Enam

490 78 4
                                    

¦¦21.23¦¦

Kyla's POV

"ANAK KURANG AJAR! DIKASIH HATI, MINTA JANTUNG!" teriak ayah ketika sudah tidak ada tanda-tanda kehadiran polisi.

"Kita selesaikan nanti." Ibu menepuk pundak ayah. "Ayah dan ibu akan pergi ke rumah lama kita sebentar untuk menyembunyikan mayatnya. Awas kalo kau membuat masalah lagi!"

"Saat kami pulang nanti, jangan harap kau bisa tidur malam ini," tambah ayah.

Mereka berdua pun pergi dengan membawa kardus besar yang berisi jasad.

Sejujurnya, aku bingung. Kenapa mereka tidak ketahuan saat membawa kardus itu? Orang lain pasti akan bertemu dengan mereka di dalam lift. Dan terlebih lagi, seharusnya kardus itu berbau busuk.

Bayangkan saja, seorang manusia yang sudah disiksa, meninggal, lalu organ dalamnya diambil. Membayangkannya saja sudah jijik.

Tetapi, saat mendengar apa yang dikatakan ayah dan ibu tadi, aku sudah tidak terlalu bingung. Mereka hebat berbohong. Pantas saja mereka selalu berhasil memancing korban.

Sudahlah, lebih baik aku tidak memikirkan masalah ini. Setelah ayah dan ibu pulang, mungkin aku akan menjadi daging rebus.

***

¦¦21.38¦¦

"Kyla, kemari, Nak," panggil ibu.

Aku sedang bersembunyi di dalam lemari. Aku sudah mengunci pintu kamarku. Aku tidak mau mati sekarang.

Ayah dan ibu sudah pernah bilang agar aku tidak melaporkannya pada polisi. Saat aku kecil, aku memang takut untuk melaporkan ke polisi. Selain karena aku takut menjadi sebatang kara, aku juga belum terlalu mengerti tentang pembunuhan. Jika saja aku menelan semuanya saat masih kecil, mungkin aku akan menjadi rekan kerja orang tuaku.

"Sepertinya dia ada di dalam kamarnya," ucap ibu.

Aku mendengar suara kenop pintu kamarku dicoba untuk dibuka.

"Dikunci. Nantangin ya, dia," balas ayah.

Yang aku dengar selanjutnya adalah suara hantaman keras. Menurut suaranya, aku rasa ayah menghancurkan pintu menggunakan kapak.

"Dia tidak ada di kamar," ucap ibu. "Apa mungkin dia kabur?"

"Tidak mungkin. Jika ia kabur, untuk apa kamarnya dikunci?" ucap ayah.

Sial. Aku tidak memikirkan hal itu. Aku tidak sepintar mereka. Seharusnya, aku mengunci pintu kamarku untuk menjebak mereka dan kabur dari tempat ini.

"Benar juga. Berarti dia ada di kamar ini?"

"Tentu saja," jawab ayah yakin. "Kemungkinan besar, ia bersembunyi di lemari itu."

"Apa yang harus kita buang darinya? Tidak mungkin kita memotong kaki atau tangannya, kan?" Ibu berhenti sebentar lalu menghela napas. "Aku akan malu sendiri nantinya memiliki anak cacat."

Kau pikir aku tidak malu memiliki ibu seorang pembunuh sepertimu?

"Lalu... hm... lidah?"

Urat waras mereka sudah putus. Apa aku harus menelpon polisi lagi?

Aku menyalakan ponselku, hendak menelpon orang lain. Sayangnya, aku tidak memiliki kontak siapapun kecuali ayah dan ibu.

Tanganku bergetar. Aku tidak bisa menekan nomor dengan benar. Lagipula, polisi tidak akan melayani panggilan dariku karena permintaan ayah dan ibu.

Sungguh, aku sangat takut sekarang. Keringat dingin mulai membasahi keningku. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Perasaanku terlalu bercampur aduk. Badanku sangat kaku untuk digerakkan. Aku bahkan kesusahan saat mengambil napas.

Baiklah... aku akan melakukan tes psikopat dadakan. Mereka normal jika membuka pintu lemarinya. Mereka psikopat jika tidak membuka pintu lemarinya.

1...

2...

3...

Oke. Mereka psikopat.

Aku pernah membaca, di mana seorang psikopat lebih suka menyiksa daripada langsung membunuh. Jika targetnya ada di dalam lemari, seorang psikopat akan menunggu targetnya itu sampai keluar dari lemari—meski mereka tahu jika targetnya ada di dalam lemari.

Dan sekarang, akulah target seorang psikopat itu—salah—dua orang psikopat.

Jika aku keluar sekarang, mereka tidak segan untuk mencoba membunuhku. Jika aku tetap di dalam, sampai kapan aku harus di dalam? Nafsu membunuh mereka lebih tinggi daripada kebosanan untuk menunggu.

...

Mungkin, ini adalah pilihan terbaik.

"Ayah, ibu, aku minta maaf," ucapku.

"Untuk apa kita memaafkan anak durhaka sepertimu?!" bentak ayah.

Anak durhaka? Aku justru ingin menghentikan kalian!

Jika menurut kalian hidup adalah tentang membunuh, mengapa kalian tidak terbunuh saja untuk mengetahui arti kehidupan?!

"Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Aku tidak akan melaporkan kepada polisi ataupun kepada temanku!"

"Tch. Teman? Orang sepertimu memiliki teman?" tanya ayah lalu tertawa.

Iya, kau benar, aku tidak memiliki teman.

"Ibu tidak menyangka, Kyla. Ibu membesarkanmu dari kecil hingga saat ini. Tetapi, kamu mengkhianati ibu. Ibu sangat kecewa," kata ibu.

Aku menggertakkan gigiku. Ibu sungguh lebih menjijikkan daripada ayah.

"Maafkan aku, Ibu. Aku tidak akan mengulanginya, aku bersungguh," jawabku.

"Kyla, kau berjanji tidak akan mengulanginya?" tanya ibu.

"Iya, aku janji," ucapku lalu membuka pintu lemari.

"Ayah, Kyla sudah berjanji," ucap ibu.

"Memangnya siapa yang peduli?" Ayah menatap ibu kemudian menatapku. "Berdirilah di sini, ayah akan mengambil cambuk."

***

¦¦23.44¦¦

Dan yang benar saja. Aku sama sekali tidak bisa tertidur dari tadi. Luka bekas cambukan ayah terus terasa sampai sekarang. Badanku rasanya nyeri. Seharusnya aku bersyukur karena masih bisa bicara sampai sekarang.

Tiba-tiba, aku teringat sesuatu.

Petugas minimarket yang berisik itu dan orang bernama Ryan mungkin bisa membantuku keluar dari masalah ini.

=====

23-03-2018

The BillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang