Setelah semingguan akhirnya bisa update 😂 Mohon dukungannya untuk cerita ini 🙏🏻 Jika ada kata2 rancu atau keliru, tolong koreksinya ^^
🍃Happy Reading🍃
Sudah lima hari Marvin lebih memilih menyibukkan diri pada pekerjaan berusaha melupakan kegetiran sang hati dari sakitnya perpisahan. Pada akhirnya, egonya mendorong dirinya mundur dan menjauh dari Aileen, wanita yang sangat dicintainya. Pun dengan wanita itu yang sampai saat ini belum menghubungi. Kadang, ia ingin sekali meneleponnya, rindu akan suaranya. Namun, rasanya percuma mengingat dia sudah tidak ingin lagi berjuang untuk hubungan mereka. Perpisahan adalah yang dipilihnya daripada harus melangkah ke jenjang pernikahan. Enam tahun sungguh berakhir dengan sia-sia. Ia tidak tahu siapa yang salah di sini. Apakah egois jika ia ingin wanita yang ia cintai menjadi istrinya? Apakah egois jika ia mengajak wanita yang ia sayangi menikah dan mensahkan hubungan mereka?
Tidak ada pilihan untuk saat ini kecuali saling menjauhkan diri untuk menenangkan hati. Memaksa tidak akan pernah menjadi solusi. Ia pun tidak memiliki hak untuk melakukannya.
Pintu diketuk menyadarkan Marvin dari lamunan. Ia mendongak, melihat sekretarisnya menyapa sopan dengan beberapa map di tangan. Dia berjalan menghampiri dan meletakkan semua map itu di atas meja—di hadapannya.
"Ini data semua lahan yang akan segera memasuki proses pembongkaran sesuai yang Anda minta di rapat kemarin dengan Pak Vincent. Beliau sudah menunggu di bawah. Mungkin Anda ingin memeriksanya terlebih dahulu sebelum menuju ke lokasi."
Marvin menegakkan duduknya dan mulai membuka setiap lembar halaman dan membacanya dengan serius. Setelah mempelajari tata letak lokasi bangunan-bangunan rumah penduduk yang sudah dijual dan menghitung kasar luas tanahnya secara keseluruhan, ia bangkit dan bersiap-siap. Mengunjungi pabrik di daerah pedesaan sepertinya adalah ide yang baik saat otaknya terlalu tumpul untuk digunakan saat ini. Di sana, persawahan dan ladang penduduk masih banyak yang belum diurus proses pembangunannya mengingat lebih fokus pada produksi dulu akhir-akhir ini yang meningkat pesat. Pemandangan asri dan hijaunya dedaunan khas pedesaan belum tertelan oleh keberadaan pabrik besarnya. Sebentar lagi memang, cuma tinggal menunggu waktu.
"Apa jalanan di sana sudah diperbaiki secara merata?" tanya Marvin sambil mengenakan jasnya.
"Dari arah tol ke pabrik semuanya sudah. Semua lahan yang dijual ke kita, tidak ada lagi jalan setapak yang becek. Cuma tersisa beberapa rumah warga di sekitar pabrik yang memang belum diputuskan kapan akan dibongkar dan mulai proses perluasannya—masih menunggu persetujuan dari Anda."
Marvin mengangguk kecil, berjalan keluar dari ruangannya menuju ke lobi perusahaan sementara sekretarisnya menyusul di belakang sambil membawa map yang tadi diserahkan.
"Pagi, Pak," sapa bawahannya bernama Vincent yang akan ikut serta ke dalam kunjungan. Marvin masuk ke jok bagian belakang diikuti lelaki 35tahunan itu. Sedang Vaya duduk di depan bersama sang sopir.
Sepanjang perjalanan, obrolan perihal pekerjaan terus berjalan. Marvin mendengarkan setiap penjelasan dari bawahannya yang mengurus semua penjualan tanah penduduk di lokasi.
"Apa Anda sudah pastikan semua surat-suratnya lengkap?"
"Sudah, Pak. Secara resmi, AUX telah menjadi pemilik sah dari semua lahan itu. Proses pembayaran pun telah kami urus dan pemindahan nama untuk akte juga telah selesai dari beberapa bulan lalu."
"Bagus. Saya tidak ingin ada kesalahan dan sampai menghambat proses pembongkaran nanti."
Vincent menggaruk pelipis ragu. "Hanya saja... ada satu rumah warga yang sampai saat ini belum ditinggalkan. Tepat di bagian samping pintu pabrik, keluarga itu masih tinggal di sana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Wedding
RomanceMenikah di usia 18 tahun bukanlah keinginan Leony. Memasuki kehidupan seseorang bernama Steve Marvin Adynata, Direktur perusahan besar di Jakarta yang kebetulan pabrik besarnya memenuhi hampir semua lahan di desanya. Terpaksa. Tidak memiliki piliha...