8

68 6 0
                                    

"Kamu nggak perlu balik lagi kesini" Mendengar ucapan dari dimas membuat aku menghentikan apa yang aku lakukan. Menghembuskan nafas berat. Meski sudah berusaha dengan keras, namun air mataku tetap tak berhenti menetes.

"Sampai kapan kamu mau memperlakukan aku seperti ini" aku berteriak frustasi ke arahnya, aku sudah tidak perduli lagi jika semua orang akan melihatku dalam kondisi seperti ini. Aku merasa perlu mengeluarkan segala penat hatiku, dan sepertinya saat ini adalah saat yang tepat.

"bahkan hingga kemarin aku merasa menyesal sudah pergi, berpikir bahwa apa yang aku lakukan itu salah. Bahkan dengan tak tahu malunya aku memaafkan kamu dan melupakan kekesalanku. Tapi saat ini aku menyadari, tidak ada yang perlu aku sesali lagi. Keputusanku meninggalkanmu sudah tepat. Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Aku akan berbicara pada papa dan mama untuk membatalkan semuanya. Dan kali ini aku akan memastikan semua itu terjadi" segera aku berlari keluar ruangan, tidak mengindahkan panggilan beberapa orang.

Saat mencapai lobby, tanganku di cekal. Aku siap memuntahkan makian jika itu adalah Dimas, namu ternyata itu Angga.

"Aku antar pulang, nggak baik kamu pergi dalam kondisi seperti ini" Aku melihat Dimas yang menyusul di belakang. Tak ingin berlama-lama melihatnya aku segera saja mengiyakan tawaran Angga.

Selama perjalanan kami hanya terdiam, dari kaca spion aku dapat melihat mobil Dimas mengikuti kami dari belakang. Setelah sampai rumah, aku hanya mengucapkan terima kasih ke Angga dan bergegas memasuki rumah. Bersyukur sekali rumah dalam keadaan sepi, sehingga aku tidak perlu memberi alasan apapun tentang keadaanku. Segera ku rebahkan badanku dan tak lama aku terlelap jatuh ke alam mimpi.

***

Aku merasakan tubuhku sedikit di guncang, namaku di sebut dengan perlahan.

"nduk, bangun tho..." samar-samar ku dengar suara nenek.

"nek..."

"Bangun, itu Dimas udah nungguin kamu di depan lama banget lho.. tapi dia nglarang nenek buat bangunin kamu saat tahu kamu lagi tidur"

"Biarin aja nek"

"nggak boleh githu, kalau ada masaalh di bicarakan. Udah buruan cuci muka trus keluar" nenek segera keluar kamar, dan mau tidak mau aku harus keluar menghadapi Dimas. Kuhembuskan nafasku berat, segera aku menuju ke kamar mandi dan membasuh wajahku. Kutatap wajahku di cermin, mata sembab dan aku terlihat kacau. Namun aku tidak peduli, biar laki-laki itu tahu seberapa kejam dia membuat hidupku kacau.

"Ngapain di sini?" tanyaku ketus.

"kamu nggak apa-apa?" tanyanya pelan.

"Nggak usah basa-basi deh kak. Mau kamu apa?"

"Kamu sudah tahu apa mauku. Kita pulang ke jakarta, melanjutkan semua yang tertunda."

Sudah jelas, aku hanya bisa menghela nafas putus asa.

"Dira nggak mau?" kataku ketus

"kakak minta maaf"

"Buat apa?"

"Semuanya. Kakak tahu jika selama ini kakak selalu bersikap egois sama kamu. Tapi tidak bisakah kita memulainya semua dari awal. Mama selalu mendesakku untuk menemukanmu dan membawamu pulang"

"Jadi ini hanya karena tante?" hatiku berdesir nyeri mendengar kata-kata yang diucapkannya.

"Bukan begitu, dengerin kakak"

"Nggak perlu, bukankah seharusnya kakak merasa senang karena aku pergi? Sehingga kakak tidak harus terjebak bersamaku. Kak dimas bisa melanjutkan hidup dengan tenang. Aku memberikan kesempatan untuk kakak lepas dari perjodohan sialan ini. Jadi apa maksud kakak ingin memulai semua dari awal, dan hanya karena keinginan orang lain. Bukankah kita akan kembali terjebak dalam masalah yang sama. Mari kita lanjutkan hidup kita masing-masing, aku akan tinggal di sini dan kak Dimas, silahkan kembali ke Jakarta." Jika alasan dia meminta aku kembali adalah keinginannya sendiri mungkin aku masih akan memikirkan semua lagi. Tapi jika keputusan itu masih di pengaruhi oleh orang lain. Itu semua hanya akan membuat usahaku selama ini menjadi sia-sia.

"Apa kamu begitu menyukainya?"

"Siapa?" aku menjadi binggung karena pertanyaannya telah melenceng jauh dari apa yang kami bahas.

"Angga, siapa lagi?"

"Kenapa tiba-tiba membawa namanya?"tanyaku masih binggung.

"Alasanmu tetap ingin tinggal di sini karena dia kan?"

jawabannya ini membuat aku menghela nafas kesal, kenapa harus membawa orang lain dalam masalah yang tengah kami hadapi.

"Kak, mari kita akhiri semuanya sampai di sini. Tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan, sebaiknya kakak pulang, aku mau istirahat" tanpa menunggu jawabannya, aku segera berdiri dari dudukku dan bersiap memasuki rumah.

Tubuhku tertarik sebelum kemudian menabrak tubuh keras Dimas. Sebelum sempat aku protes, dia sudah mengungkungku dalam pelukannya. Dan dengan sialannya, hatiku malah berdetak kuat. Bagaimana jika dia dapat mendengarnya.

"apakah sudah terlalu terlambat untuk memperbaiki semuanya?"

"Kak.." Dimas melepaskan pelukannya, wajahnya terlihat terluka. Dia membalik tubuhnya membelakangiku

"Istirahatlah, malam ini aku akan kembali ke Jakarta. Pikirkanlah semua baik-baik, segera setelah ada waktu luang aku akan kembali ke sini. Tolong pamitkan ke nenek, aku pulang dulu." Dimas segera berlalu dari hadapanku menuju ke mobilnya tanpa menoleh kembali. Setelah memastikan mobil Dimas tak lagi terlihat, badanku kembali luruh ke kursi. Kepalaku terasa pusing, sebenarnya aku masih ragu dengan semua keputusanku pada akhirnya. Tidak peduli jika orang menilai aku plinplan, namun aku benar-benar gamang.


TBC

Kesempatan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang