Feedback 01

39 3 23
                                    


DOR!
"Aaaaaaaaaaa"

Apaan ini?! Ibuu!

"Diam di tempat semua!"perintah pak guru magang
Kamipun langsung terpaku ditempat dan melihat teman sekelas kami, Alfina tewas ditempat dengan kepala yang berlubang.

Ada anak yg menangis ketakutan ada yg pingsan dan semua terkejut termasuk aku. Bagaimana tidak terkejut, dengan pengawas TO yang memegang Handgun dan telah membunuh teman sekelas kami.

Kutatap orang itu. Orang asing itu, yg dengan seenak jidatnya membunuh temanku dengan tatapan marah bertanya 'Kenapa'
Tapi org itu menatap kembali aku dg dingin dan berkata

"Sudah berakhir!
Kalian kami Sandera! Jika kalian ingin teriak, teriaklah sampai tenggorokanmu keluar" diakhir kalimatnya ia tersenyum miring, tampan tp sadis.

"Tapi Pak! kasihan teman kami yg kau bunuh. Padahal dia tak berdosa" Kata Fachri dg tatapan dan nada yg dingin.

Saat aku menghampiri Alfina yg sudah terbujur kaku dn memperlakukan ia seperti seharusnya.

"Kenapa kau lakukan pada kami dan GURU-GURU kami pak?!"lanjutnya masih dg nada yang dingin

Beraninya dia disaat seperti ini menantang Bapak itu. Tunggu guru-guru?!

"Fachri ngomong apa kamu? guru-guru kenapa ri?"
"Tadi pas aku telat, aku lewat kantor dn aku tak mendengar apapun, sunyi. Dan selambunya pun ditutup. Akupun merasa ada yg aneh tp krn keburu TO aku jalan terus ke kelas."
"Trus apa yg terjadi ri?" Sahut Ainin dg wajah yg cemas jg
"Mungkin Bapak Guru Magang tau" kata Fachri sambil mengalihkan pandanganny ke Bapak itu

"Kami membunuh mereka."

Dia.., mengatakan itu dg mudahnya dan dingin. Tapi aku melihat kekosongan disana di matanya.

BRAKK!
"Dasar Bajingan!!"
 DOR!!!
"Aaaaaaaaa!!"

Fachri mencoba berdiri dan sekali lagi timah panas itu keluar dr rumahnya dn menggores perut kiri si pembuat masalah bagi pemegangnya.

"Fachriiiiii" seruku dg mata berkaca-kaca. Dan langsung menyambar ke arah Fachri the one n only my boybestfriend.

"Ri ngapain kamu?!" tanyaku sambil menutup luka gores pelurunya dg tangan
"Heuh. Sudah seharusnya" berani banget sih gatau apa bahaya taukk.
"Nin ambilin botol minumku nin!"
"Ngapain se? udah biarin mad!"
"Diem kamu!!!"

Setelah kututup lukanya, ku dudukkan ia di lantai dan menyandar di tembok. Dan membuka baju seragamnya yg penuh darah. Terdengar dia mengerang menahan sakit.
"Tahan ri. Km kuat!"
kubersihkan lukanya dengan air yg kubawa,
"Nin ambilin obat-obatan ku!"
"nih ma."
Ku tetesi kasa steril dengan obat merah dan menempelkannya di luka si bodoh ini. Baru lukanya kubalut dengan kasa gulung, melingkari perutnya yang sicpack ini. Habis 1 gulungan,

"Nin pinjemin gunting!"
"Eh ngapain pinjem aku bawa!"
"Ok sip!. Mana"
"Ntar. Nih"

kugunting bagian ujung jasa gulungnya agak panjang, dan kusatukan kedua ujungnya lalu kuikat.

"Dua ikatan ini harus bersatu untuk menutup luka dan membantu menyembuhkannya, seperti persahabatan. Kita harus bersatu untuk menyelesaikan masalah."

Fachri menatapku dg tatapan yg tak bisa kujelaskan.

"Apaan?"
"Ide bagus."

Ucapnya sambil tersenyum dan itu malah membuatku bingung. Dan kami bertatapan lama seakan punya kekuatan telepati masing masing

"Jangan bilang.."
"Sst" telunjuknya di mulutnya mengisyaratkan aku harus diam dan tak boleh bicara lagi. Dengan tatapan antusias

"Kalian bicarain apa sih?! Aku nggak ngerti deh" tanya Aininyg ada ditengah kami berdua

Percakapan mereka msih berlanjut. Dan Ijul, Farhan, dan Sakya menanyakan keadaan Fachri.

Bisakah kami yg msih anak SMP ini melakukan itu?. Bahkan disini banyak yang msih menangis dn menyebut orangtuanya.

"Sudah selesai ngobrolnya?"

Tanya Bapak Magang membungkam kami semua. Sunyi.

"Kami adalah kelompok yg menginginkan reformasi. Kami ingin keadilan. Kami tak ingin kaum minoritas menjajah anak anak muda kami. Kami tak ingin masa depan negri ini bobrok karna dipimpin kaum minoritas. Kami melakukan ini semata-mata hanya untuk memperbaiki negri ini."

"Memperbaiki katamu?! Omong kosong!"

-Bersambung-

Thanks for reading💙

FeedbackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang