01.

16 6 0
                                    


  Harum tanah yang menyeruak setelah hujan bulan maret membuat Naila tenang dan menikmati.

  Mendung yang tadi meninggalkan jejak ribuan rintik hujan ke bumi, kini pergi bersama deburan angin menyisakan dingin yang hampa.

Masih dengan buku note berwarna coklat dengan arsiran pensil berwarna hitam diatas coklat. Naila masih terpaku pada manik yang ia gambar dalam note nya. Entah berapa manik yang diciptakan tuhan untuk manusia, namun hanya manik indah miliknyalah yang ia kenal.

Manik setajam manik elang, seindah warna kopi yang menjebak, Naila tergerus dengan ingatan manik yang telah menatapnya.

  Gambaran itu seolah nyata telah hadir dihadapannya. Ketika sosok berwajah tegas itu berdiri dihadapannya dengan membawa es krim cone dari salah satu produk.

Naila tersenyum dan menerima es krim coklat yang menggiurkan itu. Dengan bersamaan ia pun menjatuhkan pantatnya pada kursi yang sejak tadi menemani Naila.

"Thanks.." senyum Naila mengembang dan tulus yang ditampilkan untuk Artha.

"Sama sama.." jawab Artha dengan senyum.

"Kamu kemana aja dicariin dari tadi gak nongol?" Ujar Artha selanjutnya.

"Disini aja kok. Kamu aja yang gabisa nyari hehe.."

"Ngapain sih disini?"

"Ngelukis.."

"Biasa."

"Kamu tau apa yang baru aku lukis?" Tanya Naila

"Apa?"

  Naila membuka buku note coklatnya dan menampilkan sketsa wajah indah dari goresan kecil pensilnya.

  Wajah yang memandang hanya tersenyum penuh arti. Ia menyentuh setiap detail goresan itu. Merasakan sebuah rasa yang ikut campur dalam pembuatannya. Memberikan apresiasi untuk setiap goresan itu. Dan menyentuh titik akhir dari penyelesaiannya.

Pada titik itu, dan sebelumnya terdapat gores tulisan penuh makna namun sulit diartikan oleh sosok Artha.


Untuk rasa yang tak pernah kuartikan. Seperti desiran bisik angin yang membuat teki. Kuucap secercah terima kasih dibalik kuasaNya.

Artha hanya mengernyit dan mimik wajahnya terlihat seperti menanyakan sesuatu.

"Gak mau ngasih tau nih maksudnya?" Tanya Artha pada Naila yang menikmati es krim nya dalam diam.

"Sebuah kata akan mudah dicerna saat dibaca dengan hati." Ucap Naila santai dengan senyum.

"Gak perlu aku tau apa artinya. Yang terpenting itu kamu udah melukis ini dengan tulus buat aku." Lesung pipi Artha membuat Naila tertegun sesaat. Rasanya begitu lama ia tak melihat itu lagi.

"Nih." Ujar Artha memberi tisu yang ada di kantong celananya.

"Buat apa?"

"Aku tau pasti kamu bakal celemotan saat makan es krim."

"Ishh... belepotan lagi." Naila menerima tisu dan mengusap bibirnya yang belepotan secara asal.

As Far As You Can GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang