Chapter 1

23.5K 1.9K 130
                                    

Ada beberapa bagian yang aku revisi, makanya aku posting ulang. Aku juga soalnya agak lupa setelah sekian lama dianggurin 😂

Ini cerita mainstream. Dilihat dari judulnya aja udah tahu lah ya. 😆😆

🍃Happy Reading🍃

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




🍃Happy Reading🍃



"Ibu, bakwannya gosong! Kak Leoni, bakwannya gosong!"

Suara derap langkah terburu-buru dari arah luar dan kamar mandi menyerbu ke dapur.

"Ya ampun, Lia, kenapa kamu nggak membaliknya sih?" omel Ibunya dan segera mematikan kompor sambil mengambil sendok untuk mengangkat bakwan dari penggorengan yang sudah berubah bentuk lebih eksotis bahkan terlampau eksotis.

"Spatulanya nggak ada. Gimana aku ngangkatnya coba?" protes anak keduanya sambil merengut sebal mendapatkan semprotan dari ibunya.

"Ke mana?!" Ibunya ngegas.

"Mana aku tahu. Lia baru juga masuk ke dapur," gadis yang mengenakan rok dan seragam SMA ketat itu mengedikkan bahu.

Jengkel melihat respons apatisnya, Marti menggeser tubuh anaknya yang berdiri tanpa melakukan apapun di depan kompor gas. "Kamu bisa menggunakan sendok!" Sambil meratapi kegosongan bakwan yang sekarang terpampang nyata di dalam piring. "Ya ampun, kamu sudah akan menginjak umur enam belas tahun, Li, tapi begini saja tidak becus. Ibu tidak selamanya akan memasakan makanan untukmu seperti ini."

"Panas, Bu. Nanti kulit putihku terbakar. Lagipula, aku sudah mengenakan seragam," Lia menyenggol tubuh ibunya. "Jangan berkata begitu. Jika ibu tidak bisa memasak, Kak Leon bisa memasakkan untukku." Dia menyengir. Marti pikir anak bungsunya itu akan mengatakan hal yang lebih berfaedah dan menyentuh hati. Rupanya si ular kecil itu menimpakan beban pada kakaknya.

Dalam diam, Leony menyodorkan spatula itu di antara sela tubuh mereka. Pelan-pelan, ia mundur hendak kembali ke kamar mandi dengan tenang. Semoga mereka berdua tidak menyadari kecerobohannya tadi yang membawa spatula saat hajatnya tidak bisa diganggu gugat dan sudah berada di ambang batas. Ia ingin memprotes ucapan si centil itu, tapi daripada ikut didamprat oleh sang ibu, kabur lebih baik saat momen sedang memanas seperti ini.

"Leony, sini bantu ibu!" Belum satu langkah, suara ibunya terdengar menghentikan kaki Leony untuk bergerak mundur. "Kamu tidak seharusnya membawa spatulanya,"

"Oh, kelihatan ya," Leony menunduk dan berjalan lesu kaku ke depan. "Maaf. Lupa, Bu. Tadi benar-benar sudah di penghujung."

"Masih muda sudah banyak lupa," tukas Marti sambil memasukan adonan bakwan baru ke dalam minyak panas.

Waktu masih menunjukkan pukul setengah enam pagi. Namun, dari jam empat subuh dapur itu sudah mengepulkan asap dan aroma nikmat dari nasi uduk, telor dadar iris, ayam goreng, bihun goreng, dan beberapa bahan masakan yang belum selesai dimasak, telah menguar harum memenuhi semua sudut ruangan.

Fake Wedding Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang