Empat : Nostalgia

40 1 0
                                    

Panggilan ponselnya berhenti. Ia menatap layar benda persegi panjang di tangannya itu sesaat. Lalu meletakkan di atas sebuah tumpukan berkas yang tidak terlalu tinggi. Sejak kepindahannya dari Malang ke kota ini, ia sama sekali tidak menyangka akan kembali dipertemukan dengan lelaki bernama Fauzan yang baru saja mengobrol via telpon. 

Fauzan dan Argha merupakan tetangga di komplek mereka tinggal. Rumah keduanya saling berseberangan. Saat itu Argha baru pindah dari Malang beserta keluarganya karena ayah Argha yang seorang Peneliti dibidang pertanian dipindah tugaskan oleh atasannya ke Bandung. Kota Kembang itu menjadi pilihan tempat tugas ayahnya dikarenakan permintaan sang istri yang merupakan wanita berdarah Sunda. 

Sebelum keluarganya hijrah ke Bandung, saat itu Argha terlebih dahulu menetap disana. Karena memang ia kuliah di salah satu kampus kenamaan di Bandung. Tepatnya baru satu tahun ia menjadi anak kost di dekat kampusnya itu. 

Hari itu adalah pertemuan pertama mereka. Perbedaan usia antara Argha dan Fauzan hanya berjarak 2 tahun saja. Argha yang lebih tua dibanding Fauzan, saat itu baru memasuki semester 2 kuliahnya. Sedangkan Fauzan baru lulus SMA. 

Yang menjadikan keduanya akrab bermula ketika orang tua Fauzan yang begitu ramah menyambut kedatangan tetangga baru mereka. Merasa disambut dengan hangat, orang tua Argha pun membalas kebaikan mereka dengan mengundangnya diacara syukuran rumah baru. Kehangatan terjadi, dan semakin erat setiap harinya. 

Saling melakukan kunjungan ke masing-masing rumah, membuat dua keluarga ini semakin akrab. Hubungan dua keluarga ini menjadi lebih dari sekedar tetangga satu komplek, melainkan seperti saudara yang saling mengeratkan silaturahmi. Begitu pula dengan anak-anak mereka. 

Argha memiliki seorang adik perempuan yang baru saja lulus SD. Gadis itu bernama Zulfa. Ia seorang yang paling sering meramaikan keluarga Fauzan saat itu. Gadis itu langsung akrab dengan ibunda Fauzan yang memang ramah. Baginya, melihat Zulfa seperti melihat cucunya yang saat itu tinggal di Bogor. Karena tingkahnya yang polos dan periang selalu menjadi bahan ledekan Fauzan. 

Rumah Fauzan saat itu hanya ditinggali oleh ayah, ibu dan tentunya Fauzan sendiri. Fauzan merupakan anak ketiga dengan satu orang kakak perempuan dan satu orang kakak laki-laki yang keduanya sudah berkeluarga. Kakak perempuannya menetap di Bogor mengikuti sang suami. Kakak lelakinya menetap di daerah Tangerang, karena tempatnya bekerja sedari masih lajang disana. 

Sejak kedatangan keluarga Argha, kehidupan Fauzan seperti memiliki warna baru. Dengan kepolosan dan ceria yang dibawa Zulfa, aura kebahagiaan selalu menyelimuti keluarga ini. Selain karena Zulfa yang semakin mengeratkan hubungan bertetangga itu, dua perempuan paruh baya dari dua keluarga ini pun memiliki kesukaan dan minat yang sama dalam hal fashion dan beberapa bidang perempuan lainnya. 

Itulah alasan-alasan yang semakin membuat dua keluarga ini lebih dari sekedar tetangga. Begitu pula dengan Fauzan dan Argha. Keputusan Fauzan untuk mengikuti ujian masuk perguruan tinggi saat itu, mengantarkannya masuk di kampus yang sama dengan Argha -karena itu adalah salah satu kampus yang dicita-citakan Fauzan-. Hal itu disambut baik oleh keluarganya juga keluarga Argha. Meskipun masuk di fakultas dan jurusan yang berbeda, namun tidak menyurutkan keduanya untuk saling berbagi ilmu dan pengalaman di bidang masing-masing.

---

Argha sudah terduduk di sebuah kursi yang di hadapannya sudah tersaji dua gelas kopi. Fauzan terlihat meraih gelas di hadapannya. Ia menyesapnya perlahan. Arghapun melakukan hal yang sama pada gelas di hadapannya. Tidak ada pembicaraan yang terlontar dari keduanya. Mungkin belum.

Argha meletakkan gelas itu sejurus kemudian. Ia membuka percakapan dengan menanyakan hal-hal ringan.

"Lama sekali yaa. Setelah kabar terakhir darimu lewat telpon itu, saya sangat kehilangan. Kamu sudah menetap di Bogor berapa lama?"

Fauzan masih menikmati minumannya. Ia meletakkan gelas itu kemudian dan memperbaiki posisi duduknya perlahan.

"Sudah hampir tiga tahun. Waktu itu handphone saya hilang, dan semua kontak yang ada di dalamnya juga hilang. Kejadian itu bertepatan dengan..." Fauzan menggantung kalimatnya. Kepalanya tertunduk seketika. Entah bagaimana lidahnya bisa selancar itu berbicara. Hening menyelimuti keduanya beberapa saat.

Argha terdiam menatap sosok yang dirindukannya selama ini. Ia menunggu Fauzan untuk melanjutkan kalimatnya.

"Jangan dipaksakan. Lain waktu boleh sekali kamu main ke rumah saya. Pintu rumah saya akan selalu terbuka menyambutmu."

"Maafkan saya. Tidak seharusnya saya bicarakan saat ini."

Argha menahan rasa ingin tahunya kuat-kuat. Ia tahu, sejak kejadian yang menimpa Fauzan saat masih di Bandung dulu, telah membuatnya berubah total 180 derajat. Dari sosok yang periang dan hangat, kini menjadi pendiam, dingin dan tertutup.

Masalah yang menimpa Fauzan dulu membuatnya begitu merasakan kehilangan. Kehilangan orang-orang tersayang di sekeliling kehidupannya. Ia terpuruk dengan kesedihannya. Saat itu pula Argha kembali ke Malang mengikuti kepindahan keluarganya. Fauzan sendiri. Ia kesepian bersama kesedihan yang menyelimuti hati dan hidupnya.

Fauzan bangkit dari duduknya. Ia berniat pamit untuk pergi terlebih dulu. Argha menganggukkan kepalanya.
"Saya juga minta maaf. Saat kejadian itu menimpamu, saya tidak bisa menjadi orang pertama yang datang membantumu. Walau hanya membagi pundak untuk sekedar menghilangkan rasa sakit di hatimu. Maafkan saya, Fauzan." Ucapan Argha membuat langkah Fauzan terhenti. Ia lalu membalikkan tubuhnya menghadap dan menatap ke arah Argha lekat-lekat.

Argha balas menatapnya dengan penuh penyesalan. Fauzan hanya tersenyum melihat sahabatnya itu. Lantas menganggukkan kepala seraya berkata " Tidak apa-apa. Semua sudah menjadi takdir yang harus saya terima dengan lapang dada. Saya pamit dulu. Lain kali saya mampit ke rumahmu."
"Sekali lagi saya mohon maaf. Saya tunggu kedatanganmu di rumah. Jangan lupa hubungi saya jika kamu membutuhkan bantuan."

Fauzan berlalu. Argha menatapnya dari belakang dan siluet tubuh Fauzan mulai menghilang di keramaian jalanan. Senja sudah mulai bersinar. Langit sore mulai menampakkan keindahannya.

Rencana makan siang yang gagal antara keduanya, diganti dengan menikmati segelas kopi selepas ashar tadi. Karena Argha mendapat tugas dadakan yang tidak bisa ia tinggalkan sedari siang.

Bersambung...
Kota Hujan, 16 Februari 2018

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 20 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Gadis HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang