merasa senang atas kegembiraan yang mungkin sedang dinikmati sahabatnya itu.
“Ada berita besar apa, May? Kok sepertinya kamu habis menang undian berhadiah, begitu.”
“Impianku, Sis …” bukannya meneruskan kalimat sampai selesai, Maya malah memotongnya sambil tersenyum lebar sekali.
“Impian apa? Maksud kamu apa sih, May? Jangan bikin aku bingung begitu, ah.” Siska mulai kesal sekaligus penasaran.
Maya tak menjawab. Ia malah memainkan jari-jemari tangan kanannya di depan muka Siska.
Jelas saja Siska membelalak sedikit kaget akan aksi Maya itu. Ia bertambah bingung, tapi lama-kelamaan mulai menebak-nebak. Maya hanya tersenyum-senyum misterius.
“Maksud kamu … ap … siapa … ah! Masa sih, May? Siapa dia?” akhirnya Siska berseru antusias. Maya tergelak, seakan lega.
Maya pun menceritakan, bahwa sekitar sebulan belakangan ini ia sering berbincang dengan seseorang melalui chatting room di intra net perusahaan.
Seseorang yang juga salah satu karyawan di departemen yang sama dengannya. Awalnya memang tidak ada pembahasan yang luar biasa. Tapi lama-lama menjurus kepada urusan kebiasaan pribadi, kegemaran, atau hanya iseng saling menyapa di kala suntuk menyerang.
Tak sadar pembicaraan yang awalnya singkat-singkat saja itu berubah menjadi sesuatu. Sampai kepada pembicaraan sepekan lalu, ketika urusan lamar-melamar digulirkan menjadi topik utama.
“Maksud kamu orang itu ingin menjodohkan kamu dengan seorang temannya? Begitu, May?”
“Awalnya aku pikir juga begitu, Sis. Sampai ketika ia menanyakan soal penerimaanku terhadap segala kondisi yang ada. Apakah aku siap atau tidak bila harus menerima seseorang dengan apa adanya.”
Dahi Siska mengerenyit.
“Kemudian ia juga menjelaskan bahwa yang dimaksud bukanlah urusan cacat fisik dan sejenisnya. Melainkan kondisi si pelamar yang telah beristri dan memiliki tujuh orang anak.” Kalimat terakhir Maya ucapkan dengan sepelan mungkin, namun cukup jelas terdengar di telinga Siska. Kontan saja Siska melotot.
“Maksud kamu?”
“Ya, sebenarnya ia berbicara tentang dirinya sendiri, Sis. Aku baru menyadari ketika ia menjelaskan kondisi yang ia maksud itu.”
Siska tak tahan untuk tidak ternganga lebar. Pembicaraan Maya dengan fasilitas intra net perusahaan, sudah jelas si lawan bicara adalah karyawan di perusahaan yang sama.
Temannya juga. Laki-laki, sudah pasti, mengemukakan tentang sudah beristri dan beranak lima.
Setahu Siska hanya satu orang di departemen yang sama tempat ia dan Maya bekerja yang memenuhi kriteria tersebut. Dan ia mengenal baik orang itu.
“Lupakan saja, May.” Sahutnya tegas.
“Tapi, Sis … ak …”
“Lupakan, kataku! Bagaimanapun kamu tidak mengenalnya lebih jauh dari itu. Lupakan saja.” Maya terkejut, sekaligus tidak senang dengan reaksi sahabatnya itu. Apa-apaan Siska? Seenaknya saja memupuskan harapan yang kini tengah terbangun perlahan tapi pasti di dalam hatinya.
“Kamu nggak berhak melarang aku, Sis. Aku sudah memikirkan soal ini matang-matang dan …”
“Oh ya? Dengar, May. Bukannya aku menolak poligami. Bukan. Terserah saja bila kamu atau siapa saja yang mampu untuk melakukannya. Tapi dalam hal ini, kita nggak bisa melihatnya dari kepentingan pribadi saja, May. Nggak bisa.”
Lantas Siska berlalu dari hadapan Maya, dengan marah. Walau juga merasa tersinggung, tidak terima atas perlakuan sahabatnya itu, Maya pun bingung atas sikap keras yang Siska tunjukkan.
Tak seperti biasanya.
Dan tidak sedikit pun tersirat dukungan baginya, padahal itulah yang paling ia harapkan saat ini.
Menjadi isteri kedua, bukan suatu hal yang pernah mampir dalam benak Maya satu kali pun.
Tapi keinginannya untuk menikah … Maya termenung lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Maya Dan Cicin Di Jarinya (Cerpen)
ChickLitJangan bicarakan lagi soal menunggu. Maya sudah menunggu terlalu lama dan kepingan hati yang berharap itu sudah seringkali cemas. Wanita yang telah lama beranjak dari usia belia itu sudah melewati kepala tiga dan masih saja sendiri. Belakangan tamp...