Bagian 1

20.7K 1.9K 103
                                    

Segala sesuatunya selalu terencana dengan baik dan penuh perhitungan. Hidup dengan hanya menerima aturan sudah dijalani Park Jimin sejak kecil dan Jimin tidak pernah protes atas semua aturan yang sudah ayahnya berikan untuknya.

Jimin tumbuh dibawah arahan Ayah-nya. Jimin harus begini, Jimin harus bisa seperti ini, Jimin harus bersekolah disini, Jimin harus kuliah disini, Jimin harus bertunangan dengan gadis yang ditunjuk oleh ayahnya, Jimin harus... dan banyak 'harus' yang Jimin harus patuhi. Hidupnya monoton dan membosankan.

.

.

.

And then I met You

.

.

.

"Tuan, hari ini sudah ada janji bertemu dengan nona Risu untuk makan siang bersama" Sekertasris Jimin mengingatkan kembali.

"Oh, ya" jawab Jimin sekenanya.

"Tuan, anda tidak apa?"

"Memangnya ada apa?" Jimin tersenyum pada sekertarisnya.

"Setau ku, orang yang baru saja bertunangan harusnya bahagia tuan"

"Haruskah?" Jimin bertanya, membuat bingung sekertarisnya.

"Oh, dan nanti sore tuan harus bertemu tuan Min untuk membahas kontrak kerja baru dengan perusahaannya. Sebenarnya tuan besar sudah lama meloby tuan Min, tapi baru semalam dapat tanggapan, tuan" jelas sekertarisnya.

"Harus lagi ya?" Jimin terkekeh lemah. Kata 'harus' sudah berubah makna bak kematian yang selalu mengikuti Jimin kemana pun dia pergi.

"Aku tidak memaksa anda tuan, tapi tuan besar. Jangan membuatku merasa bersalah, oke?" Luhan- sekertaris Jimin memutar matanya.

Setahun sudah Jimin menggantikan ayah nya untuk meneruskan perusahaan, sudah setahun juga Luhan berada disekeliling Jimin bak udara. Luhan jelas sudah tau kalau Jimin tertekan, tanpa harus kuliah psikolog juga sudah terlihat jelas, Park Jimin hidup dalam tuntutan.

"Maafkan aku" Jimin menegakkan tubuhnya, meregangkan ototnya yang selalu kaku.

"Baiklah, sampai bertemu nanti sore tuan. Saya akan ke kantor Min corp lebih dahulu untuk memastikan jadwal pertemuan, saya akan menunggu anda disana" Luhan undur diri.

Jimin terdiam setelah pintu ruang kerjanya tertutup dari luar. Matanya memandang tajam pada ukiran namanya yang terletak diatas meja kerja mewahnya. Miris. Cuma itu yang Jimin rasa.

Selama ini Jimin merasa tidak pernah 'hidup'. Seluruh waktunya hanya dihabiskan untuk memenuhi keinginan Ayahnya dan Jimin hanya menurut, tapi kali ini Jimin merasa sedikit ingin memberontak.

Beratus kali Jimin berpikir soal pertunangannya dan Risu yang baru berjalan dua minggu. Jujur saja, Jimin tidak memiliki perasaan apapun pada gadis keturunan Jepang itu hingga ingin membawa gadis itu ke jenjang yang lebih serius dari suatu hubungan. Sesuatu dalam diri Jimin ingin menentang, tapi Jimin tau dia tidak akan pernah bisa.

"Bisakah pernikahan terjadi tanpa cinta? Bisakah pernikahan terjadi hanya karena rasa hormat?" Jimin berguman sambil memandang cincin emas putih yang melingkar dijari manisnya. Sekali lagi merasa miris dengan hidupnya.

.

.

.

"Jim, kau melamun" Risu memegang tangan Jimin yang terletak diatas meja. Mengelus tangan Jimin dengan senyum hangat dibibirnya.

"Oh, maaf" Jimin balas tersenyum. Kemudian mengalihkan pandangannya keseluruh penjuru restoran.

"Tolong tinggalkan masalah kantormu sebentaaarr saja. Kita sedang berkencan" Risu merajuk.

and then I met YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang