2 Helai

208 16 0
                                    

Benar saja prediksi Laura, penumpang makin berjubel seiring KRL melewati stasiun. Dan kini Laura sedang mengatur detak jantungnya agar berjalan normal karena dari tadi jantung ini kurang ajar mau melompat keluar gara-gara ada pria yang luar biasa tampan duduk di sebelahnya.

Ulang sekali lagi biar greget, LUAR BIASA TAMPAN.

Seperti tidak trauma dengan Mas Cucok Meyong yang tadi, Laura kini dibuat klepek klepek oleh figur samping dan tulang rahang yang menonjol juga dengan kulit bersih kebulean Mas sebelah ini. Selain fisik yang sempurna, dia juga harum! Oh my God, nilai plus plus untuk si Mas Bule ganteng.

Laura menikmati keberadaan pria di sebelahnya, dia memanfaatkan waktu untuk menghayal jika punya pacar seganteng dan sesempurna pria ini. Angannya sudah terbang ke sana kemari tanpa terkontrol sampai kereta mengangkut lagi penumpang. Masuknya beberapa penumpang menambah sesak gerbong dan mengusik khayalannya. Malah kini perhatian Laura tertuju pada seorang perempuan dengan bibir yang menggemaskan dan rambut pendek diikat ke atas, berdiri susah payah tanpa sepatu, ia terlihat sibuk menerima telepon.

Perempuan itu berdiri tepat di depan pria tampan di sebelah Laura. Sama seperti Laura, pria itu tampak terusik dengan hadirnya perempuan ini.

Benar saja tak lama mereka berdua tampak beradu mulut karena pria di sebelah Laura tertangkap basah melihat kaki perempuan tadi yang tak memakai sepatunya. Tapi adu mulut itu tak berlangsung lama karena pria tampan tadi turun tanpa memberikan tempat duduknya pada perempuan itu dan meninggalkannya dalam kekesalan.

Entah mengapa melihat pria dan perempuan yang sempurna ini mengecilkan hati Laura. Kalau disaksikan, mereka berdua tampak cocok bersama. Mungkin jalan cerita mereka berdua bisa seperti di Film Televisi yang sering Laura tonton hari Minggu. Berawal dari pertengkaran di tempat umum lalu pria dan perempuan sempurna itu bertemu lagi di suatu tempat dan menjalin cinta, berakhir bahagia.

Ah, andai Laura juga bisa sesempurna itu....

~~~

"Kenapa itu muka dilipet? Muka apa origami?"

"kardus bekas!" ujar Laura sewot.

Kamoy, teman SMA Laura akhirnya datang setelah setengah jam Laura menunggunya di resto cepat saji ini.

"Lama banget, Moy. Hampir ngelamar jadi security di sini gue," sindir Laura.

Kamoy tertawa menyibakkan rambutnya yang lepek, "Macet, Coy. Jakarta gitu loh."

"Sok lo, pinggiran Jakarta aja."

"Ih tetep aja macet."

"Itu gue tanya kenapa muka lo dilipet begitu, ada yang nggak beres hari ini?"

Inilah mengapa Laura bisa berteman sampai sekarang dengan Kamoy. Di balik sisi jahil tingkat dewa, Kamoy selalu tahu jika ada yang tidak beres pada Laura. Bukan hanya dari raut wajah, tapi ia juga bisa merasakan walau hanya dari percakapan di chat.

"Biasalah, kalau nggak nyatok berarti sama dengan nggak beres ni hari."

Kamoy memutar matanya ke atas, "Bukan karena lo nggak nyatok trus hari ini jadi nggak beres. Lo nggak nyatok karena lo kesiangan, nah kata orang kalo orang bangun siang itu rejekinya dipatok ayam. Salahin tuh ayam, jangan catokan." Kamoy mengambil kentang goreng dari piring Laura.

"Lagian sakti banget catokan lo bisa jadi pertanda buruk atau nggaknya hari lo."

Bibir Laura sudah maju-maju mendapat ceramah dari Kamoy.

"Emang apa aja yang nggak beres?" Walau ceramah jalan terus, Kamoy tetap ingin tahu apa yang terjadi pada sahabatnya ini.

"Tadi hampir ketinggalan kereta, teruuuuus...." Laura mengingat-ingat kejadian buruk apa saja yang ia sudah lalui tadi pagi. "Oh iya! Jadi gue nyari tempat duduk di gerbong yang sepi kan karena masih di stasiun awal, terus satu gerbong itu cuma ada gue sama laki-laki gagah tapi jauh duduknya dari gue, nah gue cuek dong bebenah nyisir rambut dan lain-lain. Eh terus rambut singa gue ini nyangkut di sisir, nggak sengaja gue teriak. Terus laki-laki itu nyamperin gue."

Kamoy tampak bersemangat, karena yang diceritakan Laura kedengarannya bukan cerita yang bisa membuat jengkel. "Terus? Terus? Lo kenalan? Cakep nggak? Siapa namanya?" tanya Kamoy memborbardir Laura.

"Nggak taunya MELAMBAI, Cyiiiin!" ujar Laura diiringi tawa melihat ekspresi wajah Kamoy yang kecewa.

Kontan Kamoy melempar tisu ke wajah Laura. "Sial, melambai."

"Iya, dia nawarin gue catokan cucok meyong pula. Kesel."

"Kenapa ya cowo-cowo ganteng, gagah, rupawan pengennya sama yang serupa? Mereka udah nggak napsu apa liat yang meliuk-liuk kayak kita?" ujar Kamoy tak habis pikir.

"Deuh, meliuk lo kira ular kali ah."

"Hahahaha, ya buktinya lo yang cantik gini masih jomlo aja."

"Oke sip, lo gue traktir!" Laura langsung berinisiatif menraktir Kamoy karena kata-kata Kamoy tadi mengandung kata kunci yang sakral.

Iya, Kamoy bilang Laura cantik.

Tawa Kamoy makin melebar, ia menggelengkan kepalanya. "Beneran ini, Lau. Lo tuh cantik, lo pinter, lo mandiri tapi lo masih jomlo sampe sekarang? Pertanyaan besar buat gue."

"Ah bisa aja, makasih loh pujiannya. Tapi seandainya gue mau dikasih hadiah sama tuhan, gue lebih baik milih rejeki aja deh ketimbang pacar atau jodoh."

"Loh?" Kamoy merespon aneh. "Jodoh itu juga rejeki, Lau. Emang lo kira rejeki cuma duit doang? Rejeki bisa berbentuk apa aja misalnya sahabat yang lucu kayak gue, itu juga rejeki."

Laura tersenyum, lalu menggenggam tangan Kamoy yang tergeletak bebas di meja resto cepat saji yang sedang ramai itu. "Iya gue tau, dan gue juga bersyukur udah dapet rejeki sahabat yang lucu kayak lo," ujar Laura mengulang kata-kata Kamoy. "Tapi serius yang tadi, gue lebih butuh duit sekarang ini dari pada yang lain-lain."

"Ssst, bisa lepasin dulu nggak tangan lo?" Kamoy menunjuk tangan mereka berdua yang berpegangan dengan matanya. Laura menyadari betapa anehnya posisi mereka saat ini dan bisa memicu pendapat publik yang tidak-tidak, ia pun segera melepas genggamannya.

"Emang kenapa sih? Coba cerita, siapa tau gue bisa bantu. Yah, walau gue nggak bisa bantu banyak juga tapi gue pengen bantu lo."

Laura menggeleng.

"Nggak, Moy. Gue nggak pengen lo buang-buang uang lo. Gue cuma lagi krisis aja. Yah biasa lah, sekarang kan kakek gue udah pensiun."

Kesedihan langsung terpancar dari mata Kamoy. Ia tahu benar di keluarganya hanyalah kakek Laura yang menjadi tulang punggung. Laura tinggal bersama Mama, Nenek dan Kakeknya. Dari kecil Laura tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah karena Mamanya bercerai. Ya, hadirnya pihak ketiga mengakibatkan pecahnya keluarga itu. Mama dan Nenek Laura adalah ibu rumah tangga biasa, jadi kalau Kakek Laura pensiun, berarti sebagian besar beban harus berpindah ke punggung Laura.

"Kita buat usaha sampingan yuk?"

Sehelai Rambut IkalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang