Bab 2

2.9K 201 32
                                        

Tigapuluh. Brak! Pintu menuju karier PNS tertutup. Brak! Pintu ke karier model tertutup. Brak! Pintu jadi karyawan level pertama tertutup –kecuali kamu mau digaji sama kecilnya dengan fresh graduate yang masih unyu-unyu, tapi sanggup kerja mati-matian--. Brak! Pintu ke Mr. Perfect juga tertutup.

Oke, tiga puluh. Bukan kiamat. Terakhir kali kucek wajahku di cermin malam tadi, belum ada keriput yang singgah. Hah, memang ada ada selulit di paha dan varises kecil di lekukan belakang lutut. Aku tidak bisa berbuat apa pun kecuali menabung demi menjalani operasi –entah operasi apa—yang akan memberiku sihir bebas selulit dan varises suatu hari nanti. Well, yeah, setidaknya varises itu tidak begitu terlihat. Aku masih bisa memakai rok pendek dan tak bakal ada yang menyadarinya. Tapi menabung terasa sama sulitnya dengan mendaki gunung Alpen tanpa jaket dan sepatu. Jangankan untuk menabung, untuk bertahan hingga akhir bulan saja rasanya ngos-ngosan (meski aku selalu bisa beli sepatu dan entah gimana tetap bisa hang-out di Starbucks). Aku nggak ngerti di mana kesalahanku. Gajiku nggak kecil, tapi juga jelas nggak besar –dan belum naik selama dua tahun terakhir, ggrrrkkk, padahal Charles and Keith selalu menaikkan harga bukan?--, tapi dibanding adikku Alisa yang bermukim di Jogja dan hanya bergaji satu-jutaan, seharusnya paling nggak aku sudah punya sepetak apartemen. Atau tas Hermes.

Tapi masalah terbesarku di usia 30 bukanlah apartemen atau Hermes. Meskipun tampak sulit, aku yakin mendapatkan apartemen jauh lebih mudah dibanding mendapat cowok, maksudku jodoh! Dalam hal ini, aku juga nggak ngerti di mana salahku! Aku mulai pacaran sejak hhmm... kelas dua SMP dan aku selalu punya pacar sejak saat itu –kadang memang ada masa lowong sih, selama dua sampai lima minggu--. Aku tahu persis berapa cowok yang pernah jadi pacarku. Delapan! Sepuluh kalau dua yang nggak 'resmi' juga ikut dihitung. Gebetan dan 'bukan pacar tapi mesra' nggak dihitung lho.

Pacar terakhirku putus dua tahun lalu dan sejak itu ... bum! Sim salabim. Aku seperti kena kutuk dan nggak bisa mendapatkan cowok mana pun. Bukannya tak ada yang naksir aku atau gimana, tapi entah bagaimana semua yang mendekatiku kalau nggak pecundang ya mantan napi (serius). Mendapatkan cowok mendadak lebih susah dibanding mendapatkan Hermes Limited Edition.

Ada apa dengan usia tiga puluh? Apa usia itu memancarkan sinyal 'perawan tua' yang membuat laki-laki jadi menjaga jarak? Meski mereka tertarik padamu, mereka akan berpikir, "Hm, cewek ini menarik, tapi kenapa dia masih jomblo? Ah, pasti dia cewek matre yang hanya doyan cowok tajir. Atau kariernya cemerlang banget dan bikin cowok minder." Itu masih mending daripada: dia pasti lesbi atau dia tidak perawan lagi atau dia punya masalah kejiwaan atau dia 'punya masalah dengan kesuburan'. Padahal semua itu tidak ada pada diriku. Serius.

Pengakuan satu: aku bukan cewek matre. Sama sekali. Yeah, cowokku harus punya minimal mobil sih. Avanza pun tak mengapa. Dan itu tak bisa dikatakan matre lho. Itu wajar-wajar saja. Masak tiap kencan harus buka aplikasi taksi online? Aku tidak meminta Alphard atau Lamborghini kok. Lagipula aku sama sekali nggak keberatan berbagi bill atau bayar sendiri-sendiri saat makan atau nonton. Nah, di mana matrenya coba?

Pengakuan dua: karierku memang glamor tapi nggak segitunya, sih. Dan pengakuan tiga: sebenarnya... aku... eh... masih perawan. Seratus persen. Nggak tahu deh mengapa aku malu mengakuinya. Tapi aku memang malu mengakuinya. Rasanya kayak mengakui aku adalah manusia terakhir yang belum berevolusi. Mungkin ini gara-gara Sandra selalu mengolok-olok statusku yang satu itu. Dia memberiku julukan 'the last virgin on earth'. Ih, apaan sih. Setahuku Rosa juga masih perawan, tapi Sandra nggak pernah mengoloknya (tapi, eh jadi kepikiran, mengapa Rosa nggak pernah membelaku ya? atau paling nggak menyatakan bahwa cewek baik-baik harus tetap perawan sebelum nikah).

Anyway, cowok-cowok yang mendekatiku akhir-akhir ini hanya menawarkan dua hal: pertemanan atau hubungan kerja/ bisnis. Yang kedua jauh lebih banyak. Serius. Aku hanya tambah empat kenalan cowok baru akhir-akhir ini, tiga di antaranya gay. Yang lainnya? Emak-emak! Duh, merinding aku menyadari kini aku berada di lingkaran emak-emak. Para emak itu (emak seleb tentu saja) rata-rata adalah klienku yang pengin menggelar baby shower –yang satu berusaha lebih mewah daripada baby shower lainnya--, ulang tahun pertama anak mereka --yang juga harus lebih extravaganza dibanding ultahnya anak Ashanty—dan peluncuran lini make-up baru mereka.

Selain itu? Manusia-manusia oportunis yang hanya mau menjadikanku downline MLM atau asuransi. Mereka nawarin berbagai macam produk, mulai voucher hotel sampai rangka atap baja ringan. Apartemen sampai investasi kayu jabon. Alamak!

Perutku mendadak melintir. Aku masih ngantuk dan pengin tidur satu dua jam lagi. Tapi otakku tak mau berhenti berputar. Tiga puluh! Tiga puluh! Angka itu berdentam-dentam seperti drum. Padahal memangnya kenapa dengan usia tiga puluh? Aku tetap sama. Tak ada tanduk yang muncul di dahiku atau kutil di seluruh permukaan kulitku. Tapi fakta bahwa tak ada laki-laki yang beredar di orbitku, membuat semuanya ini tak masuk akal. Kayaknya aku sudah berubah jadi ogre dalam semalam atau minimal ada aura yang menyelubungiku dan dan membuatku tampak seperti... seperti apa ya? Seperti guru TK tua yang bijaksana, begitu menentramkan, enak diajak bicara, tapi sudah itu saja. 

Laki-laki hanya bersikap ramah dan bersahabat, tapi tidak lagi mencoba flirting. Perempuan lebih menyebalkan lagi. Kecuali Sandra dan Rosa, mereka cuma mengobrolkan popok, sale susu, atau gemblungnya asisten rumah tangga mereka. Mereka tak lagi punya waktu untuk diajak nongkrong di café atau nonton film ABG sambil jejeritan. Norak, kata mereka. Ih, perasaan mereka masih melakukannnya kemarin sore. Andai mereka mau mau nongkrong ngopi pun, pasti hanya sebentar karena selalu ada krisis, 'anakku demam', 'ibu mertuaku mau datang, inspeksi mendadak,', 'duh, nanny-ku mau pulang kampung', dan seterusnya. Nongkrong lebih lama sedikit selalu diselingi telepon-telepon untuk mengecek ketersediaan popok atau susu.

Aku bener-bener eneg melihat mereka yang seolah-olah senantiasa menghadapi krisis dunia. Ih, sumpah deh, aku nggak bakal jadi ibu-ibu menyebalkan seperti mereka. Aku bakal menjadi mama muda yang asyik, modis, energik, yang tetap bisa shopping dan traveling ke mana pun bila aku ingin. Tapi astaga, aku nggak bakal jadi ibu kalau nggak punya suami dan anak ya! Aduh, klub 'mama' itu betul-betul menyebalkan ekslusifnya! Melebihi sulitnya jadi anggota VIP City Bank.

Anyway, memangnya ada undang-undang yang mengatur setelah berusia tiga puluh cewek dilarang jejeritan di bioskop? Mengisap lolypop sambil jalan? Makan bakso tusuk di lapangan? Pakai kaus ketat genit sambil menggoda cowok? Sepertinya begitu. Karena kayaknya semua temanku mendadak semembosankan iklan obat mag. Bila aku jejeritan saat Ryan Gosling di laptop, mereka memandangku sinis –atau sirik?--. Kalau aku mengajak mereka spa di Sabtu pagi, mereka bilang, "Yah, kamu sih enak, masih lajang," atau "Ah, andai aku bisa, tapi aku ada acara di rumah mertua," atau "Mmm... pengin sih, tapi uangnya mending kubelikan bantal baru. Yang paling sadis adalah, "Iya, gue tahu elo bisa bersenang-senang sesuka hati lo, tapi nggak usah bikin sirik gue yang udah punya anak, deh!"

Heh, siapa yang nyuruh elo beranak pinak? (bersambung)

90 Hari Mencari SuamiWhere stories live. Discover now