Bab 4

1.6K 157 8
                                    



"I got the eye of a tiger, a fighter." Ring tone hape menggelegar menyentakku. Ugh, nyaris saja mataku kecolok eye liner. Astaga, tak bisakah aku bebas di hari ulangtahunku? Aku melirik jam weker. Jam setengah delapan. Ini belum lagi jam kantor. Siapa yang berani-beraninya menggangguku? Meski yah, dalam pekerjaanku sebenarnya tak ada yang namanya jam kantor. Kusambar hape yang masih menjerit-jerit itu. Oh, Lisa. "Selamat ulang tahun Mbakku yang cantik!"

Ya ampun. Aku benar-benar kagum pada adikku itu. Alisa tak pernah melupakan tanggal-tanggal istimewa. Dialah yang mengingatkan aku dan Tristan tiap kali Mama atau Papa atau kerabat lain berulang tahun dan merayakan anniversary (yang bahkan kadang dilupakan oleh yang merayakan). Dia juga mengingatkan Mama dan Papa tiap kali aku dan Tristan ulang tahun. Kasihan sebenarnya karena kadang-kadang justru ulang tahunnya sendiri terlupakan. Bagaimana mungkin Lisa mengingatkan orang lain bahwa dia sendiri berulang tahun? Di keluargaku sendiri ulang tahun sama biasanya dengan hari Selasa di bulan Maret.

"Yaaahhh.... terima kasih."

"Semoga panjang umur, murah rejeki, dan...."

Enteng jodoh, ketebak banget nggak sih?

"Dekat jodoh."

Sama aja. Enteng jodoh, dekat jodoh, gampang jodoh, pokoknya segera kawin dan beranak pinak, ya kan?

"Makasih."

"Mama telepon kamu dari tadi, tapi nggak kamu angkat. Kado kami sudah sampai?"

"Oh, sudah, makasih." Di mana bungkusan itu? Paket itu sudah sampai kemarin, tapi aku belum sempat membukanya. Aku sudah tahu isinya.

"Kamu suka kan?"

"Belum sempat kubaca, tapi kayaknya bagus." Buku! Pasti buku. Buku motivasi atau novel based on a true story dari Lisa dan hasil rajutan dari Mama, entah itu topi, tas, atau dompet.

Semoga Lisa tidak menuliskan ucapan selamat di dalam buku itu. Lebih bagus lagi bila segelnya tidak dibuka. Minimal aku bisa memakainya sebagai kado ulang tahun Rosa. Rosa sangat suka membaca dan dia hobi galau. Buku motivasi cocok banget untuknya.

"Pasti kamu suka. Itu buku Merry Riana yang terbaru. Kupikir cocok sekali buat wanita karier sepertimu."

"Oh, aku pernah liat filmnya. Oke."

Siapa yang tidak suka kisah Cinderella? Oke, Marry Riana kaya bukan karena dia menikah dengan pangeran. Tapi hei, sebenarnya aku lebih suka menikah dengan pangeran daripada menjual asuransi di jalanan.

Tak terdengar apa-apa beberapa detik kemudian."Lis?"

"Ya?"

"Sudah? Itu saja, aku mau berangkat nih."

"Oh," Lisa terdengar geragapan. "Hm, sebenarnya, aku... aku punya berita."

"Apa?" Kunyalakan speaker hapeku dan mulai mengoleskan maskara. Mungkin salah satu sepupuku melahirkan lagi. Berita semacam itu makin sering kudengar.

"Hmmm..." Ada jeda sejenak. "Keluarga Ben akan datang. Melamar."

"Ha?" Mendadak suara motor bersliweran yang gang depan dan keributan anak-anak kos di dapur atas lenyap. Barulah perlahan aku menyadari ada suara dengung halus AC, suara pintu dibuka dan ditutup, lalu nada-nada di antara shower (penghuni kamar sebelah, penyanyi kamar mandi yang sangat berdedikasi).

"Sabtu dua minggu lagi. Kamu bisa pulang kan Mbak? Please. Masih cukup waktu kan? Agak mendadak, sih, tapi semoga kamu bisa."

Aku tak bisa berkata-kata. Maskara terjepit jari-jemariku yang bergetar. Kupandangi layar hapeku sementara otakku mendadak macet.

90 Hari Mencari SuamiWhere stories live. Discover now