Tiga

529 82 5
                                    

¦¦Jumat, 21.08¦¦

Kyla's POV

"Kita apakan mayat ini?" tanya ayah.

"Bakar saja seperti korban yang pertama," jawab ibu.

"Jika dibakar, tulangnya masih dapat ditemukan," kata ayah.

"Korban pertama kita tidak ditemukan, kan?" Ibu menaikkan salah satu alisnya.

"Itu karena kasus pertama. Kali ini kan sudah yang keenam. Polisi pasti akan lebih waspada," ucap ayah.

"Bagaimana jika kita masukkan saja ke sumur?" usul ibu.

"Bagaimana dengan air sumurnya? Kau mau mandi dengan air bekas mayat?" tanya ayah.

Ibu mengacak rambutnya. "Kyla, apa kau ada ide?"

Sinting.

"Buang saja ke sungai. Air akan menghilangkan sidik jarinya," jawabku.

"Sudah ada tiga korban yang dibuang ke sungai. Jika ditambah satu lagi, polisi dan warga di sana akan curiga," ucap ayah.

"Buang seperti ayah dan ibu membuang korban-korban sebelumnya."

"Carilah cara lain. Polisi pasti akan menemukannya jika berada di tempat yang sama semua."

"Ah, terserahlah!" ucapku kesal.

"Beraninya kau membentak ayahmu!" teriak ayah. "Dasar anak tidak berguna!"

Padahal dia yang memintaku saran. Tch.

"Kalau begitu, taruh saja di rumah kita! Tunggu sampai polisi datang dan menemukan mayat para korban itu!" ucapku keras.

PLAK!!!

Aku langsung memegangi pipiku yang terkena tamparan ayah.

Sungguh, tidak ada yang lebih sakit dari ini.

¦¦Sabtu, 08.10¦¦

"Berita terkini. Seorang gadis menghilang sejak kemarin. Sepertinya gadis ini menjadi korban baru dari kasus pembunuhan berantai akhir-akhir ini. Pada akun sosial medianya juga terakhir terlihat tepat pukul delapan malam."

Aku langsung mematikan televisi ketika mendapat berita itu.

Aku tidak tahu harus merasa senang apa sedih. Harusnya aku merasa aman karena orang tuaku adalah pembunuh. Harusnya aku merasa bangga karena orang tuaku berhasil menyembunyikan para korban tanpa ketahuan. Tetapi, rasa manusiawiku lebih kuat. Tidak seharusnya hidup manusia dilenyapkan segampang itu.

"Ngapain duduk di depan TV yang mati?" tanya ayah.

"Beritanya sudah keluar. Aku malas mendengarnya," jawabku.

"Benarkah? Berarti ayah dan ibu sedang dibicarakan di TV. Kita terkenal, Nak," kata ayah.

Ck. Gila.

"Omong-omong, Yah. Di mana kalian menyembunyikan korban kali ini?" tanyaku.

"Kami tidak menyembunyikannya. Kami memutilasinya lalu membuangnya di tempat pembuangan," jawab ayah.

"Kalian ... tidak membuat kesalahan, kan?" tanyaku.

"Tidak. Memangnya kenapa?" tanya ayah.

"Aku hanya merasa ada yang aneh," jawabku.

Kalau mau sombong, aku bisa bilang jika otakku sangatlah encer. Aku bisa berpikir dengan cepat sesuai logika. Tetapi, hal ini tidak membuat diriku pintar di pelajaran.

Apa aku terdengar sombong? Tetapi, pilihanku memang tidak pernah salah. Semua tindakan yang aku lakukan, sudah aku rencanakan terlebih dahulu.

Aku orangnya sangat sering curiga. Kau mau tahu seberapa parahnya kecurigaanku? Ke mana arah perjalanan semut saja aku sudah  curiga.

Kelemahanku? Orang tua. Aku tidak berani dengan orang tuaku. Aku bahkan menjadikan Ryan sebagai pelampiasan. Hanya karena aku tidak berani mengumpat pada orang tuaku, aku menyipratkan segalanya kepada lelaki itu.

"Aneh?" tanya ayah. "Apa maksudmu?"

"Biasanya, berita tentang kasus ini ditayangkan sekitar pukul tujuh pagi. Tetapi, hari ini ditayangkan pukul delapan," ucapku.

"Sama-sama berita, kan? Apa masalahnya?"

"Aku rasa, jenis beritanya berbeda," kataku. "Dan ... kurasa ayah dan ibu lupa membersihkan buktinya."

======

13-02-2018

The BillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang