Di sudut ruangan dengan jendela yang terbuka lebar, aku termenung sendirian menatap hamparan pabrik yang memenuhi hampir semua lahan yang ada di desaku di mana sebagian rumah penduduk telah ditinggalkan karena dijual pada pemilik pabrik besar itu dengan harga yang terbilang fantastis.
Siapa yang tidak tergiur?
Satu per satu rumah tetanggaku sudah dihancurkan dan mulai dibangun menjadi ruang demi ruang besar dengan karyawan mencapai ribuan orang berasal dari seluruh kota di Indonesia.
Banyak pendatang baru yang diberi tempat tinggal berupa mess di sekitar pabrik membuat suasana desa yang tadinya tenang kecuali deruan suara mesin mobil dari arah tol, sudah tidak lagi. Ramai, apalagi saat pagi dan sore hari. Ditambah mesin-mesin di dalamnya yang bekerja.
Kini, hanya ada beberapa rumah penduduk di sini. Penduduk asli dari desa kami yang masih bertahan dan tidak tergoda akan limpahan materi yang ditawarkan oleh mereka. Termasuk, keluargaku. Meski... Bapakku berteriak tanpa henti setiap hari pada Ibuku karena hal itu.
"Kita bisa beli lagi rumah di kampung lain. Perusahaan itu menawarkan harga yang tidak murah."
Pendekatan yang luar biasa...
"Pak, jangan gila. Ini warisan dari keluargamu. Teganya kamu akan menjual semua tanah dan rumah ini! Orangtuamu sudah berpesan, untuk menjaga apa yang mereka berikan pada keluarga kita. Sawah dan ladang di belakang, itu kerja keras mereka."
Brakk...
Aku memejamkan mata.
"Aku membutuhkan uang! Kamu sebagai Istri seharusnya menuruti sesuai perintahku! Di mana kamu simpan surat tanahnya? Di mana kamu menyembunyikannya?"
"Iya! Kamu membutuhkan uang untuk kekasih jandamu itu!"
Suara mereka keras saling bersahutan.
Dengan kedua mataku yang masih terpejam, aku tersenyum tipis. Selalu hal yang sama. Dia tidak pulang kemarin, sore ini baru sampai dan seperti kesurupan, meneriaki Ibuku lagi.
Prang...
Aku terperanjat. Meski sudah biasa, tetapi tetap saja cukup menghenyakkan. Dadaku bertaluan kencang. Aku takut, sungguh. Aku yakin itu adalah gelas atau guci yang dilempar lelaki itu. Tuhan, mengapa aku harus lahir dari sperma lelaki brengsek semacam itu?
Aku berjalan ke arah pintu, membukanya sedikit. Mengintip dari sela, aku bisa melihat, Ibuku terduduk di lantai dan... menangis. Pipinya telah basah dipenuhi linangan air mata. Beliau tergugu menyedihkan. Ingin aku datang padanya, tapi hatiku terlalu sakit dan ibuku pasti akan tetap berpura-pura baik-baik saja. Bapakku sudah tidak ada di sana. Dia pergi, kuharap tidak usah kembali jika kedatangannya hanya untuk menyakiti.
Aku menutup pintu kamarku lagi, dan menyandarkan punggung pada pintu. Mataku menatap ke arah jendela yang terbuka, memerhatikan semua hamparan yang ada di depan mata.
Pertengkaran yang sama yang terjadi berulang kali dalam sebulan ini. Untuk alasan yang sama karena keberadaan pabrik besar itu. Siapa pemiliknya? Aku ingin berteriak agar berhenti menyusahkan keluarga kami demi memenuhi ambisi sialan mereka.
***
Lanjut gak ya? 😂 Cuma cerita iseng aja sih.
8/3/2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Wedding
RomanceMenikah di usia 18 tahun bukanlah keinginan Leony. Memasuki kehidupan seseorang bernama Steve Marvin Adynata, Direktur perusahan besar di Jakarta yang kebetulan pabrik besarnya memenuhi hampir semua lahan di desanya. Terpaksa. Tidak memiliki piliha...