Sembilan

481 69 15
                                    

¦¦Jumat, 15.15¦¦

Kyla's POV

Rencananya, aku ingin kabur lagi dari rumah hari ini. Sekarang, aku sedang berada di kursi kesayanganku yang kemarin.

Aku tidak peduli apapun lagi. Orang tuaku, pekerjaan orang tuaku, semua harta yang kupunya, bahkan aku tidak peduli pada diriku sendiri. Lukanya sudah terlalu banyak hingga aku tidak bisa merasakan sakit lagi.

Luka bekas cambukan ayah masih terasa, luka psikis juga masih berbekas. Harta? Aku hanya bisa tersenyum miris. Semua harta yang aku miliki itu diperoleh dari organ dalam manusia.

"Belom pulang?" tanya seseorang yang sangat aku kenali suaranya.

"Udah tau belom, ngapain nanya?" balasku ngegas.

Ryan ikut duduk di sebelahku. "Gue duduk di sini ya."

"Udah duduk malah baru izin. Lulus TK gak sih?"

"Astaga." Ryan menepuk dahinya. "Lulus lah."

"Ngapain di sini? Ini wilayah gue," ucapku tanpa melihat wajahnya.

"Gak usah sok jadi preman," kata Ryan. "Lo kenapa belom pulang?"

Aku mencoba bersikap biasa saja. "Gue benci rumah gue."

"Ooh... pasti disuruh-suruh melulu ya?"

"Iya... kali?" Aku berusaha tidak membawa masalah keluargaku.

"Tenang, gue juga selalu disuruh-suruh. Nilai jelek dikit, dikurung."

Aku lebih menginginkan hidup seperti itu, Ryan. Aku lebih senang disiksa karena mendapat nilai yang rendah. Aku lebih senang disuruh belajar daripada melakukan pekerjaan kotor ini.

"Orang yang menjalani kehidupan biasa kayak lu...  gak tau apa-apa," ucapku datar.

"Ngomong pake nada napa sih? Serem tau, kayak ngomong sama robot," jawab Ryan yang sebenarnya ingin melawak.

"Ya udah anggep aja gue robot. Susah amat," jawabku.

"Lu gak dicariin orang tua lu?"

Tawaku terlepas meski tidak keras. "Orang tua? Mereka aja gak nyariin gue."

"Gue tebak, lo pasti anak tunggal," ucapnya dengan sangat random.

"Hm."

"Gue juga anak tunggal. Tos dong." Ryan membuka telapak tangannya ke arahku.

"Gak usah sok deket. Kita bahkan gak pernah ngobrol," jawabku.

"Kalo lu ada masalah, selama itu gak terlalu berat, gue bisa bantu kok," ucap Ryan.

Orang ini... aku bicara apa, dia bicara yang lain. Kita seperti sedang dalam monolog masing-masing. Dan aku mengharapkannya untuk membantuku? God.

"Masalah gue gak ada yang ringan. Puas?"

"Galak amat, sih."

Selama beberapa jam, aku dan Ryan lumayan berbicara banyak hal. Mulai dari membicarakan teman sekelas, membicarakan pelajaran, guru, hasil ulangan, dan lain-lain.

Anehnya lagi, Ryan bilang kalo namaku sama seperti nama idolanya一Kyla一yang katanya personil girlgroup Korea yang namanya Pristin. Aku tidak menyangka orang seperti dia menyukai K-Pop. Dasar fanboy.

¦¦18.00¦¦

"Eh udah jam segini? Cepet banget," ucap Ryan yang melihat ke jam tangannya.

"Ya iyalah. Lo bawel, ngomong terus, lama lagi," jawabku.

"Mau minum? Gue beliin."

"Gak nolak," jawabku.

"Ya udah ayo beli bareng. Bawa tas sekalian."

"Ngapain bawa tas? Warung deket sini banyak kok. Lagian lu bisa beli sendiri, kan?"

"Gak bisa di warung. Lidah sama perut gue mahal," jawab Ryan.

Aku memutar kedua bola mataku lalu memakai tas. "Ya udah buruan."

Ryan pun memimpin perjalanan kita berdua. Padahal aku sudah melihat beberapa minimarket di pinggir jalan. Tetapi, Ryan tetap berjalan melewatinya. Aku rasa dia sengaja. Memangnya, seberapa mahal tempatnya?

Setelah sampai di depan minimarket dekat apartemen, Ryan baru menghentikan langkahnya.

"Ini nih tempat mahalnya," ucapnya.

"Minimarket ini sih dari tadi juga ada banyak di jalanan. Emangnya apa bedanya?" jawabku kesal.

"Bedanya, lebih dekat dari rumah," jawabnya lalu masuk  ke minimarket itu. Aku hanya membuntutinya.

Saat aku masuk, aku melihat pegawai yang setiap hari aku lihat. Sepertinya jadwalnya memang shift malam. Ia tersenyum saat melihat kedatanganku. Aku membalas senyumnya lalu mengikuti Ryan.

"Mau beli minum apaan sih? Kok lama banget," ocehku.

"Lu pilih deh minuman sesuka lu," jawabnya sambil melihat-lihat isi lemari es.

Aku mengambil teh kemasan botol yang terdekat dari penglihatanku. Sebenarnya, aku tidak suka minum minuman semacam ini. Tidak sehat.

Beberapa detik kemudian, Ryan mengambil kopi kemasan kaleng lalu melihat ke arah minumanku sebentar. Setelah itu, Ryan berjalan ke kasir. Aku pun mengikuti langkahnya lagi.

Melihat kaleng kopi yang ia pegang, mengingatkanku dengan kaleng bir. Aku benar-benar trauma dengan apapun yang berupa kaleng. Aku tidak bisa membayangkan rasa sakitnya saat terkena tutup kaleng yang dibuka dengan alatnya.

"Sebelas ribu ya," ucap pegawai itu.

Ryan mengeluarkan uang lalu menerima struknya. Ia benar-benar membelikanku minuman. Padahal, aku tidak terlalu dekat dengannya.

"Kamu bawa pacar hari ini?" tanya pegawai itu kepadaku. Astaga, yang benar saja.

"Nggak, Kak," jawabku singkat.

Pegawai itu tersenyum. "Tumben kemarin gak dateng."

"Iya, lagi gak ada kebutuhan." Aku hendak membuka pintu. Aku ingin segera kabur sebelum ditanya macam-macam olehnya.

Ryan hanya menatap aku dan kasir itu bergantian dengan bingung.

"Datang lagi ya," ucap perempuan itu pada akhirnya.

Setelah keluar dari minimarket, aku ingin kembali ke sekolah. Tetapi, Ryan menarik tasku.

"Lebih deket ke rumah kan daripada ke sekolah? Balik gih ke rumah," ucap Ryan.

Jadi ini tujuan dia? Agar aku pulang ke rumah? Tch. Dasar bocah.

"Makasih minumannya," ucapku malas lalu berjalan ke arah sekolah.

Ryan dengan cepat mengejarku lalu menarik tanganku. "Pulang sana."

"Apa untungnya kalo gue nurutin kemauan lo?" tanyaku.

"Lu boleh minta bantuan apapun ke gue. Apapun," ucap Ryan yakin.

Aku terkejut bukan main. "Emangnya lo bisa apa? Udah gue bilang masalah gue itu--"

"Gue tahu saat ngeliat matalu. Mata yang butuh pertolongan. Selama ini, lu selalu ngasih gue tanda tapi gue gak ngerti artinya. Tapi, gue janji, gue bakal bantu apapun masalahlu."

========

13-06-2018

Haii maaf slow update🙇

The BillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang