2

97 10 0
                                    

Hari ini aku memutuskan untuk pergi ke toko buku, membeli beberapa novel sepertinya akan membantuku mengalihkan fikiranku dari penat persiapan pernikahanku, ya walaupun tidak ada yang aku lakukan, namun itu semakin membuat aku menjadi semakin kesal.

"Huuffttt.."

"mbak Dira.."

Merasa namaku dipanggil aku segera memalingkan wajahku mencari sumber suaranya.

"Eh, kamu Eka kan?" melihat dia mengangguk-angguk membuat aku tersenyum lebar. Kakak Eka adalah salah satu pelanggan tetap di butik kecilku. Dan aku mengenal Eka darinya.

"Caria pa kamu?" tanyaku kepadanya.

"Cari buku lah mbak, masak cari alat tukang di sini." Katanya membuat aku tertawa.

"Sibuk nggak? Makan yuk, aku traktir."

"Ditraktir? Mau deh, soalnya aku harus nabung buat persiapan perjalanan aku besok." Aku hanya tersenyum mendengar jawaban Eka.

"Mau kemana lagi?"

"ada seorang seniorku mau membantu mengajar di salah satu kampung halamanya kak. Dia membutuhkan beberapa bantuan, paling sekitar dua atau tiga bulan aku akan berada disana. Dengan antusia Eka menceritakan rencananya kepadaku dan aku hanya menanggapinya dengan senyuman. Terkadang aku begitu iri melihat gadis yang berada didepanku ini. Dia menjalani hidup dengan bebas seperti tanpa beban.

"Kakak mau ikut?" Tanyanya antusias dan kembali aku hanya menanggapi dengan senyuman, tentu saja tidak.

"kamu kapan dateng? Kok gk mampir ke butik?" tanyaku mengalihkan pertanyaan

"Yaelah mbak, buat apa? Toh aku juga nggak bakal pakai baju yang cewek banget githu."

"Emang kalau ke butik Cuma buat beli baju? Kan bisa aja ngunjungin aku." Kataku mencubit pipinya gemas.

"sakit kak.. " Bercerita dengan Eka membuat suasana hatiku menjadi sedikit lebih baik. Mungkin aku hanya butuh suasana baru, sepertinya aku terlalu stress memikirkan rencana pernikahanku.

Lama setelah Eka pergi aku masih termenung sendiri. Ini sudah gelas kopi ketiga yang aku pesan. Namun kegundahan hatiku belumlah hilang. Samar aku melihat Dimas yang sedang berjalan bersama seorang perempuan yang tak asing, aku bergegas keluar setelah membayar tagihan makananku. Kulihat mereka berdua memasuki salah satu restoran tak jauh dari teempatku berdiri. Dimas tersenyum lepas bersama dengan perempuan itu. Aku terhenyak dan terpaku ketika mengetahui siapa yang bersama dengan Dimas, Tari, perempuan yang pernah sangat digilai oleh Dimas dulu. Hatiku terasa sakit, disaat dia tidak pernah acuh kepadaku, dia malah tersenyum lepas bersama perempuan lain. Fikiranku berkecamuk? Apakah mereka kembali bersama? Tapi bukankah Tari telah menikah? Kuputuskan untuk mengirimi dia pesan menanyakan keberadaannya.

Kak, kamu dimana?

Lama dia tidak membalas, karena tidak tahan akhirnya kuputuskan untuk menelfonnya

"Ada apa? Saya sedang sibuk, kita bicara nanti" bahkan sebelum aku memulai berbicara dia sudah memutuskan sambungan telefonnya. Hatiku terasa sakit dan kupuskan untuk segera meninggalkan tempat itu.

***

Saat ini pasti keluargaku tengah binggung mencari keberadaanku. Pada akhirnya aku memutuskan untuk pergi dari rumah dan kabur dari pernikahanku. Perasaan gamang dan takut mendominasi, belum pernah aku pergi ke tempat asing tanpa papa, mama ataupun kak Evan. Ingin rasanya aku berlari kembali ke rumah, namun berkali-kali aku meyakinkan diri sendiri ini adalah pilihan yang terbaik. Maafkan aku mama, papa, kak Evan dan Bunda Rani.

Aku segera melangkahkan kakiku ke ruangan Dimas, tak kulihat shanti yang biasanya duduk manis di depan ruangan sana.

"Eh kalian denger ya, aku tu nikahin dia karena tekanan dari bunda dan kakek aku. Bukan karena cinta," Itu suara dimas

"Yakin kamu mas, cantik lho Dira itu." Suara pria asing yang aku dengar

"Aku tidak tertarik dengan perempuan manja sepertinya. Kalau bukan karena ancaman bunda yang terus mendesakku, aku nggak mungkin mau tunangan sama dia. Hingga saat ini aku masih berharap ada hal yang bisa membuat pernikahan kami dibatalkan. Aku merasa muak karena setiap hari dia terus menggangguku "

"itu tandanya dia perhatian"

"itu mengganggu"

Sejak awal aku tahu jika Dimas tidak menyukai perjodohan ini, namun mendengar kata-katanya secara langsung seperti ini sangat menyakiti hatiku. Aku meletakkan makan siang yang aku bawa di meja santi dan bergegas pergi dari sana.

"mbak Dira?" aku berpapasan dengan shanti dan tak aku hiraukan. Namun beberapa langkah aku berbalik kepadanya.

"Shanti, Jangan bilang sama bapak saya ke sini ya. Bilang aja makanannya dititipin ke satpam" tak kuhiraukan raut wajah binggung shanty. Aku hanya ingin segera pergi meninggalkan tempat ini. Apa yang harus kulakukan, mendengar perkataan dimas tadi membuat hatiku semakin gamang, aku ingin melepaskannya, namun aku terlalu mencintainya.


Kesempatan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang