Target Hidupku
Usia 15: jadi model majalah remaja.
Gagal total. Masuk sebagai finalis saja tidak. Aku yakin fotoku nyasar dan tidak pernah sampai meja redaksi karena jujur saja ya, aku jauh lebih cantik daripada beberapa finalis yang berhasil lolos.
Usia 17: jadi penyiar radio lokal.
Malah temanku yang giginya tonggos jadi penyiar. Kurasa dia menawarkan dadanya yang juga tonggos pada si manajer. Sekarang giginya nggak tonggos lagi –hasil bertahun-tahun memakai behel warna-warni-- dan dia jadi penyiar TV. Oh, dunia!
Usia 20: jadi bintang kampus.
Nggak tahu deh. Aku lumayan terkenal di kampus. Aku aktif di sana-sini, tapi aku nggak pernah dapat predikat apa pun, semacam mahasiswi teladan atau apa. Tapi taruhan aku lebih terkenal dibanding ketua BEM sekali pun. Semua mengenal aku, Eli si aktivis kampus yang cantik. Ehem.
Usia 22: lulus kuliah dengan IP tertinggi dan tercepat.
Well, yah, kuliahku molor setahun, tapi okelah, aku tetap lulus kuliah. Susah untuk lulus ontime kalau kamu dapat dosen pembimbing skripsi yang moody. Lagipula aku memang sibuk. Aku sudah kerja part-time waktu itu. Temanku yang lulus paling cepat memang kutu buku dan bahkan tak ada mengenalnya. Dan haha, begitu lulus dia nganggur. Lalu setelah setahun nganggur, nikah. Yeee, gagal melamar pekerjaan, pasrah dilamar laki.
Usia 22-24: Dapat pekerjaan keren alias jadi selebritis.
Entahlah. Aku berhasil dapat pekerjaan yang KUSANGKA keren. Ternyata setelah dijalani nggak sekeren itu. Aku bayangkan Mira Lesmana akan berkata, "Oh, Eli, kenapa kamu ngurusin peluncuran film ini? Seharusnya kamulah bintang film ini!"
Usia 25: Terkenal di seluruh Indonesia dan dapat piala citra atau Globalsonic award atau SCTV award, apa pun.
Gagal total. Masih bertanya mengapa?
Usia 26: Kaya, sudah traveling ke mana-mana dan punya tunangan keren.
Terlalu menyakitkan untuk dibahas.
Usia 28: menikah dengan tunanganku yang tampan dan milyader itu
No comment!
Usia 30-35: Punya dua anak yang imut-imut.
Arggkkkhhhhh!!!!!
Tiga puluh! Tiga puluh! Ya Tuhan, aku sudah tiga puluh! Tiga puluh! Apa yang lebih mengerikan dari pada itu?
Hanya mengingatnya saja kepalaku berdentam-dentam, seolah-olah ada bola yang membesar dan mengecil berulang-ulang di dalamnya. Dan bola itu berduri!
Tiga puluh! Aku benar-benar ingin tertidur kembali dan bangun di usia, hmmm, tujuh belas. Tidak. Dua puluh dua. Itu usia terbaikku. Aku baru saja lulus kuliah –dan sumpah, itu bakal jadi pendidikan formal terakhirku. Ish, aku nggak bakal mau ngerjain paper dan segala macam tes sepanjang sisa hidupku--, dapat pekerjaan, dan inilah pertama kali memegang uang hasil keringat sendiri. Aku juga punya pacar saat itu. Plus gebetan nggak resmi. Dua atau tiga gebetan tidak resmi. Semuanya memanjakanku dengan caranya masing-masing; Rafi dengan traktiran makan dan nonton, Frank dengan keromantisan ala novel-novel Harlequin dan ciuman yang sanggup menegakkan seluruh bulu di tubuhku, dan Yori dengan segala kelucuan, keluguan, dan keikhlasannya membantuku setiap saat (antar jemput? Beres. Komputer rusak? Beres. Kiriman makan siang? Beres). Hidup begitu sempurna.
Yah, pekerjaanku waktu itu nggak sempurna-sempurna amat, sih. Aku bergabung di perusahan event-organizer milik salah satu seniorku di kampus. Mereka mengurusi pertunjukan dangdut hingga lomba perkutut. Your wish is our command adalah motto kami, yang sebenarnya bisa diterjemahkan menjadi 'asal lo bayar, kami rela jadi budakmu.'
Susah untuk tidak sinis. Memang kenyataannya begitu. Semua orang di perusahaan itu bekerja lebih keras daripada kerbau petani. Tapi bahkan kerbau tidak pernah kerja lembur. Sementara aku pernah muterin kota jam dua belas malam hanya demi mencari gudeg untuk seorang penyanyi-yang-terkenal-saja-nggak. Yang membuatku meradang gudeg itu bahkan tidak disentuh apalagi dibawa pulang padahal dia bilang ia SANGAT menginginkan gudeg itu untuk oleh-oleh. Katanya neneknya SANGAT memuja gudeg Jogja. Ketika aku mengingatkan penyanyi nggak terkenal itu soal permintaannya, dia hanya mengangkat bahu, "Masa gue minta gudeg? Nggak mungkinlah. Baunya aja udah bikin gue mual. Pesanan orang lain kali." Gimana nggak pengin nggaplok coba! Ketika aku ingatkan neneknya menyukai makanan itu, dia memasang tampang linglung. "Nenek? Astaga, Oma gue tidak boleh makan makanan bersantan dan manisnya ngalahin pabrik gula kayak gitu. Oma gue itu cuma makan sawi dan oatmeal."
Mengapa nggak resign sih? Teman-temanku sering bilang begitu kalau aku mengeluh soal pekerjaan itu. Hallooo,apa sih yang tidak mereka mengerti? Aktris! Penyanyi! Selebritis! Masih belum paham? Ngaku saja deh, semua orang pengin jadi bintang-bintang itu! Ngaku saja! Tapi payahnya memang nggak semua orang berbakat untuk masuk dalam dunia itu. Aku salah satunya, dengan pahit akhirnya aku mengakui hal itu. Tapi aku sudah berdamai dengan kenyataan. Dan aku tahu jadi selebritis tidak hanya soal lampu, make-up, dan uang banyak. Ooohhh... tak perlu kuceritakan bagaimana mereka menelan pil-pil yang membuat mereka diare atau memakai wig dua belas jam yang membuat mereka muntah-muntah (itu benar!). Tidak, tidak. Sudah kukubur impian itu. Bukannya aku menolak kalau ada agen yang menawariku jadi bintang iklan. Nggak. Bukan begitu. Tapi you know-lah, memang harus kuakui, aku gemetar saat audisi dan harus akting di depan kamera. Tapi kamera itu sungguh mengintimidasi! Mana manajer kasting-nya galak pula!
Tapi tetap, kan, semua orang pengin jadi selebritis atau paling tidak dekat dengan mereka, ya kan? Keren banget nggak sih kalau kamu punya foto makan malam bareng Krisdayanti? Keren banget nggak sih kamu bisa ngobrol dengan Pevita Pearce? Aku memang melakukan semua itu lho. Aku pernah makan malam bareng Krisdayanti , meski kami lima meja jauhnya, dan ngobrol dengan Pevita Pearce meski obrolan kami cuma dua menit menyangkut tiket pesawat yang aku bookingkan untuknya dan baju apa yang harus ia kenakan untuk konferensi press mengenai peluncuran filmnya.
Sebenarnya itulah alasanku terdampar di sini, Glow, perusahaan event organizer yang jadi langganan selebritis. Glow, seperti namanya, benar-benar serba bling-bling dan bersinar, meski sayangnya setelah jam kerjaku usai, aku terkurung di kamar kos tiga kali tiga meter kusam yang penuh timbunan baju dan sepatu. Aku bahkan nggak yakin apakah kotak-kotak itu berisi sepatu. Sebagian mungkin berisi sandal dan yang lainnya make-up.
Tiga puluh tahun usiaku! Sudah tujuh tahun bekerja seperti kuda, dan yang aku punya? Hanya tumpukan baju dan sepatu. Sepatu yang aku sendiri nggak ingat seperti apa wujudnya. Aku terus mengingatkan diriku untuk membeli kotak sepatu transparan. Tapi empat puluh kotak transparan tentu mahal banget kan? Bisa buat beli tiga pasang sepatu Vincci. Ugh, makin sedikit saja permukaan lantai yang terlihat di kamar kosku.
Ironis banget ya, pada usia tiga puluh tahun, aku tak hanya menyadari bahwa mimpi-mimpiku dahulu begitu menggelikan, tapi juga bahwa mimpi itu bagaimana pun menggelikannya sudah resmi gagal teraih. Karena aku sudah tiga puluh tahun!
Kurasakan kepalaku berat mendadak. Begitu banyak pintu tertutup saat usia kita tiga puluh tahun. Pintu-pintu terbanting tertutup tepat di depan hidungmu pas jarum jam menyentak di angka 12 pada tengah malam. (bersambung)
YOU ARE READING
90 Hari Mencari Suami
ChickLitEli panik saat usianya resmi 30 tahun. Mimpi-mimpinya tentang 'sukses sebelum 30 tahun' kandas seketika karena ia tak hanya belum menikah, tetapi juga tidak punya pacar sama sekali. Kariernya? Sama karamnya dengan kapal Titanic. Ia masih menjadi bud...