4 Helai

143 12 1
                                    

"Neng, bangun. Kerja nggak?"

Suara Nenek Anne dari luar kamar membangunkan Laura dari mimpi indah. Ya, hanya di mimpi lah Laura bisa merasakan indahnya dunia. Namun, sekarang ia telah bangun dan kembali menghadapi dunia yang kejam.

Rambut singa Laura mengembang dengan bebasnya, sampai Laura kaget waktu ia berjalan melewati cermin.

"Gila, rambut gueeee!" pekiknya.

Dilihat jam sudah menunjukkan pukul lima, ia bergegas mandi untuk bersiap ke kantor.

"Sarapan dulu nggak?" tanya Nenek Anne pada Laura yang ada di kamar mandi.

"Nggak, Nek. Sabtu kemarin aku pesen nasi kuning sama Marwah buat sarapan di kantor," teriak Laura menjawab pertanyaan Nenek Anne.

"Ya udah kalau gitu." Kata Nenek dengan rambut pendek warna putih karena uban mengambil alih rambut hitamnya, ia terlihat masih cantik dan enerjik di usia senja ini. Kakek Yopie memang pintar memilih wanita, mereka memang terlihat serasi dari jaman muda hingga sekarang.

Angin dingin menyeruak ketika Laura keluar dari kamar mandi, membuat bulu roma berdiri. Masih banyak ritual yang harus dijalani Laura sebelum ia siap berangkat kerja. Habis mandi, Laura berganti baju, memakai pelembab di wajahnya sambil ia menyalakan catokan cucok meyongnya. Setelah catokan cucok meyongnya panas, ia mulai ritual paling wajib agar rambut ikal singanya dapat jinak.

Setelah rambutnya sudah jinak, baru ia memakai make up dan memakai parfum.

Voila! Laura siap berangkat kerja.

~~~

"Assalamualaikum." Seorang pria berkulit coklat dengan hidung mancung dan badan kurus jangkung berdiri di depan pintu rumah Laura.

"Neng, itu ada Bima di luar!" Teriak Kakek Yopie dari lantai dua. Bima, anak bontot dari Kakek Yopie dan Nenek Anne datang

Nenek Anne tergopoh berjalan membuka pintu.

"Assalamualaikum, Mah."

"Waalaikumsalam, nggak kerja?"

Nenek Anne bertanya sebelum Bima melangkahkan kakinya masuk.

"Lagi meliburkan diri," katanya tak acuh.

Nenek Anne geleng-geleng kepala, tak percaya anaknya yang sudah berkepala tiga ini masih saja berkelakuan seenaknya seperti dia waktu remaja.

Kalau dibilang lelah, Nenek Anne ini lelah membesarkan Bima. Mungkin karena dia anak laki-laki dan paling bontot, kerjaannya hura-hura saja. Sampai akhirnya Bima menikah, dia sama sekali tidak ada pekerjaan tetap. Semua biaya menikah ditanggung oleh Kakek Yopie dan dibantu dari keluarga mempelai wanita. Walaupun sekarang telah berkeluarga, Bima masih saja seperti itu. Menganggap hidup mudah dan selalu bergantung pada orang tuanya.

"Sudah makan belum?" tanya Nenek Anne. Bagaimanapun hopeless-nya Nenek Anne pada anaknya, ia tetap menyayangi anak-anaknya layaknya ibu yang bijak.

"Nggak lapar," kata Bima sambil menjatuhkan diri di sofa empuk ruang keluarga. "Papah mana?"

"Tuh, lagi di atas."

"Mah, nggak mau beli mobil?" tanya Bima tiba-tiba.

Wajah Nenek Anne yang sudah penuh kerutan menjadi tambah berkerut mendengar pertanyaan dari Bima. Perempuan itu merasa anaknya sedang tidak sadar saat ini. Terbukti dari pertanyaan konyol yang terlontar.

"Kamu nih ngaco," jawab Nenek Anne singkat.

Ya, Bima memang ngaco. Kenapa? Karena roda kehidupan mereka sedang dibawah. Kalau pun memang ada uang untuk membeli mobil yang tak seberapa butuh itu, lebih baik uangnya dipakai untuk modal usaha.

"Kok ngaco sih? Bima serius. Ini temen Bima ada yang lagi jual mobil, Avanza. Murah banget, Mah," katanya berapi-api bak sales yang sedang membujuk calon pembeli.

Nenek Anne bangkit dari duduknya. "Nggak ada duit," jawab Nenek Anne sambil ngeloyor.

"Mah! Mah!"

~~~

Dari tadi Laura masih berkutat dengan tumpukan kertas di mejanya.

"Tambah ya, Neng" ucap seorang ibu-ibu dengan riasan wajah yang medok.

"Makasih, Buuu" timpal Laura. Ada sedikit nada kesal di situ. Bagaimana tidak kesal, yang ada di mejanya saja belum selesai, ditambah lagi. Okay memang itu kerjaan Laura, tapi bisa tidak sih tidak ditumpuk semua di mejanya?

Semakin berantakan, semakin pusing Laura mengerjakannya.

"Lauuuuuuraaaaaa...." Suara sumbang yang Laura kenal mulai datang mengganggu.

"Apa sih, Pak Wastu, berisik deh!" jawab Laura. Ia tak menghiraukan sama sekali datangnya seorang pria tinggi putih menyembul dari bilik mejanya.


"Makan siang kali, Laura, jangan kerja aja," katanya.

"Nggak, Pak, Laura puasa. Bentar lagi Laura juga puasa ngomong, jangan ajak ngomong Laura, ya!"

Wastu tertawa, ia selalu senang menggoda Laura. Sejujurnya Wastu juga tertarik dengan Laura. "Udah dibilangin jangan panggil pak, dong. Kan kita cuma beda dua tahun."

Laura tak menjawab, ia hanya menggerakkan tangannya di depan bibir pertanda ia tak mau membuka mulutnya alias puasa ngomong.

"Yah, dicuekin deh sama Laura," kata Wastu masih berdiri di sana. "Laura, hari ini abis keluar uang makan nih, nggak mau apa ditraktir sama aku?" Wastu masih saja menggoda Laura.

Lagi-lagi Laura hanya menggerakkan tangannya.

"Hhh...." Napas berat terhembus dari hidung besar milik Wastu. Kalau sudan begini, ia tahu saatnya menyerah. "Ya udah deh, tapi nanti pulang bareng, ya! Nggak boleh nolak! Bye bye, Laura."

Memang Wastu ini tidak kenal menyerah. Laura sudah menjaga jarak sebenarnya. Ia selalu menolak semua ajakan Wastu. Selain ia tidak nyaman, Laura juga tahu ada orang lain yang menyukai Wastu di perusahaan ini.

Yang jelas, hari ini laura harus pulang lebih cepat atau pulang lebih lama supaya ia tidak jadi diantar oleh Wastu. Sungguh menyebalkan, memang.

Sehelai Rambut IkalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang