Chapter 4

9.7K 1K 162
                                    

Maaf baru sempat update. Udah ditulis dari 2 hari yg lalu setengahnya, cuma gara2 berita bullying yg sekarang lg viral, jd nggak mood. Tapi, untungnya skrg kasus itu sudah ditangani dgn baik sehingga udah tenang lagi krn pelaku kemungkinan besar akan dihukum sesuai kejahatan yg dilakukannya 😌

Siapa yg ikut nyimak kasus itu juga? 😅😅



🍃Happy Reading🍃


Sepeninggalan kakeknya, Marvin mengempaskan tubuhnya ke atas sofa. Ia benar-benar bingung, tidak tahu harus memulai dari mana dan apa yang harus ia lakukan untuk permintaannya. Sampai sekarang, belum pernah ia dan kekasihnya membahas ke arah pernikahan. Meski ia sangat ingin, tapi mengetahui wanitanya sangat sibuk akhir-akhir ini, ia tidak tega harus mengganggu konsentrasinya pada hal lain. Tapi sekarang, tentu saja ia harus mulai memikirkannya dengan serius. Kakeknya tidak pernah main-main atas perkataanya. Ia bahkan tidak bisa membayangkan jika beliau menjatuhkan pilihannya pada Marcel dan memberikan posisinya sebagai Presiden Direktur untuk perusahaan milik keluarganya sendiri. Sungguh tidak masuk akal. Dia cuma orang luar. Apakah tidak cukup keutuhan keluarganya saja yang dirampas oleh ibunya?

Serasa dicekik, Marvin meloloskan dasi dari kerah kemejanya dengan kesal. Baru selesai satu masalah, datang lagi masalah lain.

Berjalan ke arah meja, ia menekan tombol interkom dan menelepon sekretarisnya. "Sore ini ada jadwal apa saja?"

"Ada meeting dengan Pak Vincent, membahas lahan di pabrik yang rencananya akan diperluas. Ada beberapa rumah yang,—"

"Batalkan. Jadwal ulang ke besok saja. Saya ada urusan sore nanti." Cegat Marvin.

"Ada ... urusan apa, Pak? Perihal pekerjaan?"

Marvin menutup sambungan, tidak memiliki kewajiban untuk menjawab pertanyaannya. Ia memilih duduk di kursi kebesarannya dan mengerjakan tumpukan dokumen yang belum sempat ia cek. Waktu telah menunjukkan pukul satu siang dan ia belum sempat makan sama sekali. Nanti, pikirnya, sekalian makan malam saja dengan kekasihnya sekaligus membicarakan keinginan sang kakek dan kelangsungan hubungan mereka menuju ke arah jenjang yang lebih serius dan sakral.

Tidak terasa nyaris lima jam lamanya Marvin berkutat dengan pekerjaan. Sebagian telah selesai, namun sebagiannya lagi masih terabaikan. Ia menyandarkan punggung pada kursi dan mendongakkan kepalanya ke langit-langit ruangan sambil memijit pangkal hidung saat dirasa matanya mulai kewalahan menatap layar komputer sedari siang. Merasa baikan, ia memutar kursi menghadap ke arah jendela besar yang mendominasi ruangannya. Matahari telah siap kembali keperaduan. Warna oranye sang senja telah menyebar di langit bagian barat. Ia yakin, sebagian karyawannya telah pulang termasuk sekretarisnya yang setengah jam lalu pamit setelah tahu tidak ada lagi yang perlu dikerjakan.

Merogoh ponsel dari saku, ia memotret pemandangan indah yang dilihatnya saat ini dan langsung mengirimkan pada nomor kekasihnya.

Princess, lihat, bukankah pemandangan di sini sangat cantik?

Princess, lihat, bukankah pemandangan di sini sangat cantik?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Fake Wedding Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang