Aku tahu Ben dan Alisa dianggap sebagai pasangan ideal. Ganteng dan cantik. Ben dokter yang sibuk dan pintar, Alisa guru yang sabar dan kreatif. Keduanya sama-sama berwatak lembut, lurus, dan sederhana. Bagi mereka hidup adalah: sekolah, bekerja, menikah, mungkin punya satu dua anak, sudah. Tak terbayang Alisa dan Ben nongkrong di klub atau party gila-gilaan bareng seleb-seleb ABG. Mobil mereka tak bakal jauh-jauh dari Xenia dan definisi hari libur asyik mereka adalah jalan-jalan ke kebun binatang bersama anak-anak.
Bola-bola yang tadi pagi menyerbu kepalaku kini kembali. Kali ini bola-bola besi seperti yang pernah kulihat di Taman Fatahilah. Hanya saja yang ini berduri dan menghantamku dari dalam.
"Jadi kalian akan bertunangan minggu depan dan menikah Desember? Apa itu tidak terlalu cepat?" Kali ini aku sekadar omong agar tidak tampak bego.
"Mbak, aku kan sudah bilang...."
"Maksudku kamu masih muda." Aku mengulang pembahasan yang sama, tapi kali ini dengan nada yang lemah dan kalah.
"Ben sudah punya kerjaan, aku juga. Kami sudah pacaran lima tahun Mbak. Mau nunggu apalagi?"
Nunggu apa? Nunggu kesempatan jalan-jalan ke Eropa. Nunggu cowok keren lain yang mungkin lewat. Nunggu gaji dua digit. Banyak sekali yang pantas ditunggu.
"Tapi kamu kan baru pacaran sekali. Kamu belum pernah mengenal cowok lain, Lis. Kamu tidak punya pembanding. Mungkin di matamu Ben itu baik, tapi itu karena kamu belum pernah melihat... eh, dunia luar."
Bagaimana dia bisa puas hanya dengan pernah 'mencicipi' satu cowok saja?
"Tapi Ben baik, aku tak perlu pacaran dengan banyak cowok untuk mengetahui dia baik atau tidak."
Dia nyindir ya?"Lis, dengar aku. Kalau kamu menikah kamu nggak akan punya kesempatan berkarier atau kuliah setinggi-tingginya. Puas-puasin dulu masa mudamu."
"Tapi aku sudah puas," Alisa terdengar mantap, "Aku sudah bilang, aku mungkin aku bisa kuliah di Jepang. Tapi tidak pun tidak apa-apa. Kurasa aku bakal hepi-hepi aja jadi ibu rumah tangga."
Mengejutkan! Oh, Kartini pasti menangis mendengarnya.
"Lagipula apa hubungannya dengan menikah dan karier, Mbak? Kita kan bisa tetap kerja meski sudah menikah. Kamu sendiri sering mengeluh kariermu mandeg."
Oya, kapan aku bilang begitu? Ugh, bisa-bisanya adikku yang masih ingusan itu menguliahiku soal pekerjaan. Catat: jagan membicarakan soal pekerjaan dengan keluarga, apalagi mengeluhkannya! Mereka hanya mengingat yang suram-suram saja, meski aku selalu cerita yang baik-baik dan yang keren-keren karena yah, pekerjaanku memang keren kan?
Aku lebih hebat daripada para aktris yang mendapat piala itu, kan? Karena akulah yang merancang acara pemberian piala itu. Akulah yang mengundang wartawan dan penggemar mereka untuk meet and greet. Akulah yang memastikan mereka datang dan duduk di kursi yang benar. Akulah yang berada di balik setiap pesta yang jadi obat mereka saat depresi.
"Lis, aku hanya ingin kamu mempertimbangkan semua masak-masak. Maksudku, pernikahan itu hal yang besar."
"Jadi kamu nggak setuju aku menikah?" Lisa kini terdengar hampir menangis.
Aku terkesiap, "Bukan begitu. Tentu saja aku senang kamu akhirnya menemukan belahan jiwamu. Tapi bagaimana kamu yakin itu belahan jiwamu?"
"Kupikir kamu akan mendukungku, Mbak. Semua orang mendukungku dan di antara semuanya, aku nggak menyangka justru kamulah yang menentangku." Alisa seolah tidak mendengar ucapanku. " Oh, ada yang tidak setuju. Budhe Nunuk. Katanya kalau aku nikah duluan, kamu bakal sulit jodoh. Ya ampun, Budhe Nunuk itu kuno sekali dan Mama ketularan dia. Aku bilang kamu pasti akan setuju. Kamu cewek berpikiran maju. Kamu nggak terpengaruh takhayul kayak gitu, tapi ternyata..."
"Lis, dengar Lis, aku bukannya menentangmu! Dan aku nggak percaya takhayul itu. Sumpah." Aku berteriak putus asa. Sudah jam tujuh empat lima dan riasan mataku belum beres. Kepalaku masih berdentam-dentam. Oh, bola besi pergilah, usirku. Kalau tidak, kau bakal kuusir paksa dengan Panadol.
"Tapi tau nggak Budhe Asti bilang apa lagi?"
"Apa?" tanyaku terpaksa duduk bersandar dan memijit pelipis.
"Ia bilang nggak papa kalau aku nikah duluan. Aku kan Adik perempuan. Nah kalau Tristan yang mendahului kamu, itu yang benar-benar bencana karena Tristan laki-laki. Jadi kamu nggak peru khawatir, Mbak. Budhe Nunuk sih tetap ngotot sebaiknya aku tidak melangkahimu. Aku sih tidak percaya pada dua-duanya. Rejeki, jodoh, dan maut itu sudah diatur, kan?"
"Ya, ya, tentu saja kamu benar. Eh, Lis, bagaimana kalau ngobrolnya kita sambung lagi nanti. Aku harus ke kantor dan aku belum siap."
"Oh, tentu saja. Maaf, aku jadi lupa waktu begini. Aku juga harus berangkat. Tapi tolong ya, Mbak, pulang ya pas aku lamaran."
"Aku akan usahakan. Bye."
"Selamat ulang tahun ke-30." Sialan. Perlu ya dia ngomongin angka?
"Selamat, eh... bertunangan."
(bersambung)
![](https://img.wattpad.com/cover/138110452-288-k303687.jpg)
YOU ARE READING
90 Hari Mencari Suami
Chick-LitEli panik saat usianya resmi 30 tahun. Mimpi-mimpinya tentang 'sukses sebelum 30 tahun' kandas seketika karena ia tak hanya belum menikah, tetapi juga tidak punya pacar sama sekali. Kariernya? Sama karamnya dengan kapal Titanic. Ia masih menjadi bud...