The Other One
B & U Story
Bara memainkan lagi cutter yang terselip di antara jemari, tidak begitu peduli apakah benda itu nanti akan tergelincir jatuh dan melukai kulit pucatnya. Matanya yang menggelap menatap setengah kosong pada onggokan bergerak di bawah sepatu kets yang ia kenakan serampangan.
Terdengar rintihan dari onggokan itu, membuat Bara mengerjap sadar.
"K-kau...," geraman marah tapi lemah itu di telinga Bara terdengar seperti alunan kematian yang indah. "... a-akan kubalas... "
"Yah," Bara tersenyum tipis, menekan perut korbannya pelan, tapi cukup membuat musuhnya itu muntah darah lagi. "Kalau kau bisa bertahan di rumah sakit, do as you please," katanya riang.
Dan begitu raungan sirine polisi terdengar dari kejauhan, anak laki-laki itu melempar cutter di tangan, menancap tepat di sisi kepala sang korban, sebelum dia memungut biola putih yang sempat terabaikan dan angkat kaki dari tempat itu dengan luar biasa tenang.
***
Bara membalut luka di lengannya dengan perban putih usang yang ia temukan terselip di antara sampah dari rumah sakit tanpa ekspresi di wajah bersihnya. Ia tak meringis kesakitan ketika melihat rembesan darah di lembar kain tersebut, memilih untuk menurunkan lengan jaketnya agar dia tak perlu melihat sayatan itu lagi. Kemudian dia bangkit, meraih sang biola sembari menatap ke puncak rongsokan sampah.
Perlahan, dia mulai mendaki.
Dia adalah anak 'jalanan' yang baru putus sekolah tahun lalu. Bukan, bukan karena dia miskin atau apa―Barata hanya terlalu banyak absen dan meski nilainya di atas rata-rata, semua itu seakan terhapus akibat banyaknya catatan kriminal yang ia dapat akibat suka bikin onar. Orangtuanya bahkan tak tahu anak mereka sehancur ini, saking sibuknya bergelut di dunia bisnis. Jadilah Bara melakukan apa saja yang ia suka.
Satu-satunya hal yang bisa membuat ia jinak hanyalah biolanya. Benda warna putih gading itu mempunyai bentuk unik, hadiah dari sang kakek yang ia hormati, saat ulangtahunnya yang ke-5. Ia juga belajar memainkannya dari beliau, tapi hanya dua tahun, karena setelahnya, kakek meninggal dunia.
"Kakak!" terdengar seruan kecil di belakang, membuat Bara menoleh. "Kak Bara!"
Yang dianggil hanya menyunggingkan senyum tipisnya yang jarang. "Hei."
Anak kecil itu Virgo, bocah tujuh tahun yang ia kenal baru 2 bulan yang lalu. Tapi karena sering bertemu dan Virgo pernah menolongnya ketika ia babak belur di tempat ini, mereka jadi akrab.
"Ah," Virgo terkesiap melihat lebam di pipi Bara, namun dengan cepat kembali tersenyum. Ia paham Bara tak suka diurusi. "Mau main lagi?" tanyanya antusias melihat biola di tangan.
"Well," si empunya mengangkat bahu tak peduli. "Kau mau lagu baru?"
Yang ditanya hanya menyeringai senang. "Aku mau!"
"Wait here then," Bara menunjuk anak itu dengan bow (alat penggesek biola), kemudian mengayunkannya ke depan, lurus dengan cahaya matahari. "I'm gonna play up there."
"Siap!" Virgo memberi hormat ala tentara, menyeringai kecil. "Aku akan panggil anak yang lain!" dan dia berlari turun saat itu juga, melesat cepat.
Bara melanjutkan langkahnya. Ia menjejak di atas pintu kulkas, lalu daun pintu toilet, tumpukan boneka tali, dan setelah nyaris terpeleset di atas tutup aluminium tong sampah, ia bisa berdiri tegak di puncak semua rongsokan itu―tepatnya di atas kap mobil bekas yang lumayan datar.
KAMU SEDANG MEMBACA
alphabets [in ed.]
Romance13 kisah 26 jiwa dalam menemukan pasangan mereka di waktu, tempat, dan semesta yang berbeda. /𝘴𝘩𝘰𝘳𝘵 𝘴𝘵𝘰𝘳𝘪𝘦𝘴/ /peringatan konten dewasa untuk tema lgbt, bahasa kasar, darah, kekerasan, penyakit jiwa, trauma, 𝘵𝘳𝘪𝘨𝘨𝘦𝘳 𝘸𝘢𝘳𝘯𝘪𝘯𝘨...