5 helai

149 11 1
                                    


"Laura, Wastu tadi ke sini ya?" Tiba-tiba seorang wanita berambut lurus hitam sepinggang dengan mini dress warna coklat dibalut jas semi formal berwarna senada menghampiri mejanya. Perempuan itu keluar dari ruangan bertuliskan 'Manager' di pintunya.

"Iya, Mbak Sof."

"Dia mau ngapain?" Mata sipit wanita itu makin sipit berusaha menyelidik Laura.

Laura mau tidak mau menanggalkan perkerjaannya dahulu demi menjawab pertanyaan seorang atasan yang sepertinya sedang cemburu. "Biasa, Mbak, gangguin doang dia mah," ujar Laura santai.

"Ah, masa?" katanya tidak percaya. "Kok saya dengar Wastu ngajak kamu pulang bareng?"

Oh, rupanya wanita ini telah mendengar semuanya, ia hadir hanya untuk make sure. Laura paling benci yang model begini. Maksudnya, siapa sih di kantor ini yang nggak tahu perasaannya Mbak Sofia ke Pak Wastu? Kenapa Mbak Sofia nggak ngungkapin perasaannya aja? Dari pada begini. Memang Pak Wastu yang model pecicilan, kegenitan, siapa saja diajak ngobrol. Kalau sudah begitu nanti Mbak Sofia ya seperti sekarang ini, menginterogasi korban Pak Wastu. Kan nggak nyaman jadinya.

"Tenang, Mbak, rumah saya kan beda arah. Itu cuma mau buat Mbak cemburu aja kok," sindir halus Laura.

"Ih, cemburu? Siapa juga yang cemburu. Nggak lah ya. Yaudah, nanti kamu boleh pulang cepat, Laura." Tampak wajahnya yang putih itu memerah menahan malu mendapat serangan telak dari Laura.

"Yah, tapi kerjaan saya masih banyak," ucap laura penuh penekanan. Berharap wanita yang sedang dimabuk asmara ini akan membebaskan dirinya dari belenggu pekerjaan. Setidaknya untuk hari ini.

"Lanjut besok aja," kata Mbak Sofia, kemudian dia masuk ruangannya kembali. Mungkin untuk berkaca, atau mengambil napas? Siapa yang tahu.

Ada 'yes' tersembunyi setelah Mbak Sofia kembali ke ruangannya. Permohonannya terkabul. Selain dapat pulang lebih awal, Laura juga pasti terhindar dari Pak Wastu. Buru-buru Laura bersiap membereskan tumpukan itu.

~~~

Setelah berhasil keluar kantor dengan mengendap-endap, sekarang Laura sudah ada di stasiun. Ternyata lolos dari pandangn Pak Wastu lebih sulit daripada keluar dari rumah hantu di pasar malam.

Jam menunjukkan pukul tiga sore. Laura ingin makan terlebih dahulu sebelum pulang. Perutnya sudan protes keras, tak heran karena siang ini ia tidak makan, hanya sarapan nasi kuning Marwah.

Akhirnya Laura memutuskan untuk makan terlebih dahulu di depan stasiun. Ia mampir di kedai mie ayam. Sumpah ya, mie ayam di sini enak pake banget! Laura memang jarang makan di sini, tapi ketika ada kesempatan seperti ini Laura tidak akan menyia-nyiakan mencoba makan di tempat yang lain. Mie ayam ini pasti yang jadi pilihan pelipur lapar.

Seperti yang diduga, kedai sederhana itu hampir penuh pengunjung. Padahal ini bukan jam pulang kerja.

"Bang, satu ya pakai ceker."

Abang dengan kulit coklat mengilat karena seharian di depan kompor terus-menerus, mengangguk dan menyilakan Laura untuk duduk.
Memang tempat duduk di sini modelnya yang panjang-panjang begitu, jadi tidak bisa memilih duduk yang privat. Laura memilih duduk di sebelah ibu-ibu berkerudung merah, ibu itu kelihatan kalap memakan mie ayam yang juga berwarna merah sambil sesekali menyeruput es teh manis.

"Itu sih bukan mie ayam pakai sambal, tapi sambal pakai mie ayam," ujar Laura dalam hati.

Laura menghempaskan dirinya di bangku kayu, menaruh handphone dan name tag-nya sembarang di atas meja. Ia senang mengamati para pegawai sibuk mengantar bolak-balik pesanan para pengunjung seakan tiada akhir. Sebenarnya cita-cita Laura untuk memiliki cafè kecil yang bisa selalu dipenuhi pengunjung seperti kedai ini, namun kenyataannya berkata lain.

Tak berapa lama mie ayam Laura datang. Semangkuk penuh mie dengan toping potongan dadu besar daging ayam berbumbu kecap hadir dihadapannya. Ini bukan hanya semangkuk mie ayam, tapi juga semangkuk kebahagiaan!

Mata Laura tampak berbinar melihat keseksian tiada tandingan ini, mulutnya juga mulai berair. Cepat-cepat Laura mengambil alat makan, mengelapnya dengan sepotong tisu agar terbebas dari debu-debu yang menempel.

"Misi...." Suara berat tiba-tiba datang mengganggu Laura tapi Laura tak mengambil pusing. Surga dunia ada di depannya.

"Mbak mau kerupuk?" Suara berat itu lagi-lagi terdengar.

Laura akhirnya mengangkat kepala dan mengalihkan pandangan ke sumber suara.

"Hehehe." Pria dengan suara berat itu pun memasang nyengir kuda, matanya yang tajam sedikit melayu. "Mau nggak?" tanyanya lagi.

"Boleh deh." Laura menyerah juga begitu melihat kerupuk yang bulat, montok nan putih itu.

Sang pria menyodorkan kerupuk yang diambilnya dari kaleng bertuliskan Anugerah. Sesuai dengan labelnya, memang kerupuk adalah anugerah yang menjadi pelengkap setiap makanan, Laura ingin sekali berterima kasih kepada siapapun yang menciptakan kerupuk.

"Eits!" Pria itu berkelit ketika Laura mencoba mengambil kerupuknya. "Namanya siapa, Mbak?" tanyanya sambil duduk menghadap Laura.

"Harus ya tanya nama dulu?" jawab Laura jutek.

"Harus, Mbak, biar kerupuknya tau dia dikasih ke siapa."

What? Nggak ada alasan yang lebih kriuk dari itu? Laura pun memicingkan matanya.

Pria itu pun melihat name tag Laura yang tergeletak di meja samping handphone-nya.

"Oh, Laulau!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 19, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sehelai Rambut IkalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang